Tantangan
Keterwakilan Perempuan 2019
Sri Eko Budi Wardani ; Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
|
KOMPAS,
07 Maret
2018
Pada Pemilu 2019, kebijakan
afirmatif pencalonan perempuan sebagai anggota legislatif untuk keempat
kalinya akan diterapkan. Perjalanan kebijakan afirmatif tersebut telah
melewati sejumlah perubahan regulasi yang menandai perkembangan keterwakilan
politik perempuan. Itu dimulai dari aturan bersejarah yaitu Pasal 65 UU Nomor
12 tahun 2003 yang pertama kali mengatur partai politik peserta pemilu
memerhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dalam
pencalonan anggota legislatif.
Aturan berubah sejalan perubahan
undang-undang pemilu pada 2008 dan 2012 yang mengatur lebih rinci kebijakan
afirmatif. Selain pencalonan minimal 30 persen, juga mengatur penempatan
perempuan di daftar calon yaitu setiap tiga nama paling kurang terdapat satu
perempuan. Aturan tersebut tidak berubah di UU Nomor 7 tahun 2017 sebagai
hukum formal pelaksanaan Pemilu 2019 (lihat pasal 245 dan pasal 246 ayat 2).
Keterwakilan
perempuan
Penerapan kebijakan afirmatif
dalam tiga pemilu terakhir (2004, 2009, 2014) menunjukkan adanya pencapaian
keterwakilan perempuan di legislatif. Pemilu 1999 yang merupakan pemilu
pertama di Era Reformasi dan tanpa afirmasi, jumlah perempuan terpilih di DPR
hanya 9 persen (46 dari 500). Saat kebijakan afirmasi perempuan pertama kali
diterapkan pada Pemilu 2004, terjadi peningkatan jumlah perempuan terpilih di
DPR: 65 orang dari 550 anggota DPR (11,8 persen). Afirmasi plus (30 persen
dan penempatan 1 dari 3) pada Pemilu 2009 memberikan hasil yang lebih baik
dari sebelumnya. Jumlah perempuan terpilih mencapai persentase tertinggi
yaitu 18 persen (101 dari 560). Namun, pada Pemilu 2014 dengan aturan
afirmasi plus yang sama, jumlah perempuan terpilih di DPR turun menjadi 97
orang (17,3 persen).
Keterwakilan perempuan di DPRD
juga menunjukkan kenaikan dalam dua pemilu terakhir. Walau demikian ada DPRD
di sejumlah kabupaten yang keterwakilan perempuannya nol.
Berkaca pada hasil Pemilu
2014, menjadi pertanyaan apakah
keterwakilan perempuan di DPR dan DPRD hasil Pemilu 2019 mendatang akan naik,
turun, atau stagnan? Sejumlah hal perlu diperiksa untuk menjawab.
Regulasi operasional yang bisa
mewajibkan partai politik peserta pemilu mematuhi kebijakan afirmatif, tetap
menjadi faktor strategis. Seperti KPU 2012-2017 yang menerbitkan PKPU Nomor 7
tahun 2013 tentang Pencalonan DPR dan DPRD, di mana daftar calon yang
diajukan partai politik peserta pemilu di tiap daerah pemilihan (dapil) wajib
memenuhi syarat afirmasi sebagaimana diatur UU Nomor 8 tahun 2012. Jika tidak
memenuhi ketentuan itu maka KPU menyatakan daftar calon partai di suatu dapil
tidak memenuhi syarat. Partai harus memperbaiki daftar calon. Ketentuan
tersebut mampu membuat pencalonan perempuan di tiap dapil 30 persen.
Tidak hanya akumulatif jumlah
caleg perempuan secara nasional (total dapil), namun tiap dapil wajib memuat
paling kurang 30 persen perempuan dalam daftar calon. Aturan tersebut membuka peluang
keterpilihan menjadi lebih tinggi di tiap dapil. Dengan asumsi aturan
afirmasi pencalonan perempuan tidak berubah dalam UU Pemilu, tidak ada alasan
bagi KPU periode ini untuk tidak membuat peraturan pencalonan yang sama.
Potensi
perempuan
Potensi keterpilihan perempuan
sesungguhnya cukup tinggi. Ada tiga perempuan terpilih di DPR 2014-2019 yang
perolehan suaranya terbanyak. Ketiganya berasal dari PDIP: Karolin Margret
Natasha (Kalbar, 397.481 suara,
peringkat 1); Puan Maharani (Jateng V, 369.927 suara, peringkat 2); dan Rieke
Dyah Pitaloka (Jabar VII, 255.064 suara, peringkat 4).
Potensi tersebut juga ditunjukkan
dari persentase pemilih yang memberikan suara untuk caleg perempuan. Catatan
Puskapol UI menunjukkan pada Pemilu 2009, perolehan suara caleg perempuan
mencapai 22,45 persen (16 juta suara pemilih untuk caleg perempuan),
meningkat sedikit pada 2014 yaitu 23 persen. Artinya ada selisih antara
persentase suara caleg perempuan dari seluruh partai politik peserta pemilu
(23 persen) dengan persentase keterpilihannya di DPR (17 persen).
Secara regulasi, kesenjangan itu
merupakan dampak aturan ambang batas suara parlemen di mana pembagian kursi
DPR dihitung dari partai-partai yang meraih 3,5 persen suara nasional. Tetapi
dampak lain yang strategis berasal dari minimnya jumlah caleg perempuan di
nomor urut satu dalam daftar calon. Data Puskapol UI (2014) menunjukkan
keterpilihan caleg di nomor urut 1 sangat tinggi, ditandai mayoritas anggota
DPR terpilih di nomor urut 1 (62,14 persen). Berselisih sangat jauh dengan
nomor urut 2 (16,96 persen) dan nomor urut 3 (4,46%).
Riset Formappi (2013) menunjukkan
hanya sebagian kecil caleg perempuan yang ditempatkan partainya pada nomor
urut 1, yaitu 140 dari 2.465 total caleg perempuan (5.7 persen). Terbanyak
pada nomor urut 3 (25,7 persen) dan nomor urut 6 (19,9 persen). Faktanya,
posisi nomor urut caleg masih relevan memengaruhi peluang keterpilihan caleg
dalam sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak.
Harus dicatat gambaran hasil
keterwakilan perempuan tersebut—sejak Pemilu 2004 hingga 2014—diperoleh tanpa
aturan afirmasi apa pun dari internal partai politik. Aturan afirmasi masih
dipahami secara administratif yaitu syarat keikutsertaan dalam pemilu. Belum
dipahami sebagai bagian tanggung jawab partai politik dalam memperbaiki
kualitas representasi politik yang berkesetaraan dan berkeadilan. PKPU Nomor 7 tahun 2013 berhasil
mendongkrak jumlah caleg perempuan di tiap dapil (caleg perempuan DPR 37,3
persen), tetapi tanpa diikuti afirmasi internal partai maka hasilnya tidak
signifikan (hanya 17,3 persen yang terpilih).
Ke depan, aturan afirmasi internal
partai menjadi kebutuhan stratagis untuk meningkatkan keterwakilan politik
perempuan. Dalam 20 tahun ini,
keterlibatan perempuan dalam perkembangan partai-partai politik era reformasi
tidak bisa diabaikan. UU partai politik sejatinya memberikan ruang
partisipasi bagi perempuan untuk terlibat dalam kepengurusan partai dari
tingkat ranting (desa), kota/kabupaten, provinsi hingga pusat.
Perempuan masuk partai bukan
menjadi ornamen belaka, tetapi sebagai konsekuensi hak politik warga negara
untuk mengekspresikan kepentingan secara formal dalam wadah partai politik.
Perempuan terlibat dalam partai, bekerja sukarela untuk kemajuan partai,
loyal pada keputusan partai, tetapi lebih dulu terpinggirkan ketika
berhadapan dengan kepentingan kompetisi (jabatan) kekuasaan.
Keterbatasan
perempuan
Sedikitnya ada dua hal yang
dibutuhkan dalam persaingan sistem proporsional terbuka, yaitu modal ekonomi
dan basis sosial. Perempuan umumnya terbatas dalam dua hal itu.
Figur kader perempuan seperti ini
cukup banyak ditemui di partai, terutama di daerah: punya basis sosial di
akar rumput, bekerja sukarela membesarkan
partai, tangguh menghadapi pasang surut di partai, tetapi modalnya
pas-pasan. Mereka diapresiasi partai
sebatas pencalonan di nomor urut tidak potensial (3, 6, 9, dst), dikalahkan
dari anggota baru—baik laki-laki dan perempuan—dengan modal ekonomi kuat
tetapi minim basis sosial.
Oleh karena itu, partai harus
mengombinasikan dua hal itu (modal dan basis sosial) dengan afirmasi
internal. Pertama, afirmasi internal
partai dalam bentuk menempatkan caleg perempuan di nomor urut satu pada
sekurang-kurangnya 30 persen dari total dapil. Jadi potensi peluang
keterpilihannya tinggi.
Kedua, perempuan dengan afirmasi
nomor urut satu diutamakan kader tangguh, memiliki basis sosial di akar
rumput, aktif dalam kegiatan partai, tetapi modal ekonomi terbatas. Dengan demikian, partai tetap bisa
mencalonkan orang-orang dengan modal kuat tanpa meminggirkan potensi kader
yang bekerja keras membesarkan partai.
Sejatinya tantangan keterwakilan
politik perempuan bukan sekadar meningkatkan jumlah keterpilihan elektoral. Itu
hanya pintu masuk menuju representasi yang berkeadilan untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat.
Peran strategis partai politik
sangat penting untuk melewati pintu masuk itu. Masih ada waktu bagi partai politik peserta
pemilu mempertimbangkan penerapan afirmasi internal menjelang tahapan
pencalonan anggota legislatif yang dimulai Mei nanti. Dengan demikian hasil lebih baik dapat
terwujud pada Pemilu 2019 mendatang. ●
|
BalasHapusjudi online pulsa
poker pulsa online
judi online pulsa
judi online via pulsa
bola online
togel online pulsa
togel online pulsa
game judi pulsa
s128
s128
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Sgp
BalasHapus