Memaknai
kembali Semangat Nasionalisme Kita
Eriko Sotarduga BPS ; Anggota DPR RI
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 1 Juni 2012
BERBAGAI
peristiwa dengan dalih kepentingan agama, kelompok, hingga aliran politik
belakangan ini mulai mengusik nasionalisme kita sebagai bangsa. Persatuan dalam
keragaman budaya, suku, bahasa, dan keyakinan semakin terganggu oleh ulah
sekelompok orang yang ingin memaksakan kehendak. Mereka tidak segan-segan
mengancam dan melakukan kekerasan kepada kelompok lain yang dianggap tidak sejalan
dengan pandangan mereka.
Perilaku yang seharusnya ditindak tegas oleh aparat penegak hukum itu justru
dibiarkan. Bahkan muncul kesan kuat bahwa penegak hukum telah tunduk pada
kehendak segelintir orang.
Kasus
pembubaran paksa diskusi buku Allah, Liberty,
and Love karya Irshad Manji, penolakan konser penyanyi Lady Gaga, perusakan
sarana ibadah penganut Ahmadiyah, perusakan gereja-gereja di berbagai tempat,
termasuk kasus Gereja GKI Yasmin Bogor merupakan contoh paling nyata. Penegak
hukum yang seharusnya melindungi hak setiap warga untuk berpendapat dan
berserikat sesuai dengan konstitusi justru menjadi kepanjangan tangan
sekelompok orang yang tidak sependapat. Kejadian demi kejadian tersebut tidak
sekadar meresahkan, tetapi juga memicu pertanyaan besar tentang pentingnya
nasionalisme kita sebagai sebuah bangsa, apalagi ketika kita sedang dalam
suasana memperingati Hari Kebangkitan Nasional dan saat ini memperingati Hari
Lahir Pancasila.
Untuk
menemukan kembali spirit nasionalisme, mari kita selisik kembali sejarah
lahirnya Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 1908 ketika Dr Wahidin
Soedirohoesodo dan para pemuda Stovia seperti Sutomo, Gunawan, Suradji, dan
Suwardi Suryaningrat mengadakan rapat pertama di Jakarta. Mereka mendirikan
perkumpulan Boedi Oetomo yang dilandasi semakin tingginya kesadaran ingin
bersatu, meningkatkan semangat bangsa Indonesia ingin merdeka, dan semakin
banyak masyarakat terpelajar di Indonesia. Spirit tersebut yang menyatukan
bangsa Indonesia meski terdiri dari beragam budaya, suku, bahasa, dan agama.
Pergerakan
20 Mei 1908 bisa dikatakan sebagai awal bentuk perlawanan terhadap penjajah
yang lebih modern, sistematis, dan menggunakan strategi diplomasi daripada
konfrontasi secara fisik dengan senjata. Meski pada awal pergerakan Boedi
Oetomo masih melakukan perlawanan fisik dengan berhadapan langsung dengan
tentara kolonial, pergeseran model perlawanan mulai terjadi. Hal itu tidak
lepas dari peningkatan kemampuan berpikir mereka seiring dengan makin banyaknya
kaum terpelajar di Indonesia.
Semangat
yang ditanamkan sejak satu abad yang lalu itu seharusnya membuat bangsa
Indonesia semakin dewasa dalam menyikapi perbedaan agar tumbuh menjadi bangsa
yang besar. Namun, kenyataan telah berbicara lain. Kita seperti kembali ke zaman
kolonialisme dalam bentuk lain. Penjajahan bukan lagi berbentuk fisik,
melainkan pemaksaan kehendak melalui ancaman yang disertai kekerasan.
Ironisnya, penegak hukum ibarat menjadi komprador karena selalu menuruti
kemauan menuruti kemauan kelompok tertentu tanpa menimbang kepentingan yang
lebih luas. Kesediaan menjadi komprador itu tidak ada tujuan lain kecuali untuk
mengamankan posisi dan kepentingan pribadi atau kelompok.
Perayaan
Hari Lahir Pancasila yang diperingati setiap tahun seharusnya menjadi sarana
untuk berintrospeksi. Semangat merdeka dari segala bentuk pemaksaan kehendak
harus terus ditumbuhkan pada setiap generasi tanpa memandang rezim yang
berkuasa. Semangat itu dapat ditumbuhkan dengan mengkaji dan menghayati kembali
Pancasila sebagai falsafah hidup dan landasan perilaku bangsa Indonesia.
Menempatkan
kembali Pancasila sebagai sandaran hidup dalam berbangsa dan bernegara bukan
lah suatu kemunduran. Menajamkan kembali ideologi Pancasila bu kan berarti kita
kem bali pada masa Orde Lama atau Orde Baru.
Posisi
Pancasila sebagai landasan yang menyatukan keragaman bangsa Indone sia harus
diper kukuh agar tidak disala hartikan. Karena itu, peringatan Hari Lahir
Pancasila ini harus dijadikan sarana untuk meningkatkan awareness kita untuk terus berbenah dan memperbaiki diri. Sebagai
bangsa merdeka dari kolonialisme, kita dihadapkan pada kolonialisme dalam
bentuk lain jika kita membiarkan upaya pemaksaan kehendak dengan meminjam
tangan penegak hukum. Pancasila harus kita tempatkan sebagai titik temu berbagai
suku, golongan, dan agama.
Di
tengah spirit Hari Kebangkitan Nasional dan Hari Lahir Pancasila, kita perlu
menyadarkan kembali bahwa Pancasila bukan sesuatu yang asing seperti kata Bung
Karno saat pidato di Surabaya tanggal 24 September 1955, “Aku bukan pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan oleh bangsa
Indonesia sendiri. Aku hanya menggali Pancasila daripada buminya Indonesia.
Pancasila terbenam di dalam bumi Indonesia 350 tahun lamanya. Aku gali kembali
dan aku persembahkan Pancasila ini di atas persada Indonesia.“
Di
situlah peran Pancasila sebagai pemersatu yang mengilhami para pendiri bangsa
Indonesia dalam menumbuhkan nasionalisme. Karena itu, Pancasila harus menjadi
satuan dasar ideologi terhadap ideologi-ideologi satuan kecil yang memberi arah
bertemunya ideologi-ideologi yang tumbuh di bumi Nusantara.
Hanya dengan cara itulah Pancasila mampu membangun kekuatan ideologi bangsa yang mengakomodasi semua elemen dan golongan yang hidup di Indonesia.
Hanya dengan cara itulah Pancasila mampu membangun kekuatan ideologi bangsa yang mengakomodasi semua elemen dan golongan yang hidup di Indonesia.
Untuk
menempatkan Pancasila pada porsi yang optimal, tidak ada cara lain kecuali
dibutuhkan pemimpin yang mampu mengamalkan Pancasila secara konsisten, koheren,
dan koresponden. Dalam arti, menuntut setiap pihak menjalankan Pancasila demi
kemaslahatan bangsa, bukan kemaslahatan kelompok tertentu sehingga Pancasila
menyatu dengan semua unsur dalam masyarakat tanpa menghilangkan identitas
mereka. Dengan demikian, Pancasila menjadi media guna memberdayakan idealisme
Pancasila dan idealisme yang ada tanpa terjadi tumpang tindih dan tidak tentu
arah.
Untuk
itu, Pancasila perlu dijadikan sebagai spiritualitas untuk menghadapi tantangan
dunia yang berubah sangat cepat, baik itu tantangan yang bersifat lokal maupun
regional. Tantangan internal sebagai bangsa yang majemuk kini sudah muncul dan
harus kita antisipasi. Begitu juga dengan tantangan regional dalam bentuk
penguasaan ekonomi dan politik sehingga bangsa Indonesia membutuhkan energi
penggerak berupa spiritualitas. Pancasila sebagai kristalisasi nilai-nilai dan
tradisi luhur bangsa Indonesia yang digali para pendiri bangsa merupakan energi
yang mampu menggerakkan masyarakat secara kolektif.
Sebagai
spiritualitas yang melandasi perilaku hidup bangsa Indonesia, Pancasila
diharapkan mampu menjadi obat penawar bagi penyakit bangsa yang sudah kronis
seperti korupsi. Kita cukup yakin nilai-nilai Pancasila yang luhur dan semangat
nasionalisme yang terpelihara dengan baik merupakan jawaban atas pelbagai
problem bangsa Indonesia yang terjadi terusmenerus. Semoga perayaan Hari Lahir Pancasila kali ini dapat menumbuhkan spirit
nasionalisme kita berdasarkan ideologi Pancasila. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar