Kapitalisme
Hijau
Tejo Pramono ; Staf La Via Campesin
Sumber : REPUBLIKA,
16 Juni 2012
Di
Rio de Janeiro, Brazil, 20-22 Juni ini akan berkumpul tidak kurang 130 kepala
pemerintahan di dunia, ter masuk Presiden SBY. Mereka akan memperingati 20
tahun pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (Rio+20). Sekaligus akan membahas
dan memutuskan rezim pembangunan di level dunia ke depan seperti apa, guna
mengerem laju kerusakan lingkungan sekaligus memperbaiki tingkat kesejahteraan.
Dalam
draf naskah deklarasi, green economy
atau ekonomi hijau telah disodorkan untuk menjadi platform rezim pembangunan
baru. Jika disetujui nanti, green economy
akan menggantikan pembangunan berkelanjutan.
Dalam
kontribusinya atas penyusunan deklarasi Rio+20, Indonesia ikut mendukung konsep
ekonomi hijau ini. Alasannya, ekonomi hijau sejalan dengan strategi pembangunan
Indonesia yang pro-growth, pro-job,
pro-poor, dan pro-environment.
Membaca dokumen UNEP mengenai green
economy, yang menjadi referensi utama dari naskah draf, penulis mendapati
setidaknya dua cacat fundamental di sana, yaitu soal pertumbuhan ekonomi dan
finansialisasi alam.
Sebagaimana
banyak dituliskan di berbagai jurnal dan media, kegagalan pembangunan
berkelanjutan sebenarnya adalah membiarkan pertumbuhan ekonomi dipacu tanpa
batas, di atas alam yang memiliki batas dan memerlukan siklus. Atas nama
pertumbuhan ekonomi mayoritas pemerintahan di dunia mengambil jalan pintas,
dengan menawarkan banyak insentif kebijakan fiskal untuk mendorong ekspansi
pemodal besar.
Pemodal
besar dijadikan motor bagi pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, logika penumpukan
kapital lebih dominan dari logika penciptaan kehidupan bagi rakyat. Bahkan
parah lagi, karena setiap kegiatan ekspansi untuk penumpukan kapital selalu
dibarengi dengan proses pemarginalan rakyat dari mata pencahariannya. Sungguh
aneh bahwa dokumen green economy sama
sekali tidak berbicara soal pengendalian pertum buhan ekonomi ini.
Finansialisasi Alam
Dalam
logika sederhana para pencemar lingkungan, pelaku pemusnahan biodiversitas dan
pengemisi karbon harusnya segera mengurangi dan menghentikan aktivitas kotornya
agar bumi tidak semakin rusak. Sayangnya, tidak demikian dalam logika ekonomi
hijau.
Ekonomi
hijau justru membuat mekanisme yang memungkinkan praktik ekonomi tercemar terus
berlangsung, sepanjang membayar kegiatan konservasi ataupun pengurangan emisi
di tempat atau negara lain. Jadi, ekonomi hijau memberlakukan adanya izin untuk
mencemari dan tukar guling atau offsetting.
Setelah
mengadakan penilaian atas fungsi-fungsi lingkungan atau nature valuation, selanjutnya bisa diatur adanya pembayaran atas
jasa lingkungan atau payment on
environmental services (PES). Contohnya, paling nyata dari PES adalah
proyek reduction emission from
deforestation and forest degradation (REDD), yakni negara industri tidak
mau mengurangi emisi karbon mereka secara domestik, tetapi membeli kredit
karbon negara lain seperti Indonesia.
Mekanisme
yang sama kini mulai digagas untuk keragaman hayati melalui the economic of ecosystem and biodiversities
(TEEB). Negara-negara yang telah mengakibatkan erosi biodiversitas, melalui
TEEB tinggal membeli kredit dari luasan ekosistem tertentu.
Atas
logika demikian, green economy tidak
bisa diharap banyak mengurangi kerusakan lingkungan secara cepat. Bahkan, green economy menyimpan agenda besar
kapitalisme hijau, yaitu menjadikan lingkungan dan alam sebagai komoditas baru.
Tidak mengherankan kini telah bermunculan perusahaan rekondisi lingkungan,
termasuk pasar perdagangan jasa lingkungan.
Menyikapi
soal kompleksitas krisis global, baik lingkungan maupun ekonomi, telah muncul
gerakan dan gagasan baru yang mengusung de-growth
economy. Gagasannya, ekspansi eksploitasi alam untuk penumpukan kapital
harus dikurangi dan dibatasi. Sebaliknya, yang harus dikerjakan adalah membuka
dan memperluas kesempatan bagi rakyat untuk kegiatan yang tidak mengganggu
metabolisme alam.
Contoh
sederhananya, daripada kita membuka jutaan hektare perkebunan kelapa sawit
untuk korporasi besar dan pasar internasional, lebih baik mengonversi lahan
perkebunan tersebut menjadi pertanian rakyat yang ekologis sehingga kualitas
kehidupan kaum tani meningkat. Soal bahan tambang, misalnya, daripada cadangan
batu bara terus dibuka untuk menghidupi pertumbuhan ekonomi negara industri,
lebih baik dipakai secara hemat untuk mencukupi kebutuhan energi domestik dan
cadangan.
Di
tingkat global, perlu dikurangi konsumsi dengan mengerem perdagangan bebas.
Karena itu, koreksi perlu dilakukan untuk WTO ataupun traktat perdagangan bebas
regional lainnya. Di tingkat nasional, pemerintah harus memikirkan transformasi
dari ekonomi yang dihela korporasi menjadi ekonomi yang meletakkan rakyat
sebagai lokomotifnya. Dengan cara ini, akan terjadi transisi dari ekonomi untuk
tujuan akumulasi profit menjadi bertujuan mereproduksi kehidupan. Mahatma
Gandhi pernah berujar, “The world is big
enough for everyone's needs but it is too small for the greed of one man!“
Dengan
melakukan de-growth sama sekali tidak
berarti ekonomi menjadi stagnan ataupun resesi, tetapi sebaliknya menciptakan
ekonomi yang lebih stabil, merata, dan berkualitas. Dengan degrowth kompetisi
brutal perlahan bisa ditransformasikan menjadi kerja sama yang tidak merusak
metabolisme alam.
Sebagai salah satu negara di dunia dengan
keragaman hayati tropika terbesar, ekosistem tingkat global sangat ditentukan
oleh Indonesia. Tak heran bila Presiden SBY bakal menjadi co-chair pada pertemuan Rio+20. Posisi tersebut sungguh sangat kita
sesalkan bila sekadar dimaknai untuk ikut mendorong ekonomi hijau yang tiada
lain dari kapitalisme hijau. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar