Minggu, 07 Maret 2021

 

Perkuat Pengawasan Birokrasi, Tingkatkan Kepuasan Publik

 Robert Na Endi Jaweng ; Komisioner Ombudsman RI, Pengurus Yayasan KPPOD

                                                        KOMPAS, 06 Maret 2021

 

 

                                                           

Sudah lama tata kelola sektor publik kita ditandai pautan ganda (”triple-gap”). Isi kebijakan yang bernas adalah satu hal, sementara pelaksanaan bisa menjadi hal lain. Dan, lebih lain lagi, penegakan hukum ataupun pengawasan administrasi di lapangan.

 

Ihwal pautan ketiga, umumnya birokrat di pusat ataupun daerah masih menilai rendah peran pengawasan. Sebagian pihak tak jarang menunjukkan sikap alergi. Ogah diawasi. Bila mungkin, mereka berusaha mengakali, bahkan ”bermain mata” dengan inspektorat, komisi pengawas eksternal, ataupun pemeriksa keuangan.

 

Semua itu tidak saja mencemari tubuh birokrasi dan pranata pengawasan, tetapi juga berujung pada kerugian masyarakat. Malaadministrasi, inefisiensi, dan korupsi menjadi ”tritunggal” patologi yang menggerus mutu layanan publik, manajemen fiskal, dan lain-lain.

 

Padahal, pengawasan didesain sebagai instrumen akuntabilitas publik dan umpan balik perbaikan. Pelaksana kebijakan/layanan perlu memperbaiki kinerjanya berbasis temuan pihak lain yang berada di luar atau di atas mereka. Meski pengawasan itu identik dengan supervisi, sumbangan manfaatnya lebih bermakna sebagai proteksi dan promosi tata kelola ke depan.

 

Ukuran sukses tidak terletak pada kontrol dan sanksi, tetapi adanya efek jera dan koreksi agar lebih akuntabel mengurus rakyat.

 

Titik leverasi

 

Pada sisi lain, ekosistem dan rantai proses pengawasan memiliki masalah sendiri. Mandat kewenangan, desain institusional, hingga mutu dan daya eksekusi putusan menjadi titik lemah.

 

Sejurus pula, alih-alih sebagai role model, pengawas mengidap ”penyakit” serupa dengan lembaga yang diawasi sehingga perlu juga diawasi. Lebih jauh, kita masih bisa menebalkan berlapis masalah generik lain yang kesemuanya perlu diurai secara serius dalam meretas jalan perubahan ke depan.

 

Pertama, berbeda dengan lembaga penegakan hukum atau pemeriksa keuangan yang memiliki kedudukan kokoh, umumnya lembaga pengawasan relatif tak berdaya.

 

Apakah berstatus komisi ad hoc ataupun sebagai lembaga negara, predikat non-struktural (LNS) seolah ”melempar” ke luar dari bagian organik lembaga-lembaga arus utama (mainstream). Kemunculan mereka di masa transisi demokrasi menandai kesementaraan (rentan dibonsai/likuidasi) atau komplementaritas (pelengkap) yang ada dan tiadanya serasa tak membuat genap atau ganjil formasi kelembagaan yang ada.

 

Kedua, secara otoritas, lembaga pengawasan itu ”padat kewenangan” pada sisi input dan proses, tetapi output dan daya eksekusinya lemah. Ombudsman RI, misalnya. Lembaga negara yang berwenang mengawasi layanan publik ini dilengkapi aneka modalitas kerja: sub poena power, hak imunitas, kewenangan pemeriksaan, dan seterusnya.

 

Namun, output semua itu adalah rekomendasi. Nasib eksekusinya ditentukan pihak lain. Dalam kultur birokrasi, komitmen politik dan sistem yang belum terbangun solid, klausul ”wajib mematuhi rekomendasi ORI” sepintas memang tampak garang, tetapi sebagian realisasinya sebatas macan kertas.

 

Ketiga, arsitektur pengawasan tidak saja ditandai banyaknya lembaga, juga cenderung tumpang tindih. Kita mengenal nomenklatur pengawasan internal dan eksternal, pengawasan melekat dan fungsional, pengawasan teknis dan politik, dan seterusnya.

 

Dasar pembentukan sejumlah lembaga tak selalu berbasis fungsi atau berpendekatan rantai proses, tetapi berdasarkan kalkulasi politik atau motivasi institusional saat regulasi disusun. Dalam akutnya ego (silo mentality) para pejabat/lembaga, fragmentasi dan kontestasi lalu menyeruak.

 

Keempat, manajemen kinerja internal umumnya ditandai kelembagaan dan tata layanan yang belum kunjung menemui format ideal. Isu-isu klasiknya masih seputar dukungan finansial, infrastruktur kerja, formasi dan kualitas sumber daya manusia (SDM), hingga model relasi kantor pusat dan perwakilan di daerah.

 

Semua kondisi ini meresonansi dalam gerak kerja, daya tanggap dan efektivitas pengawasan. Lemahnya kepemimpinan dan governansi internal memperburuk daya dukung institusional dalam mengalirkan manfaat bersih bagi masyarakat.

 

Naskah Grand Design Reformasi Birokrasi (2010-2025) dan Road Map Reformasi Birokrasi 2020-2024 pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo menempatkan elemen pengawasan sebagai salah satu arena perubahan sektor publik.

 

Namun, sedemikian banyaknya agenda kerja yang disusun, strategi reformasi terasa kehilangan fokus lantaran tak bertolak dari titik ungkit/pengubah strategis. Implikasinya, sesudah sepuluh tahun gelombang kedua reformasi birokrasi, hingga awal 2021 ini kita masih berkutat pada tak terawasinya praktik malaadministrasi, inefisiensi, dan korupsi birokrasi.

 

Hemat saya, simpulnya mesti kita tarik dari belakang ke depan. Ujung dari rantai proses suatu pengawasan ialah kepatuhan birokrasi dan kepuasan publik. Titik pembeda dipatuhi atau diabaikannya hasil pengawasan terletak pada daya eksekusi keputusan/rekomendasi yang dihasilkan.

 

Pengawasan atas sistem merit (Komisi Aparatur Sipil Negara/KASN), layanan publik (Ombudsman Republik Indonesia/ORI), keterbukaan informasi (Komisi Informasi Pusat/KIP), dan seterusnya hanya akan menghasilkan koreksi bagi perbaikan kinerja dan akuntabilitas publik jika hasil kerja mereka terkonversi dalam daya eksekusi yang tinggi.

 

Pertama, dimulai dari internal lembaga pengawas, yakni keberadaan unit resolusi dan monitoring. Unit ini memastikan adanya tindak lanjut hasil pengawasan, membantu formula respons yang tepat dari pihak yang diawasi, serta menyusun policy tracking untuk mengukur dampak dari keputusan/rekomendasi bagi perubahan kebijakan terkait.

 

Ukuran sukses jelas berbeda dari peneliti, juga tak berpuas sebagai watch dog, hasil kerja berakhir pada laporan dan berita media. Standar sukses pengawas adalah dampak perbaikan sebagai tindak lanjut atas hasil kerja mereka.

 

Kedua, lembaga pengawas umumnya bermain pada ranah pengaruh (magistrature of influence), bukan rezim sanksi (magistrature of sanction) layaknya penegak hukum. Agar berpengaruh, lembaga dan figur pemimpinnya harus berpengaruh. Namun, tanpa meminjam tangan (sinergi) dengan lembaga yang memiliki otoritas, pengaruh tersebut bisa tak bertuah. Dalam struktur birokrasi terdapat inspektorat yang memiliki rumpun kerja serupa ORI atau KASN.

 

Sementara terhadap pemda yang tak mengindahkan hasil pengawasan, sinergi dengan Kementerian Dalam Negeri jelas amat krusial sebagai pemangku otoritas pembinaan-pengawasan (binwas) yang memang dilapisi pengenaan sanksi.

 

Ketiga, dalam ekosistem makro, dukungan sosial (masyarakat) dan politik (DPR) menjadi kunci pamungkas. Sebagai pengawas eksternal, genealogi kelahiran berbagai komisi maupun yang berevolusi menjadi lembaga negara berangkat dari hasrat menjadi jelma masyarakat dalam tata kelola sektor publik. Dukungan mereka akan menjadi energi perubahan jika dirawat secara substantif melalui keberpihakan dan bukti kinerja bagi kemaslahatan publik.

 

Pada sisi lain, komunikasi politik dengan DPR/DPRD mesti terjalin intensif. Hasil pengawasan atas satu sektor/bidang bisa menjadi bahan dasar bagi komisi terkait di parlemen saat rapat kerja ataupun fungsi kontrol atas mitra kerja kementerian/lembaga (pusat) dan dinas/badan (pemda).

 

Berita utama media massa hari-hari ini menghadirkan suatu kontras: indeks persepsi korupsi yang menurun dan evaluasi ulang keberadaan KASN. Publik terasa sulit mencerna nalar induktifnya. Korupsi itu lazimnya bermula dari gagalnya kita mencegah malaadminstrasi dan menegakkan sistem merit (kualifikasi, kompetensi, dan kinerja) dalam manajemen kepegawaian.

 

Peran pengawasan sejatinya adalah membendung di hulu, sebagai upaya preemptif dan preventif, sebelum kerusakan terjadi. Lebih lagi di masa pandemi Covid-19 ketika relaksasi tata kelola sektor publik selama 2020 tak mungkin terus ditenggang tahun ini dan ke depan (Jaweng, Kompas, 19/1/2021).

 

Strategi komplet menghadapi korupsi hendaknya meletakkan pengawasan sebagai inti dari upaya pencegahan. Sistem integritas dibangun, pranata pengawasan memastikan sistem itu bekerja.

 

Dimensi politik dalam bangunan kerja tersebut adalah menata sistematisnya aransemen institusional dan kuatnya dukungan bagi keberadaan dan juga segenap operasionalnya. Usaha ini jelas tak bisa diserahkan kepada birokrasi.

 

Bukan saja sebagai obyek yang diawasi, terutama lantaran belum ada sejarahnya pengawasan itu pernah disambut secara bersahabat bagi kebaikan publik (akuntabilitas) dan diri mereka sendiri (perbaikan kinerja). ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar