Minggu, 01 Agustus 2021

 

Krisis

Ariel Heryanto ;  Profesor Emeritus dari Universitas Monash Australia

KOMPAS, 31 Juli 2021

 

 

                                                           

Krisis Covid-19 perlu dipahami cermat, sebelum dicarikan solusi yang tepat. Solusi yang tidak berlebihan atau setengah-setengah. Pembatasan kegiatan masyarakat atau lockdown menuntut pengorbanan mahaberat dari semua pihak. Hanya diperlukan jika situasi darurat memaksa.

 

Bagaimana kita tahu kapan wabah Covid-19 menuntut lockdown? Kapan bisa dilonggarkan? Angka-angka kasus terinfeksi, kesembuhan, atau kematian saja tak cukup menjelaskan situasi pandemi. Dua puluh kasus positif orang yang tiba dari luar negeri dan langsung dikarantina tak lebih mengkhawatirkan daripada dua saja kasus positif akibat penularan lokal.

 

Dua kasus positif lokal dari tes 1.000 orang terpapar beda bobot risikonya apabila dua kasus itu hasil tes separuh dari 1.000 yang terpapar tadi. Lima kasus positif orang sedang dalam isolasi karena pernah kontak erat kurang merisaukan dibandingkan dengan dua kasus positif lokal yang tidak jelas kapan dan di mana tertular. Tak jelas pula berapa banyak dan siapa saja yang ikut terpapar dari sumber yang sama. Virus bebas berkeliaran bersama mereka yang sudah tertular tanpa merasakan gejala.

 

Dua orang terinfeksi tanpa isolasi mudah menulari orang lain di semua tempat yang dikunjungi. Jumlahnya bisa belasan atau puluhan. Yang belasan atau puluhan ini berpeluang menulari orang serumah ketika pulang. Atau rekan sekantor. Atau siapa saja di tempat umum yang dikunjungi. Dalam satu atau dua hari jumlah totalnya bisa berlipat ganda.

 

Angka-angka kasus positif sering tersebar. Terlepas dari besaran atau akurasi angkanya, yang merisaukan adalah miskinnya informasi konteks. Untuk setiap kasus, dibutuhkan data sumber penularan, tempat dan waktu kontak erat mereka, serta peta mobilitas mereka sejak tertular. Jika duduk masalahnya tidak jelas, bagaimana mau dicari solusinya?

 

Virus Covid-19, apalagi varian Delta, menyebar supercepat. Maka, pelacakan informasi tadi harus lebih cepat dari penyebaran virus. Kerja pelacakan itu tidak mudah dan tidak murah untuk belasan kasus di satu kota berpenduduk puluhan ribu. Bayangkan apabila kasusnya sudah beribu-ribu dengan penduduk jutaan.

 

Itu baru soal sulitnya menghimpun data. Dengan data lengkap dan akurat sekali pun, wabah belum terkendali tanpa tes, isolasi, perawatan, dan mungkin lockdown, selain vaksinasi. Masing-masing yang disebut belakangan ini amat rumit, mahal, dan melibatkan banyak bidang nonmedis dalam kerja sama terpadu.

 

Selain kerja keras, rapi dan cepat, dibutuhkan tenaga dan dana berjumlah besar. Juga teknologi, sistem informasi, keahlian, kebijakan politis, komunikasi publik, dan aturan hukum yang andal. Yang tak kalah penting: kerja sama dan saling dukung semua pihak. Tak ada negara yang sepenuhnya siap menghadapi pandemi Covid-19, tetapi sebagian lebih sigap daripada yang lain.

 

Di sebagian negara ada rekor baru melonjaknya suara dukungan publik kepada pemerintah semasa pandemi. Di negara lain terjadi sebaliknya. Sebenarnya kurang adil menilai keberhasilan atau kegagalan negara mengatasi pandemi semata-mata berdasar pada kebijakan pemerintah.

 

Mengatasi krisis pandemi ini membutuhkan kombinasi dua jenis kekuatan. Pertama, sarana yang sudah terlembaga dan memasyarakat. Kedua, kemauan dan kemampuan pemerintah memanfaatkan secara maksimal sarana yang tersedia, betapa pun terbatasnya.

 

Sarana itu berupa perangkat keras dan lunak, termasuk finansial, teknologi, birokrasi negara, hukum, dan layanan kesehatan. Tidak semua bisa diciptakan mendadak oleh satu atau dua pemerintah mutakhir. Sebagian merupakan warisan sejarah bangsa. Akan tetapi, sarana sehebat apa pun akan sia-sia jika diabaikan pemerintah yang tidak tanggap.

 

Ada pemerintah yang menjalankan lockdown ketika kasus di wilayahnya kurang dari 10. Ada yang menolak lockdown ketika kasus di wilayahnya sudah di atas 1.000. Sebabnya bisa bermacam-macam, tetapi dua faktor tersebut ikut berperan.

 

Afganistan, Lebanon, Afrika Selatan, Etiopia, Tahiti, dan Myanmar dilanda perang saudara. Siapa pun kepala negaranya akan sulit menahan laju wabah Covid-19. Inggris dan Amerika Serikat memiliki sarana jauh lebih baik dari mayoritas negara lain. Namun, dampak pandemi di kedua negara itu termasuk yang terburuk di dunia.

 

Peluang di Amerika Serikat disia-siakan Presiden Trump. Penggantinya, Presiden Biden, mengerahkan modal negara secara maksimal untuk menahan laju pandemi walau wabah telanjur parah. Hasilnya lumayan bagus.

 

Vietnam dan Selandia Baru tak punya sarana sebaik Amerika Serikat, tetapi keduanya pernah menjadi teladan dunia. Brasil tak punya sarana berlimpah. Peluang menghadapi pandemi terbatas, siapa pun presidennya. Keadaan diperparah oleh Presiden Bolsonaro yang giat menyangkal pandemi.

 

Cepat atau lambat, krisis Covid-19 akan berlalu. Namun, ini bukan krisis pertama, terparah, atau terakhir bagi dunia. Pada waktunya, akan tiba krisis lain silih berganti. Mampukah kita memetik hikmah terbaik dari bencana mutakhir ini? Mengakui kekurangan sendiri dan memperbaiki diri agar lebih siap menghadapi krisis berikutnya?

 

Krisis membuat gamblang yang sebelumnya samar atau sengaja diabaikan masyarakat. Krisis juga membuka peluang bagi perubahan. Namun, tak ada jaminan perubahan itu ke arah yang lebih baik. Tidak ada jaminan kita menjadi lebih bijak.

 

Idealnya dunia bersatu melawan virus yang mengglobal. Nyatanya, dunia tersekat nasionalisme sempit. Sebagian besar perang melawan Covid-19 berlangsung dalam lingkup negara yang terpecah belah politik populisme berbasis agama, ras, atau etnisitas.

 

Situasi di Indonesia tidak sama dengan semua negara yang disebut tadi. Namun, ada pertanyaan yang sama untuk semua bangsa. Apa sarana yang kurang dalam masyarakat untuk mengatasi krisis berat? Sejauh mana pemerintah sigap atau gagap memanfaatkan sarana yang tersedia?

 

Kondisi sosial apa yang selama ini tersembunyi atau terabaikan dalam masyarakat dan kini terbongkar secara telanjang gara-gara krisis Covid-19? Apabila kita mau dan mampu memetik hikmah dari krisis ini dan bergegas memperbaiki kondisi masyarakat untuk generasi mendatang, derita korban pandemi tidak sepenuhnya tersia-sia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar