Minggu, 01 Agustus 2021

 

Jangan Samakan AKM dengan UN

Kurniawan Adi Santoso ;  Guru SDN Sidorejo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur

KOMPAS, 31 Juli 2021

 

 

                                                           

Asesmen kompetensi minimum direncanakan diselenggarakan pada September-Oktober 2021. Hasilnya akan diumumkan pada Desember. Saat ini sudah memasuki tahap validasi data calon peserta asesmen kompetensi minimum.

 

Asesmen kompetensi minimum (AKM) sesungguhnya dipergunakan sebagai instrumen pemetaan mutu pendidikan dasar dan menengah. Di lapangan, rupanya banyak kepala sekolah dan guru yang menafsirkan AKM sama seperti ujian nasional (UN). Ini jelas penafsiran yang keliru. AKM beda jauh dengan UN.

 

Apabila tidak diluruskan, kekeliruan penafsiran ini bisa berdampak buruk kepada siswa, seperti menimbulkan tekanan psikologis serta adanya potensi komersialisasi, baik berupa penjualan buku-buku kumpulan soal AKM maupun munculnya bimbingan belajar. Juga kemungkinan terjadinya ketidakjujuran, entah praktik contek masal ataupun membocorkan kunci jawaban.

 

Makanya, kita perlu memahami AKM secara saksama. Memahami konsep AKM dapat dimulai dari menelaah AKM sebagai instrumen penilaian untuk mengukur kompetensi minimum atau kemampuan mendasar siswa. Kompetensi mendasar yang dimaksud adalah kompetensi literasi dan numerasi. Literasi dan numerasi merupakan kompetensi yang dikembangkan secara lintas mata pelajaran.

 

Kemampuan membaca yang diukur melalui AKM literasi dikembangkan tidak hanya melalui mata pelajaran Bahasa Indonesia, tetapi juga pelajaran Agama, IPA, IPS, dan mata pelajaran lainnya. Demikian juga kemampuan berpikir logis-sistematis, diukur melalui AKM numerasi dalam berbagai pelajaran. Dengan mengukur literasi dan numerasi, AKM diharapkan mampu mendorong guru semua mata pelajaran untuk fokus pada pengembangan kompetensi membaca dan berpikir logis-sistematis.

 

Dengan memahami konsep awal yang demikian, konteks kompetensi minimum yang dimaksud dalam AKM bukan kompetensi seadanya atau kompetensi tataran rendah yang cemen. Akan tetapi, ini merupakan kompetensi mendasar yang harus dikuasai siswa untuk mempersiapkan masa depan mereka.

 

Dalam AKM, kurikulum bukan hanya bermuatan konten, melainkan juga tingkatan kemampuan berpikir. Oleh sebab itu, kemampuan berpikir harus dilatih dan diajarkan. AKM dimandatkan untuk mengukur kemampuan berpikir logis, pemecahan masalah, inferensi, analisis, sintesis, dan evaluasi, selain konsep-konsep dasar dan prosedural (rote-learning).

 

Hasil AKM dirancang untuk keperluan diagnosis. Guru menafsirkan capaian kompetensi literasi dan numerasi siswa untuk mendiagnosis proses pembelajaran. Dengan demikian, guru kemudian dapat menerapkan teaching at the right level serta fokus membangun kompetensi serta karakter murid.

 

Jadi, untuk menghadapi AKM, siswa tak perlu dijejali bertumpuk-tumpuk soal atau disuruh les AKM ke bimbingan belajar. Siswa cukup disediakan pembelajaran yang mendorong terbangunnya kompetensi serta karakter. Kalau hanya untuk mengenalkan siswa pada beragam format soal AKM, guru bisa mengajak siswa mengunjungi laman https://pusmenjar.kemdikbud.go.id/akm.

 

Lagi pula, AKM bukan untuk mengevaluasi siswa, bahkan menambah beban siswa ataupun sebagai syarat dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB). Tidak ada konsekuensi untuk siswa, tetapi dirancang untuk memperbaiki sistem pendidikan dasar dan menengah. Jadi, siswa tak perlu dibuat khawatir atau takut dengan adanya AKM.

 

Tidak perlu berlebihan

 

Sekolah hendaknya tidak perlu berlebihan menyikapi AKM. AKM tidak sama dengan UN. Tidak usah menjadikan hasil AKM nanti sebagai ajang pertaruhan gengsi. Sebab, AKM difungsikan untuk membantu sekolah memperbaiki performa layanan pendidikannya menjadi lebih baik.

 

Selama ini, pertaruhan gengsi antarsekolah kerap menimbulkan kecurangan-kecurangan akademik, seperti mencontek, mengakui pekerjaan yang bukan miliknya, ataupun melakukan plagiasi dalam mengerjakan tugas sekolah. Ahli pendidikan mengistilahkan perilaku kecurangan akademik dengan korupsi intelektual.

 

Mengerikan sekali menyadari bahwa generasi muda pun bisa menjadi pelaku korupsi. Sikap menggampangkan segala cara dalam memperoleh nilai yang tinggi akan memicu siswa menjadi pelaku korupsi intelektual. Dikhawatirkan, kelak akan menjadi pelaku korupsi yang sebenarnya.

 

Oleh karena itu, sekolah hendaknya menyikapi AKM sejalan dengan tujuan pendidikan. Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

 

Dengan demikian, langkah paling tepat adalah menjadikan hasil AKM benar-benar murni untuk mengukur kemampuan siswa dalam belajar. Nanti, sekolah yang nilai AKM-nya di bawah standar yang ditetapkan pemerintah harus meningkatkan kualitasnya, sedangkan sekolah yang telah mampu mencapai nilai standar atau bahkan lebih tinggi harus terus menjaga kualitasnya.

 

Perlu dipahami bersama bahwa keberhasilan suatu sekolah bukan diwakili hasil AKM semata, melainkan juga keseluruhan proses pembelajaran yang dilakukan siswa. Pemetaan pada proses pembelajaran sangat penting tidak hanya untuk memastikan bahwa sekolah melakukan pembelajaran dengan benar, tetapi juga untuk meningkatkan rasa percaya diri siswa. Apabila rasa percaya diri siswa tinggi, keinginan untuk berbuat curang tidak akan ada.

 

Sebenarnya, sekolah tidak akan mencurangi AKM apabila karakter kejujuran di sekolah tersebut sudah membudaya. Praksisnya, kejujuran menjadi napas dalam tiap gerak langkah warga sekolah, baik di dalam berolah ide, berperilaku, berekspresi, maupun di dalam menciptakan karya.

 

Akan tetapi, berkaca dari penyelenggaraan UN, budaya jujur di sekolah tidaklah cukup sebagai benteng untuk menghalau kecurangan akademik. Karena itu, budaya jujur harus ada dalam tiga alam atau tempat hidup anak-anak kita, yakni alam keluarga, alam perguruan/sekolah, dan alam pergaulan/masyarakat. Dengan keberadaan gotong royong kejujuran ini, penyelenggaraan AKM yang berintegritas dapat terwujud.

 

Dengan demikian, AKM dapat menjawab kebutuhan pemetaan mutu pendidikan dasar dan menengah. Apabila sudah terpetakan, otomatis semakin gampang pula pemerintah mengambil langkah untuk memajukan pendidikan nasional. Bukankah begitu? ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar