Menggugat
Hukuman Mati
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional
|
KORAN
SINDO, 21 Maret 2018
Arab Saudi kembali menghukum mati tenaga
kerja Indonesia (TKI), Mochammad Zaini, yang dinyatakan bersalah oleh
pengadilan karena membunuh majikannya. Peristiwa pada 2004 itu telah menjadi
perhatian dan dampingan Pemerintah RI mulai dari pemberian bantuan hukum
hingga upaya diplomasi dengan meminta grasi dari pihak kerajaan.
Seluruh usaha itu tidak berhasil
menyelamatkan nyawa Zaini ketika Pemerintah Arab Saudi kemudian tanpa
pemberitahuan telah mengeksekusi hukuman tersebut pada Minggu lalu. Eksekusi
itu menambah daftar panjang TKI yang dihukum mati di Arab Saudi dan masih ada
20 TKI lagi yang mendapat status terdakwa dan akan dijatuhi hukuman mati.
Upaya kita untuk mencegah upaya hukuman
mati TKI menjadi penuh tantangan karena di dalam negeri sendiri kita
menerapkan hukuman sejenis, baik bagi pelaku kriminal berat hingga para
tersangka yang terlibat dalam jaringan narkoba.
Saya tidak mengatakan bahwa upaya untuk
menghentikan hukuman mati di luar negeri menjadi lebih mudah apabila hukuman
mati di dalam negeri dihapuskan, tetapi dengan menghapus atau minimal
melakukan moratorium hukuman mati di dalam negeri, kita dapat berdialog
dengan lebih dalam dan luas dengan negara-negara yang menghukum mati TKI
seperti meminta pembatalan atau keringanan hukuman atas nama kemanusiaan.
Kita tidak dapat meminta hal tersebut karena kita juga enggan memberikan
keringanan terhadap para pelaku di dalam negeri.
Saya sendiri mendukung mengganti hukuman
mati dengan hukuman lain seperti hukuman seumur hidup karena hingga saat ini
belum ada dasar argumentasi yang kuat untuk mendukung keberlanjutan hukuman
mati.
Dalam hubungan internasional, kelompok
pendukung penghapusan hukuman mati disebut abolisionis. Seperti yang pernah
saya tulis dalam beberapa kesempatan, posisi saya tersebut karena pandangan
bahwa hingga saat ini belum ada dasar ilmiah yang mendukung bahwa hukuman
mati dapat menimbulkan efek jera yang mengurangi jumlah kejahatan tersebut di
masyarakat.
Pendukung abolisionis umumnya mengatakan
bahwa tidak hubungan antara hukuman mati dengan praktik kejahatan narkoba
karena jumlah tindakan kejahatan, terutama upaya penyelundupan tidak surut
walaupun sudah banyak para pengedar dijatuhi hukuman mati. Kenyataannya di
Indonesia memang demikian.
Direktorat Bea dan Cukai mencatat jumlah
kasus penyelundupan narkoba meningkat pada 2017 dibandingkan pada 2016. Pemerintah
mencatat ada 325 kasus penyelundupan yang berhasil digagalkan pada 2017 dan
286 kasus pada 1986. Barang bukti narkoba yang disita juga bertambah dari
1.169 kilogram pada 2016 menjadi 2.132 kilogram pada 2017.
Para retensionis atau pendukung hukuman
mati sebaliknya, justru mengatakan bahwa angka penyelundupan tetap tinggi
karena hukuman mati tidak dijalankan secara maksimal. Pemerintah dianggap
masih terlalu lunak kepada para pelaku dan pengedar narkoba sehingga mereka
tidak jera dan terus melakukan penyelundupan.
Membela TKI dan warga negara Indonesia yang
kena hukuman mati membutuhkan pemahaman akan prinsip kepedulian prinsip
aksi-reaksi dalam diplomasi. Kasus yang membelit TKI di Arab Saudi dipicu
oleh cara pandang Pemerintah Arab Saudi yang menganggap perlindungan terhadap
warga negaranya sebagai hal paling utama ketika berhubungan dengan Indonesia.
Ketika warga Arab Saudi melaporkan tudingan
pelanggaran oleh warga negara Indonesia (WNI) di dalam rumahnya, pemerintah
mendahulukan pemberian hukuman seberat-beratnya pada WNI. Bagi Pemerintah
Arab Saudi cara pemberian hukuman mereka akan efektif menimbulkan rasa jera,
tetapi kenyataannya kasus yang ditimbulkan oleh TKI tetap belum berkurang.
Mengapa? Karena, sumber masalahnya tetap tidak diselesaikan.
Masalahnya pada asumsi yang salah bahwa
pelaku adalah TKI semata, padahal kejadian di rumah tangga juga dipicu oleh
perilaku anggota rumah tangga Arab Saudi sendiri. Orang Arab Saudi tidak bisa
dilihat sebagai korban yang pasif saja. Kalau bicara jera, kenyataannya
hukuman mati bagi TKI yang terjerat masalah di Arab Saudi juga tidak
menimbulkan rasa jera orang untuk pergi mengadu nasib ke sana.
Dalam hal hukuman mati bagi narkoba pun
sebenarnya alur berpikir itu bisa digunakan. Kalau kita semata melihat
orang-orang Indonesia sebagai korban narkoba, maka kita abai pada kenyataan
bahwa narkoba juga meluas dipicu oleh perilaku orang-orang Indonesia juga.
Dari sisi insentif, orang Arab Saudi yang
merekrut TKI di rumahnya merasa tetap lebih untung mempekerjakan TKI
dibandingkan dengan risiko yang mungkin diterimanya. Insentif tersebut pula
yang terjadi dalam kasus narkoba di Indonesia.
Meskipun beritanya bertubi-tubi tentang
efek buruk dari narkoba dengan risiko dihukum mati, tetap saja ada orang-orang
Indonesia yang aktif menggunakan narkoba.
Penyelundup juga punya kepentingan
memperkecil risiko dengan memperbesar skala impor dengan cara yang modern dan
canggih juga. Efek mati dari narkoba rupanya tidak otomatis seperti orang
relatif taat untuk menggunakan helm karena kemungkinan matinya dianggap lebih
otomatis dibandingkan narkoba.
Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa cara
berpikir di dalam negeri juga menjadi bagian dari reaksi yang kita terima di
luar negeri. Kejernihan melihat aneka perilaku kelompok dan masyarakat,
apalagi yang berbeda budaya, adalah hal yang sangat menentukan berhasil
tidaknya diplomasi kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar