Perkuat
Pengawasan Birokrasi, Tingkatkan Kepuasan Publik Robert Na Endi Jaweng ; Komisioner Ombudsman RI, Pengurus
Yayasan KPPOD |
KOMPAS,
06 Maret
2021
Sudah lama tata kelola sektor publik kita
ditandai pautan ganda (”triple-gap”). Isi kebijakan yang bernas adalah satu
hal, sementara pelaksanaan bisa menjadi hal lain. Dan, lebih lain lagi,
penegakan hukum ataupun pengawasan administrasi di lapangan. Ihwal pautan ketiga, umumnya birokrat di
pusat ataupun daerah masih menilai rendah peran pengawasan. Sebagian pihak
tak jarang menunjukkan sikap alergi. Ogah diawasi. Bila mungkin, mereka
berusaha mengakali, bahkan ”bermain mata” dengan inspektorat, komisi pengawas
eksternal, ataupun pemeriksa keuangan. Semua itu tidak saja mencemari tubuh
birokrasi dan pranata pengawasan, tetapi juga berujung pada kerugian
masyarakat. Malaadministrasi, inefisiensi, dan korupsi menjadi ”tritunggal”
patologi yang menggerus mutu layanan publik, manajemen fiskal, dan lain-lain. Padahal, pengawasan didesain sebagai
instrumen akuntabilitas publik dan umpan balik perbaikan. Pelaksana
kebijakan/layanan perlu memperbaiki kinerjanya berbasis temuan pihak lain
yang berada di luar atau di atas mereka. Meski pengawasan itu identik dengan
supervisi, sumbangan manfaatnya lebih bermakna sebagai proteksi dan promosi
tata kelola ke depan. Ukuran sukses tidak terletak pada kontrol
dan sanksi, tetapi adanya efek jera dan koreksi agar lebih akuntabel mengurus
rakyat. Titik
leverasi Pada sisi lain, ekosistem dan rantai proses
pengawasan memiliki masalah sendiri. Mandat kewenangan, desain institusional,
hingga mutu dan daya eksekusi putusan menjadi titik lemah. Sejurus pula, alih-alih sebagai role model,
pengawas mengidap ”penyakit” serupa dengan lembaga yang diawasi sehingga
perlu juga diawasi. Lebih jauh, kita masih bisa menebalkan berlapis masalah
generik lain yang kesemuanya perlu diurai secara serius dalam meretas jalan
perubahan ke depan. Pertama, berbeda dengan lembaga penegakan
hukum atau pemeriksa keuangan yang memiliki kedudukan kokoh, umumnya lembaga
pengawasan relatif tak berdaya. Apakah berstatus komisi ad hoc ataupun
sebagai lembaga negara, predikat non-struktural (LNS) seolah ”melempar” ke
luar dari bagian organik lembaga-lembaga arus utama (mainstream). Kemunculan
mereka di masa transisi demokrasi menandai kesementaraan (rentan
dibonsai/likuidasi) atau komplementaritas (pelengkap) yang ada dan tiadanya
serasa tak membuat genap atau ganjil formasi kelembagaan yang ada. Kedua, secara otoritas, lembaga pengawasan
itu ”padat kewenangan” pada sisi input dan proses, tetapi output dan daya
eksekusinya lemah. Ombudsman RI, misalnya. Lembaga negara yang berwenang
mengawasi layanan publik ini dilengkapi aneka modalitas kerja: sub poena
power, hak imunitas, kewenangan pemeriksaan, dan seterusnya. Namun, output semua itu adalah rekomendasi.
Nasib eksekusinya ditentukan pihak lain. Dalam kultur birokrasi, komitmen
politik dan sistem yang belum terbangun solid, klausul ”wajib mematuhi
rekomendasi ORI” sepintas memang tampak garang, tetapi sebagian realisasinya
sebatas macan kertas. Ketiga, arsitektur pengawasan tidak saja
ditandai banyaknya lembaga, juga cenderung tumpang tindih. Kita mengenal
nomenklatur pengawasan internal dan eksternal, pengawasan melekat dan
fungsional, pengawasan teknis dan politik, dan seterusnya. Dasar pembentukan sejumlah lembaga tak
selalu berbasis fungsi atau berpendekatan rantai proses, tetapi berdasarkan
kalkulasi politik atau motivasi institusional saat regulasi disusun. Dalam
akutnya ego (silo mentality) para pejabat/lembaga, fragmentasi dan kontestasi
lalu menyeruak. Keempat, manajemen kinerja internal umumnya
ditandai kelembagaan dan tata layanan yang belum kunjung menemui format
ideal. Isu-isu klasiknya masih seputar dukungan finansial, infrastruktur
kerja, formasi dan kualitas sumber daya manusia (SDM), hingga model relasi
kantor pusat dan perwakilan di daerah. Semua kondisi ini meresonansi dalam gerak
kerja, daya tanggap dan efektivitas pengawasan. Lemahnya kepemimpinan dan
governansi internal memperburuk daya dukung institusional dalam mengalirkan
manfaat bersih bagi masyarakat. Naskah Grand Design Reformasi Birokrasi
(2010-2025) dan Road Map Reformasi Birokrasi 2020-2024 pada periode kedua
pemerintahan Joko Widodo menempatkan elemen pengawasan sebagai salah satu
arena perubahan sektor publik. Namun, sedemikian banyaknya agenda kerja
yang disusun, strategi reformasi terasa kehilangan fokus lantaran tak
bertolak dari titik ungkit/pengubah strategis. Implikasinya, sesudah sepuluh
tahun gelombang kedua reformasi birokrasi, hingga awal 2021 ini kita masih
berkutat pada tak terawasinya praktik malaadministrasi, inefisiensi, dan
korupsi birokrasi. Hemat saya, simpulnya mesti kita tarik dari
belakang ke depan. Ujung dari rantai proses suatu pengawasan ialah kepatuhan
birokrasi dan kepuasan publik. Titik pembeda dipatuhi atau diabaikannya hasil
pengawasan terletak pada daya eksekusi keputusan/rekomendasi yang dihasilkan. Pengawasan atas sistem merit (Komisi
Aparatur Sipil Negara/KASN), layanan publik (Ombudsman Republik
Indonesia/ORI), keterbukaan informasi (Komisi Informasi Pusat/KIP), dan
seterusnya hanya akan menghasilkan koreksi bagi perbaikan kinerja dan
akuntabilitas publik jika hasil kerja mereka terkonversi dalam daya eksekusi
yang tinggi. Pertama, dimulai dari internal lembaga
pengawas, yakni keberadaan unit resolusi dan monitoring. Unit ini memastikan
adanya tindak lanjut hasil pengawasan, membantu formula respons yang tepat
dari pihak yang diawasi, serta menyusun policy tracking untuk mengukur dampak
dari keputusan/rekomendasi bagi perubahan kebijakan terkait. Ukuran sukses jelas berbeda dari peneliti,
juga tak berpuas sebagai watch dog, hasil kerja berakhir pada laporan dan
berita media. Standar sukses pengawas adalah dampak perbaikan sebagai tindak
lanjut atas hasil kerja mereka. Kedua, lembaga pengawas umumnya bermain
pada ranah pengaruh (magistrature of influence), bukan rezim sanksi
(magistrature of sanction) layaknya penegak hukum. Agar berpengaruh, lembaga
dan figur pemimpinnya harus berpengaruh. Namun, tanpa meminjam tangan
(sinergi) dengan lembaga yang memiliki otoritas, pengaruh tersebut bisa tak
bertuah. Dalam struktur birokrasi terdapat inspektorat yang memiliki rumpun kerja
serupa ORI atau KASN. Sementara terhadap pemda yang tak
mengindahkan hasil pengawasan, sinergi dengan Kementerian Dalam Negeri jelas
amat krusial sebagai pemangku otoritas pembinaan-pengawasan (binwas) yang
memang dilapisi pengenaan sanksi. Ketiga, dalam ekosistem makro, dukungan
sosial (masyarakat) dan politik (DPR) menjadi kunci pamungkas. Sebagai
pengawas eksternal, genealogi kelahiran berbagai komisi maupun yang
berevolusi menjadi lembaga negara berangkat dari hasrat menjadi jelma
masyarakat dalam tata kelola sektor publik. Dukungan mereka akan menjadi
energi perubahan jika dirawat secara substantif melalui keberpihakan dan
bukti kinerja bagi kemaslahatan publik. Pada sisi lain, komunikasi politik dengan
DPR/DPRD mesti terjalin intensif. Hasil pengawasan atas satu sektor/bidang
bisa menjadi bahan dasar bagi komisi terkait di parlemen saat rapat kerja
ataupun fungsi kontrol atas mitra kerja kementerian/lembaga (pusat) dan
dinas/badan (pemda). Berita utama media massa hari-hari ini
menghadirkan suatu kontras: indeks persepsi korupsi yang menurun dan evaluasi
ulang keberadaan KASN. Publik terasa sulit mencerna nalar induktifnya.
Korupsi itu lazimnya bermula dari gagalnya kita mencegah malaadminstrasi dan
menegakkan sistem merit (kualifikasi, kompetensi, dan kinerja) dalam
manajemen kepegawaian. Peran pengawasan sejatinya adalah
membendung di hulu, sebagai upaya preemptif dan preventif, sebelum kerusakan
terjadi. Lebih lagi di masa pandemi Covid-19 ketika relaksasi tata kelola
sektor publik selama 2020 tak mungkin terus ditenggang tahun ini dan ke depan
(Jaweng, Kompas, 19/1/2021). Strategi komplet menghadapi korupsi
hendaknya meletakkan pengawasan sebagai inti dari upaya pencegahan. Sistem
integritas dibangun, pranata pengawasan memastikan sistem itu bekerja. Dimensi politik dalam bangunan kerja
tersebut adalah menata sistematisnya aransemen institusional dan kuatnya
dukungan bagi keberadaan dan juga segenap operasionalnya. Usaha ini jelas tak
bisa diserahkan kepada birokrasi. Bukan saja sebagai obyek yang diawasi,
terutama lantaran belum ada sejarahnya pengawasan itu pernah disambut secara
bersahabat bagi kebaikan publik (akuntabilitas) dan diri mereka sendiri
(perbaikan kinerja). ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar