Artidjo,
Kompas Moral 2 Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS,
06 Maret
2021
Angka dua ditulis karena pada Sabtu, 6 Juni
2020, saya sudah menulis ”Kompas Moral”. Judul itu merujuk pada Ketua
Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1998-2005) Ahmad Syafii Maarif. Buya Syafii
adalah ”muazin” bangsa. Istilah muazin—saya kutip dari tulisan Alois Agus
Nugroho, adalah sosok yang terus berseru-seru soal kondisi kebangsaan dan
menjadi kompas moralitas bangsa. Alois menyebut Buya Syafii, ”telah mengajak
kita untuk hidup lurus, untuk hidup dalam kebenaran”. Ungkapan Kompas Moral saya petik dari
aktivis Nahdlatul Ulama, Syafiq Ali, untuk menyebut Buya Syafii. Hamid
Basyaib, penulis obituari ”Sebuah Kitab Keadilan” yang viral, dalam wawancara
dengan Bayu Sutiyono di Kompas TV menyebut sosok Artidjo adalah Kompas Moral. Pengacara ”jalanan” di Yogyakarta, hakim
agung (2000-2018), dan anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) 2019-2023 Artidjo meninggal dalam sepi di apartemennya, Springhill
Terrace Residence, Minggu 18 Februari 2021. Saya cukup lama berinteraksi
dengan Artidjo dan sejumlah advokat di Yogyakarta. Artidjo berkampanye
mendeklarasikan ”Sumpah Antisuap Advokat Indonesia” bersama Ramdlon Naning,
SF Marbun, Kamal Fidaus, dan advokat lain. Berjumpa lagi di Timor Timur, setelah
Insiden Santa Cruz meletus 12 November 1991. Artidjo bersama Luhut MP
Pangaribuan bersama advokat lain mendampingi sejumlah mahasiswa Timtim yang dituduh
melakukan tindak pidana subversi. Intimidasi, teror, dan ancaman pembunuhan
menjadi makanan sehari-hari Artidjo dalam membela hak-hak hukum Francisco
Miranda Branco, Gregorio Dacunha Saldanha, dan terdakwa lain. Jangan membayangkan nota pembelaan dilakukan
di tempat-tempat mewah, Artidjo menyusun pembelaan di warung atau di kamar
sempit hotel. Teror ”ninja bertopeng” berulang kali menghampiri kamarnya.
Saat hari akhir menyusun pembelaan, listrik di Hotel Turismo, tiba-tiba mati.
Artidjo dan tim menyusun pembelaan diterangi nyala lilin sampai pagi sebelum
pembelaan dibacakan. Kesederhanaan, kesahajaan, kebenaran,
keadilan boleh jadi adalah kata kunci yang selalu diingat Artidjo. Dalam
percakapan di warung di Kota Dili tengah malam, saya tak pernah lupa dengan
apa yang dikatakan Artidjo yang selalu menyinggung kata, keadilan hukum dan
kebenaran. Keadilan dan kebenaran adalah dua ruang yang tak bisa
dinegosiasikan, termasuk dengan kekuatan uang. Karena kekuatan nilai yang
dipegang itulah, Artidjo tak pernah merasa takut dengan ancaman, tak punya
ruang untuk disuap. Integritasnya begitu kukuh. Ia beberapa kali mengutip ungkapan Latin,
Fiat justitia ruat coeleum. Fiat justitia pereat mundus. Biarpun langit
runtuh, namun keadilan harus tetap ditegakkan. Reformasi membawa Artidjo menjadi hakim
agung. Menyandang posisi hakim agung, tak membuatnya berubah. Dia kos di
kawasan Kwitang. Dia naik bajaj ke Mahkamah Agung. Sikap hidupnya jauh
berbeda dengan penegak hukum lain, yang hidup glamour dengan harta berlimpah
seperti seorang jaksa dalam kasus Joko Tjandra. Di kamar kerjanya di MA, ada
tulisan, tidak menerima orang beperkara. Dia pernah marah ketika ada seorang utusan
pengusaha menemui Artidjo tanpa izin. Pengusaha itu mengatakan, ”Yang lain
sudah (beres) tinggal Bapak.” Artidjo marah dan mengusir pengusaha itu. Dia
pun pernah disantet, tetapi tak mempan. ”Saya, kan, orang Sumenep, Madura,”
ucapnya berseloroh. Lama saya tak mengontak Artidjo setelah ia
pensiun sebagai hakim agung dan menerima tawaran menjadi anggota Dewas KPK.
Rabu, 5 Agustus 2020, saya mengirim pesan via SMS. Artidjo sedang di
Situbondo. ”Saya sedang work from home,” ujarnya. Saya ngobrol via telepon.
Saya membujuk Artidjo mau tampil dalam talkshow Satu Meja di Kompas TV yang
mengambil tema ”Momentum Membongkar Mafia Peradilan”. Artidjo tak mau berbicara kepada publik.
Namun, dalam obrolan Rabu siang itu, Artidjo menceritakan siapa
pengusaha yang mau menyuapnya saat dia
menangani perkara yang kemudian heboh sebagai mafia peradilan. Dia
menceritakan ikhtiarnya membereskan sistem peradilan, peradilan yang
transaksional. Dia gundah dengan maraknya korupsi di pelbagai lini kehidupan.
Palu hakim digunakan untuk membersihkan bangsa dari korupsi. Dia menyampaikan
pesan, mahalnya biaya politik akan menyulitkan bangsa bebas dari korupsi. Sikap Artidjo yang hitam dan putih
menjadikan dia kadang merasa terkucil. Bagi orang yang punya komitmen untuk
tegaknya hukum hadirnya keadilan sosial, keadilan ekonomi dan keadilan hukum,
Artidjo adalah ”muazin” bangsa yang selalu berteriak melalui putusannya.
Ketika saya menanyakan, mengapa setiap kasus korupsi yang ditanganinya selalu
ditambah hukumannya, Artidjo membantahnya, ”Tidak. Saya juga pernah
membebaskan pegawai yang disangka korupsi.” Melihat korupsi, lihatlah korban korupsi.
Lihatlah rakyat yang menderita karena anggarannya dikorup. Contoh terkini
mempertontonkan bagaimana dana bansos dikorup, bagaimana surat keputusan
dijadikan instrumen mendapatkan keuntungan. Ia sependapat dengan Romo Herry Priyono,
korupsi itu membusukkan bangsa dan bisa meruntuhkan bangsa. Ideologi negara hukum bukan hanya dikatakan
dan itu mudah, tapi dipraktikkan sehingga menjadi kebiasaan. Esensi dari
negara hukum adalah orang tunduk pada hukum. Bukan hukum tunduk pada orang
atau sekelompok orang. Dalam lingkup yang lebih kecil pengelolaan partai
politik pun harus tunduk pada hukum. Bukan pada kekuasaan. Bagaimana praktiknya? Keuangan dan
kepentingan politik masih yang mahakuasa. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar