Selasa, 02 Maret 2021

 

Orangtua dan Proses Pembelajaran Agama Anak

 Khalimatu Nisa  ;  Alumni Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM

                                                  DETIKNEWS, 26 Februari 2021

 

 

                                                           

Sebagai seorang ibu, saya pernah terkagum-kagum melihat video seorang balita mendendangkan asmaul husna. Meski masih cadel, bocah laki-laki itu merapal nama-nama Allah dengan lancar. Si ibu yang mengunggah video itu membeberkan rahasianya: Smart Hafiz. Gadget itulah yang membuat anaknya hafal asmaul husna berikut syair-syair salawat Nabi. Terakhir, ia tak lupa menginfokan banderol harga dan cara pemesanannya yang bisa dilakukan melalui arisan.

 

Saya yakin, bukan saya seorang yang bermimpi punya anak pinter ngaji. Apalagi, belakangan televisi turut memberi panggung bagi anak-anak untuk unjuk kebolehan menghafal al-Quran. Predikat hafiz dan hafizah menjadi semakin populer.

 

Sebagaimana orangtua masa kini yang resah pada anak-anak yang kecanduan gadget, saya juga tidak bisa tidak mempertimbangkan perlunya memfasilitasi anak dengan gawai yang lebih edukatif. Meski harga si pintar itu tidak bisa dibilang murah, tapi sebagai bagian dari kelas menengah muslim, bisalah dijangkau meski dengan cara nyicil. Lantas, perlukah saya membeli Smart Hafiz?

 

Menjawab Kebutuhan

 

Munculnya Smart Hafiz memang didorong oleh kerisauan atas gadget di kalangan anak-anak. Al-Qolam, brand yang menaungi Smart Hafiz menawarkan mainan edukasi ini sebagai media alternatif terbaik pengganti gawai untuk anak-anak muslim. Di dalamnya terdapat ratusan varian konten islami mulai dari lagu-lagu anak hingga murattal 30 juz. Dilengkapi fitur layar untuk memutar video dan mikrofon untuk berkaraoke, Smart Hafiz lebih lengkap ketimbang Hafiz Doll yang relatif hanya menyajikan komunikasi satu arah. Harga Smart Hafiz versi termutakhir bisa tiga kali lipat harga satu unit Hafiz Doll.

 

Melihat catatan penjualannya di berbagai marketplace dan luasnya jaringan reseller berikut iklan-iklannya yang bertebaran di lini masa media sosial, terbukti produk ini mendapat sambutan baik di pasaran. Hadirnya Smart Hafiz di pasar sukses bertemu dengan semangat keberislaman masyarakat muslim Indonesia –sebagaimana disimpulkan oleh Hasanuddin Ali dan Lilik Purwandi dalam Indonesia Muslim Report 2019, terutama kelas menengah perkotaan. Semangat keagamaan ini ditandai dengan fenomena "hijrah" yang belakangan popular berikut semangat melaksanakan perintah agama baik ritual yang bersifat wajib maupun sunah.

 

Sementara itu, dari sisi marketing, Yuswohadi, dkk (2016) menyebut kelas menengah muslim Indonesia bersifat universal. Tumbuh dalam kondisi ekonomi yang stabil serta akses pendidikan yang memadai, kelompok ini memiliki pengetahuan atau wawasan luas, pola pikir global, melek teknologi, dan di sisi lain secara teguh menjalankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dengan high buying power yang dimiliki, karakter itu membentuk pola konsumsi atas barang atau jasa yang mereka anggap cool yaitu hal-hal bernuansa Islami sekaligus berbau digital, global, dan inovasi.

 

Kehadiran Smart Hafiz menjawab kebutuhan kelas menengah muslim dengan menyajikan inovasi "cool" pembelajaran Islam secara digital untuk anak-anak. Dihadapkan pada fakta bahwa anak-anak mereka adalah Gen Z yang merupakan digital native, gawai ini menjadi solusi piranti yang disukai anak sekaligus edukatif.

 

Di lingkungan perkotaan, Smart Hafiz makin relevan bagi orangtua yang tidak punya banyak waktu untuk anak-anak termasuk mendampingi mengaji. Lembaga pendidikan Islam di lingkungan sekitar juga terbatas dibandingkan di pedesaan di mana langgar, musala, TPQ, banyak dijumpai di sudut-sudut kampung.

 

Bukan Solusi Tunggal

 

Arus perkembangan teknologi memang tidak bisa dibendung. Penggunaan Smart Hafiz sebagai sebuah alat bantu tentu sah-sah saja. Namun akan bermasalah jika kemudian fungsinya dianggap sebagai solusi tunggal bagi kebutuhan pendidikan agama anak. Apalagi jika ambisi orangtua sekadar anak-anak hafal ayat-ayat di luar kepala.

 

Jika tidak hati-hati, kehadiran Smart Hafiz bisa mendisrupsi tradisi mengaji. Ritual mengaji tradisional adalah pergi menghadap seorang guru. Dalam konteks belajar al-Quran, dengan bertatap muka, murid bisa melihat secara langsung komat-kamit gerak bibir gurunya mempraktikkan makhorijul huruf. Belajar mengaji dengan metode ini nyatanya bukan soal berapa juz yang berhasil dikhatamkan atau berapa banyak ayat yang mampu dihafal tapi lebih menekankan pada pembacaan yang benar.

 

Ulama-ulama penjaga al-Quran Nusantara, seperti KH Muhammad Munawwir Krapyak, menggunakan dua lapis metode dalam mengajar yaitu talaqqi dan musyafahah. Dalam talaqqi dan musyafahah guru membacakan ayat dan murid mengulanginya atau sebaliknya, murid mendaraskan ayat di hadapan guru. Keduanya mensyaratkan perjumpaan murid dengan guru. Melalui guru pula, murid akan memperoleh sanad atau silsilah keilmuan yang sambung-menyambung otentisitasnya hingga ke Rasulullah SAW.

 

Lewat kecanggihan teknologi, anak-anak bisa mengakses bermacam materi melalui Smart Hafiz. Tapi yang demikian tidak bisa serta merta menggantikan pembelajaran agama tradisional melalui guru. Dalam perjumpaan dengan guru akan terjadi transmisi nilai, satu hal yang tidak bisa disuguhkan oleh teknologi. Dengan menghadap guru, anak-anak belajar bagaimana memuliakan sumber ilmu dan mempraktikkan adab atau tata krama.

 

Hal lain yang tidak bisa dijanjikan oleh Smart Hafiz adalah apa yang disebut Al-Zarnuji dalam kitabnya yang masyhur Ta'limul Mutaalim, menjadi salah satu kunci menuntut ilmu yaitu thuluz zaman, atau terus-menerus. Artinya, proses belajar semestinya dilakukan secara istikamah bahkan sepanjang hayat. Untuk bisa mencapai konsistensi dalam belajar, yang diperlukan adalah kesabaran, ketekunan, dan rasa ingin tahu. Kecanggihan belajar agama yang ditawarkan gawai Smart Hafiz boleh jadi justru membangun mentalitas serba instan, alih-alih ketelatenan belajar.

 

Saya teringat, dalam suatu kesempatan, Alissa Wahid yang menggeluti psikologi keluarga pernah menuturkan bahwa seharusnya para orangtua tidak perlu khawatir anak-anaknya tumbuh seperti apa: apakah menjadi saleh, pintar, atau sebaliknya. Orangtua semestinya lebih khawatir apakah dirinya bisa menjadi orangtua terbaik untuk anaknya atau tidak. Karena orangtualah pemegang tongkat komando kepengasuhan anak.

 

Di titik ini, sebagai orangtua saya merasa perlu beralih fokus. Tidak lagi terobsesi pada imaji anak pintar mengaji sehingga memerlukan cara-cara yang instan untuk mewujudkannya, melainkan bagaimana menghadirkan diri dalam proses pembelajaran agama anak-anak. Apakah saya sebagai orangtua mau berinvestasi waktu, memberi keteladanan, dan membentuk habit mengaji? Akhirnya, membeli atau tidak membeli Smart Hafiz tidak lagi menjadi penting. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar