Krisis Ariel Heryanto ; Profesor Emeritus dari Universitas Monash
Australia |
KOMPAS, 31 Juli 2021
Krisis
Covid-19 perlu dipahami cermat, sebelum dicarikan solusi yang tepat. Solusi yang
tidak berlebihan atau setengah-setengah. Pembatasan kegiatan masyarakat atau
lockdown menuntut pengorbanan mahaberat dari semua pihak. Hanya diperlukan
jika situasi darurat memaksa. Bagaimana
kita tahu kapan wabah Covid-19 menuntut lockdown? Kapan bisa dilonggarkan?
Angka-angka kasus terinfeksi, kesembuhan, atau kematian saja tak cukup
menjelaskan situasi pandemi. Dua puluh kasus positif orang yang tiba dari
luar negeri dan langsung dikarantina tak lebih mengkhawatirkan daripada dua
saja kasus positif akibat penularan lokal. Dua
kasus positif lokal dari tes 1.000 orang terpapar beda bobot risikonya
apabila dua kasus itu hasil tes separuh dari 1.000 yang terpapar tadi. Lima
kasus positif orang sedang dalam isolasi karena pernah kontak erat kurang
merisaukan dibandingkan dengan dua kasus positif lokal yang tidak jelas kapan
dan di mana tertular. Tak jelas pula berapa banyak dan siapa saja yang ikut
terpapar dari sumber yang sama. Virus bebas berkeliaran bersama mereka yang
sudah tertular tanpa merasakan gejala. Dua
orang terinfeksi tanpa isolasi mudah menulari orang lain di semua tempat yang
dikunjungi. Jumlahnya bisa belasan atau puluhan. Yang belasan atau puluhan
ini berpeluang menulari orang serumah ketika pulang. Atau rekan sekantor.
Atau siapa saja di tempat umum yang dikunjungi. Dalam satu atau dua hari
jumlah totalnya bisa berlipat ganda. Angka-angka
kasus positif sering tersebar. Terlepas dari besaran atau akurasi angkanya,
yang merisaukan adalah miskinnya informasi konteks. Untuk setiap kasus, dibutuhkan
data sumber penularan, tempat dan waktu kontak erat mereka, serta peta
mobilitas mereka sejak tertular. Jika duduk masalahnya tidak jelas, bagaimana
mau dicari solusinya? Virus
Covid-19, apalagi varian Delta, menyebar supercepat. Maka, pelacakan
informasi tadi harus lebih cepat dari penyebaran virus. Kerja pelacakan itu
tidak mudah dan tidak murah untuk belasan kasus di satu kota berpenduduk
puluhan ribu. Bayangkan apabila kasusnya sudah beribu-ribu dengan penduduk
jutaan. Itu
baru soal sulitnya menghimpun data. Dengan data lengkap dan akurat sekali
pun, wabah belum terkendali tanpa tes, isolasi, perawatan, dan mungkin
lockdown, selain vaksinasi. Masing-masing yang disebut belakangan ini amat
rumit, mahal, dan melibatkan banyak bidang nonmedis dalam kerja sama terpadu. Selain
kerja keras, rapi dan cepat, dibutuhkan tenaga dan dana berjumlah besar. Juga
teknologi, sistem informasi, keahlian, kebijakan politis, komunikasi publik,
dan aturan hukum yang andal. Yang tak kalah penting: kerja sama dan saling
dukung semua pihak. Tak ada negara yang sepenuhnya siap menghadapi pandemi
Covid-19, tetapi sebagian lebih sigap daripada yang lain. Di
sebagian negara ada rekor baru melonjaknya suara dukungan publik kepada
pemerintah semasa pandemi. Di negara lain terjadi sebaliknya. Sebenarnya
kurang adil menilai keberhasilan atau kegagalan negara mengatasi pandemi
semata-mata berdasar pada kebijakan pemerintah. Mengatasi
krisis pandemi ini membutuhkan kombinasi dua jenis kekuatan. Pertama, sarana
yang sudah terlembaga dan memasyarakat. Kedua, kemauan dan kemampuan
pemerintah memanfaatkan secara maksimal sarana yang tersedia, betapa pun
terbatasnya. Sarana
itu berupa perangkat keras dan lunak, termasuk finansial, teknologi,
birokrasi negara, hukum, dan layanan kesehatan. Tidak semua bisa diciptakan
mendadak oleh satu atau dua pemerintah mutakhir. Sebagian merupakan warisan
sejarah bangsa. Akan tetapi, sarana sehebat apa pun akan sia-sia jika
diabaikan pemerintah yang tidak tanggap. Ada
pemerintah yang menjalankan lockdown ketika kasus di wilayahnya kurang dari
10. Ada yang menolak lockdown ketika kasus di wilayahnya sudah di atas 1.000.
Sebabnya bisa bermacam-macam, tetapi dua faktor tersebut ikut berperan. Afganistan,
Lebanon, Afrika Selatan, Etiopia, Tahiti, dan Myanmar dilanda perang saudara.
Siapa pun kepala negaranya akan sulit menahan laju wabah Covid-19. Inggris
dan Amerika Serikat memiliki sarana jauh lebih baik dari mayoritas negara
lain. Namun, dampak pandemi di kedua negara itu termasuk yang terburuk di
dunia. Peluang
di Amerika Serikat disia-siakan Presiden Trump. Penggantinya, Presiden Biden,
mengerahkan modal negara secara maksimal untuk menahan laju pandemi walau
wabah telanjur parah. Hasilnya lumayan bagus. Vietnam
dan Selandia Baru tak punya sarana sebaik Amerika Serikat, tetapi keduanya
pernah menjadi teladan dunia. Brasil tak punya sarana berlimpah. Peluang
menghadapi pandemi terbatas, siapa pun presidennya. Keadaan diperparah oleh
Presiden Bolsonaro yang giat menyangkal pandemi. Cepat
atau lambat, krisis Covid-19 akan berlalu. Namun, ini bukan krisis pertama,
terparah, atau terakhir bagi dunia. Pada waktunya, akan tiba krisis lain
silih berganti. Mampukah kita memetik hikmah terbaik dari bencana mutakhir
ini? Mengakui kekurangan sendiri dan memperbaiki diri agar lebih siap
menghadapi krisis berikutnya? Krisis
membuat gamblang yang sebelumnya samar atau sengaja diabaikan masyarakat.
Krisis juga membuka peluang bagi perubahan. Namun, tak ada jaminan perubahan
itu ke arah yang lebih baik. Tidak ada jaminan kita menjadi lebih bijak. Idealnya
dunia bersatu melawan virus yang mengglobal. Nyatanya, dunia tersekat
nasionalisme sempit. Sebagian besar perang melawan Covid-19 berlangsung dalam
lingkup negara yang terpecah belah politik populisme berbasis agama, ras,
atau etnisitas. Situasi
di Indonesia tidak sama dengan semua negara yang disebut tadi. Namun, ada
pertanyaan yang sama untuk semua bangsa. Apa sarana yang kurang dalam
masyarakat untuk mengatasi krisis berat? Sejauh mana pemerintah sigap atau
gagap memanfaatkan sarana yang tersedia? Kondisi
sosial apa yang selama ini tersembunyi atau terabaikan dalam masyarakat dan
kini terbongkar secara telanjang gara-gara krisis Covid-19? Apabila kita mau
dan mampu memetik hikmah dari krisis ini dan bergegas memperbaiki kondisi
masyarakat untuk generasi mendatang, derita korban pandemi tidak sepenuhnya
tersia-sia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar