Demokrasi
dan Hoaks
Muradi ; Direktur Program Pascasarjana Ilmu Politik,
Universitas Padjadjaran Bandung
|
KORAN
SINDO, 19 Maret 2018
MARAKNYA
berita palsu atau hoaks dalam tiga tahun terakhir mengindikasikan bahwa
demokrasi di Indonesia mengalami cobaan hebat. Dalam derajat tertentu, publik
kadang sulit membedakan mana berita benar dan mana berita palsu.
Tak
heran pada situasi politik tertentu, keberadaan berita palsu atau hoaks
memecah masyarakat dalam posisi berlawanan. Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu
memperkuat hal itu. Pendekatan isi berita menyesatkan yang tidak betul serta
menggunakan sentimen agama dan etnik dianggap mampu mengaduk-aduk perasaan
publik terkait dengan pilihan politiknya.
Sejauh
ini berita hoaks dengan menggunakan akun berita fiktif kerap kali membuat
publik harus berbenturan dan lepas kendali dengan mencaci maki pemerintah
dalam posisi disalahkan atas berita yang tidak jelas sumber dan informasinya
tersebut.
Ada
dua perspektif berkaitan dengan menguatnya pemberitaan palsu atau hoaks
terkait dengan demokrasi, yakni pertama, pemberitaan hoaks adalah “anak
kandung” dari demokrasi. Hanya di negara dengan sistem demokrasi, pemberitaan
hoaks dapat tumbuh subur dan memengaruhi cara pandang publik secara umum.
Penekanan ini mengacu pada kenyataan bahwa pemberitaan palsu atau hoaks
hampir sepenuhnya dikendalikan oleh individu atau struktur yang ada di luar
pemerintah.
Bahkan
dalam perspektif ini, hoaks berdampingan dan beriringan dengan sistem
demokrasi suatu negara. Bahkan, dalam derajat tertentu, pemberitaan hoaks
justru mampu menjadi sarana menumbangkan pemerintah dengan menegaskan pada
pengalaman sejumlah negara yang terjungkal pemerintahannya atau menjadi
bulan-bulanan dari pemberitaan sepenuhnya tidak benar terkait dengan
pemerintah, tapi diyakini oleh sebagian besar publik sebagai sesuatu yang
benar. Pada konteks ini, penyebaran berita hoaks bersembunyi di balik kebebasan
sipil sebagai bagian dari sistem demokrasi itu sendiri.
Sedangkan
perspektif kedua adalah menganggap bahwa pemberitaan palsu adalah ancaman
dari demokrasi dan harus dilawan karena menjadi bagian yang akan merusak
demokrasi. Perspektif ini berbasis pada pengalaman sejumlah negara dengan
tradisi demokrasi yang sedang tumbuh mendapatkan gangguan dan cobaan terkait
pemberitaan palsu atau hoaks tersebut.
Pada
derajat tertentu, tak jarang sejumlah negara yang sedang merajut demokrasi
tersebut layu sebelum berkembang dan berkubang pada permasalahan internal
yang cenderung menghancurkan sendi-sendi bernegara. Pada perspektif ini
bersembunyi di balik manuver politik oposisi yang berkeinginan mengganti
pemerintahan, baik melalui mekanisme periodik maupun ditumbangkan di tengah
jalan.
Penguatan Demokrasi
Betapa
pun pemberitaan hoaks tersebut beriringan dan mengancam demokrasi, esensi
penting dalam konteks ini adalah bagaimana memperkuat demokrasi sebagai
bagian dari sistem politik. Hoaks sebagai ancaman terhadap demokrasi harus
dilihat sebagai bagian dari upaya mematangkan sistem politik dan kedewasaan
politik publik secara masif. Penekanan ini penting, mengingat ancaman nyata
dari pemberitaan palsu bagi sistem demokrasi yang ada saat ini ada pada upaya
membenamkan praktik kontestasi politik ke dalam tawaran sistem yang justru
bertentangan dengan nilai demokrasi. Pro dan kontra pembubaran Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) adalah periode bagaimana memanfaatkan mekanisme demokrasi
terkait dengan hak berserikat dan berkumpul untuk mendelegi-timasi demokrasi
dengan tawaran yang justru bertentangan terhadap sistem dan nilai demokrasi
itu sendiri.
Sebaliknya
hoaks sebagai bagian dari “anak kandung” demokrasi harus didudukkan pada
konteksnya. Keberadaan hoaks meski dimungkinkan dalam sistem demokrasi, tapi
bergantung pada kebijakan dari publik itu sendiri. Keyakinan publik atas
pemberitaan palsu harus tetap linier dengan sistem demokrasi itu sendiri.
Pengalaman banyak negara porak-poranda yang publiknya termakan berita palsu
adalah pembelajaran berharga bagi kita semua.
Ada
empat hal perlu diperhatikan terkait dengan penguatan demokrasi dalam
merespons pemberitaan palsu, yakni pertama, elite politik, terutama
bertentangan dengan pemerintah, kerap kali melakukan pembelaan berlebihan
atas tindakan penyebaran berita hoaks. Hal ini sejatinya memberikan
legitimasi atas penyebaran pemberitaan palsu. Namun, akan baik bagi elite
politik untuk juga memperhatikan hakikat dan etika politik. Karena ada
semacam pembenaran semu diyakini terkait dengan tersebarnya berita palsu karena
ditopang atau didukung oleh elite politik.
Kedua,
selain melakukan pengawasan atas pemberitaan palsu, pemerintah juga
dihadapkan pada langkah pencegahan penyebaran berita hoaks tersebut. Salah
satunya dengan memanfaatkan data terukur dan menjadi rujukan bagi semua pihak
saat menyampaikan kebijakan yang dibuat. Sebab dengan data yang dianggap
tidak terukur, maka persepsi publik atas penyebaran pemberitaan hoaks oleh
pemerintah menjadi kebenaran.
Ketiga,
di sisi lain, pemerintah juga dapat menertibkan situs dan laman yang tidak
memiliki basis informasi pengelola yang jelas. Sejauh ini berita hoaks banyak
disebarkan melalui situs atau laman kloning dan atau memiliki identitas
pengelola yang tidak jelas. Penertiban ini penting agar penyebaran berita hoaks
setidaknya dapat dibatasi bahkan dihilangkan. Sejauh ini langkah yang
dilakukan adalah dengan menahan sejumlah penyebar berita hoaks sehingga perlu
langkah lebih efektif agar penyebaran berita seperti itu tidak mengancam
demokrasi.
Keempat,
publik juga harus lebih teliti dalam menyerap informasi yang beredar,
terutama berkaitan dengan isu politik. Kejelian dan kebijakan dalam membaca
dari publik menjadi penyaring utama tidak tersebarnya berita hoaks. Hakikat
kebebasan yang menjadi bagian penting dari demokrasi harus dijadikan pijakan
bagi publik dalam menyerap berita dan informasi yang ada. Sejauh hal tersebut
bisa dilakukan, maka keberadaan berita hoaks dapat terlokalisasi dan tidak
menyebar masif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar