Minggu, 07 Maret 2021

 

Artidjo, Kompas Moral 2

 Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior Kompas

                                                        KOMPAS, 06 Maret 2021

 

 

                                                           

Angka dua ditulis karena pada Sabtu, 6 Juni 2020, saya sudah menulis ”Kompas Moral”. Judul itu merujuk pada Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1998-2005) Ahmad Syafii Maarif. Buya Syafii adalah ”muazin” bangsa. Istilah muazin—saya kutip dari tulisan Alois Agus Nugroho, adalah sosok yang terus berseru-seru soal kondisi kebangsaan dan menjadi kompas moralitas bangsa. Alois menyebut Buya Syafii, ”telah mengajak kita untuk hidup lurus, untuk hidup dalam kebenaran”.

 

Ungkapan Kompas Moral saya petik dari aktivis Nahdlatul Ulama, Syafiq Ali, untuk menyebut Buya Syafii. Hamid Basyaib, penulis obituari ”Sebuah Kitab Keadilan” yang viral, dalam wawancara dengan Bayu Sutiyono di Kompas TV menyebut sosok Artidjo adalah Kompas Moral.

 

Pengacara ”jalanan” di Yogyakarta, hakim agung (2000-2018), dan anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2019-2023 Artidjo meninggal dalam sepi di apartemennya, Springhill Terrace Residence, Minggu 18 Februari 2021. Saya cukup lama berinteraksi dengan Artidjo dan sejumlah advokat di Yogyakarta. Artidjo berkampanye mendeklarasikan ”Sumpah Antisuap Advokat Indonesia” bersama Ramdlon Naning, SF Marbun, Kamal Fidaus, dan advokat lain.

 

Berjumpa lagi di Timor Timur, setelah Insiden Santa Cruz meletus 12 November 1991. Artidjo bersama Luhut MP Pangaribuan bersama advokat lain mendampingi sejumlah mahasiswa Timtim yang dituduh melakukan tindak pidana subversi. Intimidasi, teror, dan ancaman pembunuhan menjadi makanan sehari-hari Artidjo dalam membela hak-hak hukum Francisco Miranda Branco, Gregorio Dacunha Saldanha, dan terdakwa lain.

 

Jangan membayangkan nota pembelaan dilakukan di tempat-tempat mewah, Artidjo menyusun pembelaan di warung atau di kamar sempit hotel. Teror ”ninja bertopeng” berulang kali menghampiri kamarnya. Saat hari akhir menyusun pembelaan, listrik di Hotel Turismo, tiba-tiba mati. Artidjo dan tim menyusun pembelaan diterangi nyala lilin sampai pagi sebelum pembelaan dibacakan.

 

Kesederhanaan, kesahajaan, kebenaran, keadilan boleh jadi adalah kata kunci yang selalu diingat Artidjo. Dalam percakapan di warung di Kota Dili tengah malam, saya tak pernah lupa dengan apa yang dikatakan Artidjo yang selalu menyinggung kata, keadilan hukum dan kebenaran. Keadilan dan kebenaran adalah dua ruang yang tak bisa dinegosiasikan, termasuk dengan kekuatan uang. Karena kekuatan nilai yang dipegang itulah, Artidjo tak pernah merasa takut dengan ancaman, tak punya ruang untuk disuap. Integritasnya begitu kukuh.

 

Ia beberapa kali mengutip ungkapan Latin, Fiat justitia ruat coeleum. Fiat justitia pereat mundus. Biarpun langit runtuh, namun keadilan harus tetap ditegakkan.

 

Reformasi membawa Artidjo menjadi hakim agung. Menyandang posisi hakim agung, tak membuatnya berubah. Dia kos di kawasan Kwitang. Dia naik bajaj ke Mahkamah Agung. Sikap hidupnya jauh berbeda dengan penegak hukum lain, yang hidup glamour dengan harta berlimpah seperti seorang jaksa dalam kasus Joko Tjandra. Di kamar kerjanya di MA, ada tulisan, tidak menerima orang beperkara.

 

Dia pernah marah ketika ada seorang utusan pengusaha menemui Artidjo tanpa izin. Pengusaha itu mengatakan, ”Yang lain sudah (beres) tinggal Bapak.” Artidjo marah dan mengusir pengusaha itu. Dia pun pernah disantet, tetapi tak mempan. ”Saya, kan, orang Sumenep, Madura,” ucapnya berseloroh.

 

Lama saya tak mengontak Artidjo setelah ia pensiun sebagai hakim agung dan menerima tawaran menjadi anggota Dewas KPK. Rabu, 5 Agustus 2020, saya mengirim pesan via SMS. Artidjo sedang di Situbondo. ”Saya sedang work from home,” ujarnya. Saya ngobrol via telepon. Saya membujuk Artidjo mau tampil dalam talkshow Satu Meja di Kompas TV yang mengambil tema ”Momentum Membongkar Mafia Peradilan”.

 

Artidjo tak mau berbicara kepada publik. Namun, dalam obrolan Rabu siang itu, Artidjo menceritakan siapa pengusaha  yang mau menyuapnya saat dia menangani perkara yang kemudian heboh sebagai mafia peradilan. Dia menceritakan ikhtiarnya membereskan sistem peradilan, peradilan yang transaksional. Dia gundah dengan maraknya korupsi di pelbagai lini kehidupan. Palu hakim digunakan untuk membersihkan bangsa dari korupsi. Dia menyampaikan pesan, mahalnya biaya politik akan menyulitkan bangsa bebas dari korupsi.

 

Sikap Artidjo yang hitam dan putih menjadikan dia kadang merasa terkucil. Bagi orang yang punya komitmen untuk tegaknya hukum hadirnya keadilan sosial, keadilan ekonomi dan keadilan hukum, Artidjo adalah ”muazin” bangsa yang selalu berteriak melalui putusannya. Ketika saya menanyakan, mengapa setiap kasus korupsi yang ditanganinya selalu ditambah hukumannya, Artidjo membantahnya, ”Tidak. Saya juga pernah membebaskan pegawai yang disangka korupsi.”

 

Melihat korupsi, lihatlah korban korupsi. Lihatlah rakyat yang menderita karena anggarannya dikorup. Contoh terkini mempertontonkan bagaimana dana bansos dikorup, bagaimana surat keputusan dijadikan instrumen mendapatkan keuntungan. Ia sependapat dengan Romo Herry Priyono, korupsi itu membusukkan bangsa dan bisa meruntuhkan bangsa.

 

Ideologi negara hukum bukan hanya dikatakan dan itu mudah, tapi dipraktikkan sehingga menjadi kebiasaan. Esensi dari negara hukum adalah orang tunduk pada hukum. Bukan hukum tunduk pada orang atau sekelompok orang. Dalam lingkup yang lebih kecil pengelolaan partai politik pun harus tunduk pada hukum. Bukan pada kekuasaan.

 

Bagaimana praktiknya? Keuangan dan kepentingan politik masih yang mahakuasa. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar