Orangtua
dan Proses Pembelajaran Agama Anak Khalimatu Nisa ; Alumni Center for Religious and
Cross-cultural Studies (CRCS) UGM |
DETIKNEWS,
26 Februari
2021
Sebagai seorang ibu, saya pernah
terkagum-kagum melihat video seorang balita mendendangkan asmaul husna. Meski
masih cadel, bocah laki-laki itu merapal nama-nama Allah dengan lancar. Si
ibu yang mengunggah video itu membeberkan rahasianya: Smart Hafiz. Gadget
itulah yang membuat anaknya hafal asmaul husna berikut syair-syair salawat
Nabi. Terakhir, ia tak lupa menginfokan banderol harga dan cara pemesanannya
yang bisa dilakukan melalui arisan. Saya yakin, bukan saya seorang yang
bermimpi punya anak pinter ngaji. Apalagi, belakangan televisi turut memberi
panggung bagi anak-anak untuk unjuk kebolehan menghafal al-Quran. Predikat
hafiz dan hafizah menjadi semakin populer. Sebagaimana orangtua masa kini yang resah
pada anak-anak yang kecanduan gadget, saya juga tidak bisa tidak
mempertimbangkan perlunya memfasilitasi anak dengan gawai yang lebih
edukatif. Meski harga si pintar itu tidak bisa dibilang murah, tapi sebagai
bagian dari kelas menengah muslim, bisalah dijangkau meski dengan cara
nyicil. Lantas, perlukah saya membeli Smart Hafiz? Menjawab
Kebutuhan Munculnya Smart Hafiz memang didorong oleh
kerisauan atas gadget di kalangan anak-anak. Al-Qolam, brand yang menaungi
Smart Hafiz menawarkan mainan edukasi ini sebagai media alternatif terbaik
pengganti gawai untuk anak-anak muslim. Di dalamnya terdapat ratusan varian
konten islami mulai dari lagu-lagu anak hingga murattal 30 juz. Dilengkapi
fitur layar untuk memutar video dan mikrofon untuk berkaraoke, Smart Hafiz
lebih lengkap ketimbang Hafiz Doll yang relatif hanya menyajikan komunikasi
satu arah. Harga Smart Hafiz versi termutakhir bisa tiga kali lipat harga
satu unit Hafiz Doll. Melihat catatan penjualannya di berbagai
marketplace dan luasnya jaringan reseller berikut iklan-iklannya yang
bertebaran di lini masa media sosial, terbukti produk ini mendapat sambutan
baik di pasaran. Hadirnya Smart Hafiz di pasar sukses bertemu dengan semangat
keberislaman masyarakat muslim Indonesia –sebagaimana disimpulkan oleh
Hasanuddin Ali dan Lilik Purwandi dalam Indonesia Muslim Report 2019,
terutama kelas menengah perkotaan. Semangat keagamaan ini ditandai dengan
fenomena "hijrah" yang belakangan popular berikut semangat
melaksanakan perintah agama baik ritual yang bersifat wajib maupun sunah. Sementara itu, dari sisi marketing, Yuswohadi,
dkk (2016) menyebut kelas menengah muslim Indonesia bersifat universal.
Tumbuh dalam kondisi ekonomi yang stabil serta akses pendidikan yang memadai,
kelompok ini memiliki pengetahuan atau wawasan luas, pola pikir global, melek
teknologi, dan di sisi lain secara teguh menjalankan nilai-nilai Islam dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan high buying power yang dimiliki, karakter itu
membentuk pola konsumsi atas barang atau jasa yang mereka anggap cool yaitu
hal-hal bernuansa Islami sekaligus berbau digital, global, dan inovasi. Kehadiran Smart Hafiz menjawab kebutuhan
kelas menengah muslim dengan menyajikan inovasi "cool" pembelajaran
Islam secara digital untuk anak-anak. Dihadapkan pada fakta bahwa anak-anak
mereka adalah Gen Z yang merupakan digital native, gawai ini menjadi solusi
piranti yang disukai anak sekaligus edukatif. Di lingkungan perkotaan, Smart Hafiz makin
relevan bagi orangtua yang tidak punya banyak waktu untuk anak-anak termasuk
mendampingi mengaji. Lembaga pendidikan Islam di lingkungan sekitar juga
terbatas dibandingkan di pedesaan di mana langgar, musala, TPQ, banyak
dijumpai di sudut-sudut kampung. Bukan
Solusi Tunggal Arus perkembangan teknologi memang tidak
bisa dibendung. Penggunaan Smart Hafiz sebagai sebuah alat bantu tentu sah-sah
saja. Namun akan bermasalah jika kemudian fungsinya dianggap sebagai solusi
tunggal bagi kebutuhan pendidikan agama anak. Apalagi jika ambisi orangtua
sekadar anak-anak hafal ayat-ayat di luar kepala. Jika tidak hati-hati, kehadiran Smart Hafiz
bisa mendisrupsi tradisi mengaji. Ritual mengaji tradisional adalah pergi
menghadap seorang guru. Dalam konteks belajar al-Quran, dengan bertatap muka,
murid bisa melihat secara langsung komat-kamit gerak bibir gurunya
mempraktikkan makhorijul huruf. Belajar mengaji dengan metode ini nyatanya
bukan soal berapa juz yang berhasil dikhatamkan atau berapa banyak ayat yang
mampu dihafal tapi lebih menekankan pada pembacaan yang benar. Ulama-ulama penjaga al-Quran Nusantara,
seperti KH Muhammad Munawwir Krapyak, menggunakan dua lapis metode dalam
mengajar yaitu talaqqi dan musyafahah. Dalam talaqqi dan musyafahah guru
membacakan ayat dan murid mengulanginya atau sebaliknya, murid mendaraskan
ayat di hadapan guru. Keduanya mensyaratkan perjumpaan murid dengan guru. Melalui
guru pula, murid akan memperoleh sanad atau silsilah keilmuan yang
sambung-menyambung otentisitasnya hingga ke Rasulullah SAW. Lewat kecanggihan teknologi, anak-anak bisa
mengakses bermacam materi melalui Smart Hafiz. Tapi yang demikian tidak bisa
serta merta menggantikan pembelajaran agama tradisional melalui guru. Dalam
perjumpaan dengan guru akan terjadi transmisi nilai, satu hal yang tidak bisa
disuguhkan oleh teknologi. Dengan menghadap guru, anak-anak belajar bagaimana
memuliakan sumber ilmu dan mempraktikkan adab atau tata krama. Hal lain yang tidak bisa dijanjikan oleh
Smart Hafiz adalah apa yang disebut Al-Zarnuji dalam kitabnya yang masyhur
Ta'limul Mutaalim, menjadi salah satu kunci menuntut ilmu yaitu thuluz zaman,
atau terus-menerus. Artinya, proses belajar semestinya dilakukan secara
istikamah bahkan sepanjang hayat. Untuk bisa mencapai konsistensi dalam
belajar, yang diperlukan adalah kesabaran, ketekunan, dan rasa ingin tahu.
Kecanggihan belajar agama yang ditawarkan gawai Smart Hafiz boleh jadi justru
membangun mentalitas serba instan, alih-alih ketelatenan belajar. Saya teringat, dalam suatu kesempatan,
Alissa Wahid yang menggeluti psikologi keluarga pernah menuturkan bahwa
seharusnya para orangtua tidak perlu khawatir anak-anaknya tumbuh seperti
apa: apakah menjadi saleh, pintar, atau sebaliknya. Orangtua semestinya lebih
khawatir apakah dirinya bisa menjadi orangtua terbaik untuk anaknya atau
tidak. Karena orangtualah pemegang tongkat komando kepengasuhan anak. Di titik ini, sebagai orangtua saya merasa
perlu beralih fokus. Tidak lagi terobsesi pada imaji anak pintar mengaji
sehingga memerlukan cara-cara yang instan untuk mewujudkannya, melainkan
bagaimana menghadirkan diri dalam proses pembelajaran agama anak-anak. Apakah
saya sebagai orangtua mau berinvestasi waktu, memberi keteladanan, dan
membentuk habit mengaji? Akhirnya, membeli atau tidak membeli Smart Hafiz
tidak lagi menjadi penting. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar