Timpang Ariel Heryanto ; Profesor Emeritus dari Universitas
Monash Australia |
KOMPAS,
06 Maret
2021
Setahun terakhir sopan-santun pengguna
media sosial Indonesia termasuk yang terparah sedunia. Demikian hasil riset
tahunan oleh Microsoft yang terbit minggu lalu. Memprihatinkan tetapi tidak
mengejutkan, jika diingat jumlah laporan polisi dan kasus hukum beberapa
tahun belakangan. Tidak semua ujaran yang menyakitkan orang
lain dimaksudkan demikian oleh pihak yang berujar. Salah-paham merupakan
bagian rutin dalam komunikasi, bahkan di antara sahabat karib atau sepasang
kekasih. Tak semua salah-paham dalam hidup dapat atau perlu dijernihkan dan
dipahami bersama, karena berbagai macam alasan. Tidak semua ujaran cacat di media sosial
dapat disebut hoaks. Memang ada berita palsu, yakni dusta yang sengaja
diproduksi massal. Akan tetapi, juga ada berita yang kurang tepat: faktual,
tapi datanya tidak lengkap atau kurang teliti. Ada berita basi: benar, tapi
ada yang lebih baru dan berbeda. Ada berita tak berimbang: nyata, tapi
informasi atau cakupannya hanya sepihak. Tidak semua caci-maki atau kata jorok
merupakan ujar kebencian. Yang saya tahu, komunitas jelata di Jawa Timur
terbiasa menggunakan kata yang terkesan jorok sebagai ungkapan keakraban
dengan sesama sahabat. Saya yakin di luar Jawa Timur pun banyak yang begitu.
Bila jumpa kasus begitu, polisi digital yang berpatroli di media sosial
sebaiknya tidak buru-buru menuduh netizen yang bukan-bukan. Yang saat ini melanda masyarakat kita dan
dilaporkan Microsoft bukan salah-paham atau umpatan sebagai bentuk keakraban.
Yang kita hadapi wabah ujar kebencian dalam masyarakat yang terbelah. Bukan
kasus-kasus individual berjumlah kecil. Kita berbicara tentang penyakit
sosial berskala besar. Bukan hanya di tanahair kita. Riset
Microsoft menunjukkan yang sedang sakit itu masyarakat global. Beda tingkat
kesantunan nitizen antar negara atau kelompok usia hanya menjelaskan beda
tingkat keparahan penyakit. Mirip wabah covid-19 yang mendunia, tetapi tidak
merata tingkat keparahannya. Alih-alih mengurangi masalah, UU ITE diduga
menimbulkan masalah baru. Hal itu diakui Presiden Jokowi. Kepolisian sedang
mencari upaya lain yang lebih mendidik, ketimbang langsung tangkap tersangka.
Upaya ini layak dihargai, walau belum sempurna dan sudah dikritik sejumlah
pihak. Ujar kebencian, perundungan, hoaks hanya
gejala di permukaan dari masalah yang lebih besar dan rumit untuk ditangani
pranata hukum sendirian. Ini bukan soal kurangnya literasi digital. Berbagai
faktor ekonomi, politik, pendidikan dan kejiwaan ikut tumpang-tindih. Masalah
itu tidak berawal dari hadirnya media sosial. Tidak akan teratasi oleh pasal,
aparat, dan penegakan hukum sebaik apa pun. Ujar kebencian bersifat menular seganas
covid-19. Berbeda dari salah paham, kecenderungan sengaja menyakiti orang
lain biasa dilakukan mereka yang pernah disakiti. Ini berlaku di media sosial
atau pun di darat. Beda dari covid-19, penyakit sosial tidak
dapat diatasi dengan suntikan vaksin. Apa pun terapinya, perlu dipahami
terlebih dahulu seluk-beluk penyakit sosial ini. Dari mana datangnya
kebencian yang meluas dan kronis? Bagaimana ia menyebar? Kebencian sosial berjangka-panjang biasanya
berakar dari ketimpangan sosial dalam pengertian seluas-luasnya. Wujudnya
bisa bermacam-macam. Misalnya ketimpangan akses mendapatkan perumahan layak,
pendidikan, air bersih, listrik, perawatan kesehatan. Bisa juga terkait ketimpangan peluang
bekerja dan membina karir, beribadah, rasa aman bergaul, atau bersuara di
ruang publik. Aneka ketimpangan itu terkait beda jenis kelamin, etnisitas,
agama, usia, kubu politik atau kiblat seksual. Kebencian yang mewabah adalah reaksi wajar
terhadap dampak ketimpangan sosial. Ibarat batuk, bersin, atau mual yang
berkisah tentang tubuh sakit. Sensor media sosial dan hukuman terhadap pelaku
ujar kebencian ibarat membungkam mulut yang batuk. Bukan mengobati penyakit
yang menimbulkan batuk. Sejarah manusia adalah sejarah ketimpangan.
Wajar jika ujar kebencian hadir di mana-mana. Tetapi tidak di semua
masyarakat ujar kebencian menjadi wabah yang mengancam kehidupan publik.
Mengapa? Ujar kebencian ibarat sampah. Ia bagian
normal dalam kehidupan manusia di mana pun. Bisa dikurangi, tapi tidak perlu
sepenuhnya dihindari. Sebagian sampah bisa diolah menjadi bahan bermanfaat.
Begitu juga ujar kebencian yang tumbuh dari ketimpangan sosial. Sampah menjadi masalah bila tak tertampung
di tempatnya. Bila jalur pembuangannya macet. Dibiarkan berlarut-larut,
sampah berserakan di mana-mana. Bertimbun menjadi lahan aneka kuman. Lalu
terjadi komplikasi masalah di berbagai bidang. Dibutuhkan kepercayaan publik pada sosok
berwibawa yang dianggap mau dan mampu mengatasi wabah sosial. Seperti
kepercayaan pasien pada dokter yang berusaha menyembuhkan sakitnya. Indonesia
butuh sosok begitu. Siapakah mereka? Menurut riset Microsoft, yang paling
diharapkan oleh responden Indonesia mengatasi wabah kebencian di media sosial
bukan pemerintah (48%). Bukan lembaga pendidikan (46%) apalagi lembaga
keagamaan (41%). Yang paling mereka harapkan justru lembaga komersial seperti
perusahaan media sosial (59%) dan media berita (54%). Idealnya lembaga-lembaga negara lebih
dipercaya publik mengatasi wabah kebencian yang mengancam pergaulan nasional.
Sebab, negara memiliki sumber daya dan jangkauan kewenangan terbesar. Tapi
harapan itu sulit terwujud, jika tingkat kepercayaan publik kepada aparatur
negara masih rendah, walau beberapa individu pejabatnya disanjung tinggi. Di negara mana pun, semua bisa tertular
wabah berujar kebencian dan mengobral kebohongan. Baik pemerintah dan
pendukungnya maupun lawan politik mereka. Kepercayaan publik pada negara akan
meningkat, bila hukum ditegakkan secara adil dan berimbang kepada para pelaku
pelanggaran, tak peduli dari kelompok mana pun. Perusahaan media sosial atau media berita
bisa membantu memerangi ujar kebencian. Mengurangi gejala di permukaan.
Namun, bukan minat dan tugas mereka mengatasi akar masalahnya, yakni
mengurangi ketimpangan sosial sebagai induk berbagai ujar kebencian. Negara
yang paling layak dan wajib menukik ke dasar masalah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar