Minggu, 07 Maret 2021

 

Timpang

 Ariel Heryanto ; Profesor Emeritus dari Universitas Monash Australia

                                                        KOMPAS, 06 Maret 2021

 

 

                                                           

Setahun terakhir sopan-santun pengguna media sosial Indonesia termasuk yang terparah sedunia. Demikian hasil riset tahunan oleh Microsoft yang terbit minggu lalu. Memprihatinkan tetapi tidak mengejutkan, jika diingat jumlah laporan polisi dan kasus hukum beberapa tahun belakangan.

 

Tidak semua ujaran yang menyakitkan orang lain dimaksudkan demikian oleh pihak yang berujar. Salah-paham merupakan bagian rutin dalam komunikasi, bahkan di antara sahabat karib atau sepasang kekasih. Tak semua salah-paham dalam hidup dapat atau perlu dijernihkan dan dipahami bersama, karena berbagai macam alasan.

 

Tidak semua ujaran cacat di media sosial dapat disebut hoaks. Memang ada berita palsu, yakni dusta yang sengaja diproduksi massal. Akan tetapi, juga ada berita yang kurang tepat: faktual, tapi datanya tidak lengkap atau kurang teliti. Ada berita basi: benar, tapi ada yang lebih baru dan berbeda. Ada berita tak berimbang: nyata, tapi informasi atau cakupannya hanya sepihak.

 

Tidak semua caci-maki atau kata jorok merupakan ujar kebencian. Yang saya tahu, komunitas jelata di Jawa Timur terbiasa menggunakan kata yang terkesan jorok sebagai ungkapan keakraban dengan sesama sahabat. Saya yakin di luar Jawa Timur pun banyak yang begitu. Bila jumpa kasus begitu, polisi digital yang berpatroli di media sosial sebaiknya tidak buru-buru menuduh netizen yang bukan-bukan.

 

Yang saat ini melanda masyarakat kita dan dilaporkan Microsoft bukan salah-paham atau umpatan sebagai bentuk keakraban. Yang kita hadapi wabah ujar kebencian dalam masyarakat yang terbelah. Bukan kasus-kasus individual berjumlah kecil. Kita berbicara tentang penyakit sosial berskala besar.

 

Bukan hanya di tanahair kita. Riset Microsoft menunjukkan yang sedang sakit itu masyarakat global. Beda tingkat kesantunan nitizen antar negara atau kelompok usia hanya menjelaskan beda tingkat keparahan penyakit. Mirip wabah covid-19 yang mendunia, tetapi tidak merata tingkat keparahannya.

 

Alih-alih mengurangi masalah, UU ITE diduga menimbulkan masalah baru. Hal itu diakui Presiden Jokowi. Kepolisian sedang mencari upaya lain yang lebih mendidik, ketimbang langsung tangkap tersangka. Upaya ini layak dihargai, walau belum sempurna dan sudah dikritik sejumlah pihak.

 

Ujar kebencian, perundungan, hoaks hanya gejala di permukaan dari masalah yang lebih besar dan rumit untuk ditangani pranata hukum sendirian. Ini bukan soal kurangnya literasi digital. Berbagai faktor ekonomi, politik, pendidikan dan kejiwaan ikut tumpang-tindih. Masalah itu tidak berawal dari hadirnya media sosial. Tidak akan teratasi oleh pasal, aparat, dan penegakan hukum sebaik apa pun.

 

Ujar kebencian bersifat menular seganas covid-19. Berbeda dari salah paham, kecenderungan sengaja menyakiti orang lain biasa dilakukan mereka yang pernah disakiti. Ini berlaku di media sosial atau pun di darat.

 

Beda dari covid-19, penyakit sosial tidak dapat diatasi dengan suntikan vaksin. Apa pun terapinya, perlu dipahami terlebih dahulu seluk-beluk penyakit sosial ini. Dari mana datangnya kebencian yang meluas dan kronis? Bagaimana ia menyebar?

 

Kebencian sosial berjangka-panjang biasanya berakar dari ketimpangan sosial dalam pengertian seluas-luasnya. Wujudnya bisa bermacam-macam. Misalnya ketimpangan akses mendapatkan perumahan layak, pendidikan, air bersih, listrik, perawatan kesehatan.

 

Bisa juga terkait ketimpangan peluang bekerja dan membina karir, beribadah, rasa aman bergaul, atau bersuara di ruang publik. Aneka ketimpangan itu terkait beda jenis kelamin, etnisitas, agama, usia, kubu politik atau kiblat seksual.

 

Kebencian yang mewabah adalah reaksi wajar terhadap dampak ketimpangan sosial. Ibarat batuk, bersin, atau mual yang berkisah tentang tubuh sakit. Sensor media sosial dan hukuman terhadap pelaku ujar kebencian ibarat membungkam mulut yang batuk. Bukan mengobati penyakit yang menimbulkan batuk.

 

Sejarah manusia adalah sejarah ketimpangan. Wajar jika ujar kebencian hadir di mana-mana. Tetapi tidak di semua masyarakat ujar kebencian menjadi wabah yang mengancam kehidupan publik. Mengapa?

 

Ujar kebencian ibarat sampah. Ia bagian normal dalam kehidupan manusia di mana pun. Bisa dikurangi, tapi tidak perlu sepenuhnya dihindari. Sebagian sampah bisa diolah menjadi bahan bermanfaat. Begitu juga ujar kebencian yang tumbuh dari ketimpangan sosial.

 

Sampah menjadi masalah bila tak tertampung di tempatnya. Bila jalur pembuangannya macet. Dibiarkan berlarut-larut, sampah berserakan di mana-mana. Bertimbun menjadi lahan aneka kuman. Lalu terjadi komplikasi masalah di berbagai bidang.

 

Dibutuhkan kepercayaan publik pada sosok berwibawa yang dianggap mau dan mampu mengatasi wabah sosial. Seperti kepercayaan pasien pada dokter yang berusaha menyembuhkan sakitnya. Indonesia butuh sosok begitu. Siapakah mereka?

 

Menurut riset Microsoft, yang paling diharapkan oleh responden Indonesia mengatasi wabah kebencian di media sosial bukan pemerintah (48%). Bukan lembaga pendidikan (46%) apalagi lembaga keagamaan (41%). Yang paling mereka harapkan justru lembaga komersial seperti perusahaan media sosial (59%) dan media berita (54%).

 

Idealnya lembaga-lembaga negara lebih dipercaya publik mengatasi wabah kebencian yang mengancam pergaulan nasional. Sebab, negara memiliki sumber daya dan jangkauan kewenangan terbesar. Tapi harapan itu sulit terwujud, jika tingkat kepercayaan publik kepada aparatur negara masih rendah, walau beberapa individu pejabatnya disanjung tinggi.

 

Di negara mana pun, semua bisa tertular wabah berujar kebencian dan mengobral kebohongan. Baik pemerintah dan pendukungnya maupun lawan politik mereka. Kepercayaan publik pada negara akan meningkat, bila hukum ditegakkan secara adil dan berimbang kepada para pelaku pelanggaran, tak peduli dari kelompok mana pun.

 

Perusahaan media sosial atau media berita bisa membantu memerangi ujar kebencian. Mengurangi gejala di permukaan. Namun, bukan minat dan tugas mereka mengatasi akar masalahnya, yakni mengurangi ketimpangan sosial sebagai induk berbagai ujar kebencian. Negara yang paling layak dan wajib menukik ke dasar masalah. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar