Isra
Mi’raj dan Moralitas Bangsa
Aris Hasyim ; Peneliti Kajian Sosiologi
Agama FUSAP UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber : SUARA
KARYA, 15 Juni 2012
Di tengah gegap-gempita perhelatan Piala Eropa, umat islam di
seantero dunia kini tengah memperingati peristiwa agung dan monumental, Isra'
Mi'raj. Isra' Mi'raj merupakan peristiwa di mana Nabi Muhammad Saw, dalam suatu
malam melaksanakan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Dengan
bimbingan malaikat Jibril, beliau mendapatkan gambaran tentang tanda-tanda
kebesaran Allah Swt. Peristiwa itu tentu tidak akan dilupakan oleh kaum
muslimin, karena perintah sholat lima waktu sehari semalam diberikan oleh Allah
saat Isra' dan Mi'raj.
Bagi umat muslim, peringatan Isra' Mi'raj merupakan sebuah
penghormatan serta cerminan cinta umat muslim kepada figur tauladan yang
mempesona, yakni Nabi Muhammad Saw. Adanya ritualisme peringatan Isra' Mi'raj
bukan semata-mata kegiatan seremonial belaka, tetapi mempunyai arti penting
dalam mengilhami nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan pedoman untuk
menyempurnakan perjalanan hidup manusia menuju kebahagiaan di dunia dan
akherat.
Secara historis, dalam kitab Mukhtarul Ahadits An-Nabawiyah,
dijelaskan bahwa perjalanan spritual Nabi Muhammad, diawali dengan ujian berat
di mana beliau yang baru saja ditinggal wafat istri tercintanya, Siti Khodijah
dan tak lama kemudian disusul kematian pamannya, Abu Tholib. Namun, semua
keprihatinan itu menjadikan beliau semakin dekat kepada Sang Kholiq.
Suasana genting yang dialami Nabi Muhammad tentu sangat
membutuhkan keteguhan keyakinan atas apa yang telah diperjuangkanya. Maka,
Allah Swt memberikan petunjuk melalui suatu peristiwa yang belum pernah dialami
oleh beliau sebelumnya, yaitu peristiwa Isra' dan Mi'raj.
Pesan Moral
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, peringatan Isra'
Mi'raj ini dapat dijadikan sebagai modal motivasi oleh para pemimpin dalam
mengatasi masalah-masalah kehidupan yang sedang melanda bangsa saat ini. Para
pemimpin di negeri ini diharapkan mampu meneladani keteguhan Nabi Muhammad Saw.
Apa yang dilakukan Nabi Muhammad sebagai seorang rasul dalam situasi dan
kondisi apa pun tetap teguh dalam menjalankan tugasnya untuk mengubah segala
keburukan demi kebaikan bangsa.
Melihat realita problem yang melanda bangsa Indonesia sekarang
ini, para pemimpin selayaknya mampu mengimplementasikan nilai-nilai yang
terkandung dalam spirit perjuangan Nabi Muhammad. Dengan harapan, pemimpin
mampu menjalankan sistem tatanegara secara lebih baik penuh rasa cinta dan
tanggung jawab terhadap bangsa dan negara.
Meski kita semua mengerti bahwa dalam peringatan Isra' Mi'raj ini,
masih banyak kisruh yang menimpa bangsa ini. Sebut saja, masalah korupsi,
makelar kasus dan makelar pengadilan yang masih berkecamuk dalam diri bangsa
ini. Jika rentetan kasus ini dibiarkan berlarut-larut, lantas, mau dibawa ke
mana bangsa ini kalau yang berpendidikan saja, mata batin dan moralitasnya buta
atas ulah egonya masing-masing demi kenikmatan keduniawian.
Maka, benar apa yang dikatakan Din Syamsudin (2010), seorang tokoh
Muhammadiyah yang menilai bahwa masalah utama bangsa Indonesia adalah buta
aksara moral. Apa yang dikatakan Din Syamsudin memang bukan tanpa alasan. Buta
aksara moralitas yang mendera bangsa ini lebih berbahaya dibandingkan buta
aksara huruf Latin dan Arab. Bukan hanya lapisan bawah dan kaum elite, bahkan
kaum terdidik juga mengalami buta aksara moral.
Dalam peringatan peristiwa Isra' Mi'raj ini, tentu bukan sekedar
berkontemplasi atas kejadian historis masa lalu. Namun, peringatan Isra Mi'raj
juga memiliki makna berupa pesan untuk membangun moralitas bangsa. Itulah
sebabnya, mengapa 'oleh-oleh' yang dibawa Rasul dari perjalalan Isra' Mi'raj
ini adalah berupa kewajiban sholat. Jika digali lebih dalam, terkandung
pelbagai makna yang patut kita renungkan dan kita aktualisasi secara
bersama-sama dalam mengarungi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pertama, perintah sholat. Sesungguhnya apa yang terkandung dalam
sholat bukan sekedar sujud, rukun dan sebagainya. Tetapi, sholat merupakan
penyerahan total kepada Allah. Tak ada yang pantas disembah kecuali Allah.
Adapun fungsi dari sholat itu sendiri adalah untuk mencegah perbuatan keji dan
mungkar. (QS. Al-Ankabut: 5)
Dengan demikian, kita bisa mengukur sejauh mana sholat yang telah
kita lakukan selama ini. Apakah dengan melakukan sholat kita masih sering
melakukan kemungkaran dan kekejian terhadap orang lain? Apakah kita masih
sering melakukan praktik korupsi yang merugikan bangsa? Apakah kita masih mengumbar
nafsu demi kepuasan diri kita sendiri? Apabila memang masih demikian, berarti
kita belum sepenuhnya mengimplementasikan esensi dari perintah sholat itu
sendiri.
Kedua, perlu adanya optimisme dalam mengarungi liku-liku
kehidupan. Hidup tidak akan selamanya hitam, penuh dengan kabut. Di sana masih
ada secercah sinar yang akan menerangi jagad raya ini. Sebuah sinar yang
terpancar dari Allah yang mampu mengobati duka-lara manusia. Artinya, sesusah
apa pun dalam perjalanan untuk meraih kebahagiaan, manusia diharapkan tidak
terjerumus dalam kubangan pragmatis.
Maka, sangat tepat apabila peringatan Isra' Mi'raj ini dijadikan
kontemplasi untuk menghidupkan kembali esensi dari makna sholat. Artinya,
sholat tidak hanya menjadi amalan yang kering dan mekanis. Tetapi, bagaimana
perintah sholat dijalankan dengan mengimplementasikan esensi dari tujuannya,
yakni mampu mencegah hal yang keji dan mungkar. Sehingga, dalam situasi dan
kondisi apa pun kiranya moralitas bangsa tetap terjaga dari hal yang berbau
pragmatisme. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar