Masihkah
Kita Percaya pada Demokrasi?
Luthfi Assyaukanie ; Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC);
Pengajar di Paramadina Graduate School, Jakarta
|
KOMPAS,
22 Maret
2018
Terpilihnya Vladimir Putin menjadi Presiden
Rusia untuk yang keempat kalinya pada pemilu yang baru lalu semakin
menguatkan apatisme kaum anti-demokrasi. Sebelumnya, kemenangan Donald Trump
di Amerika Serikat juga dianggap sebagai contoh nyata paradoks demokrasi.
Demokrasi tak hanya menghasilkan pemimpin jelek, tetapi juga bisa
melanggengkan mereka untuk terus berkuasa.
Contoh paling klasik terhadap paradoks
demokrasi adalah kemenangan Partai Nazi di Jerman pada 1932. Lewat pemilu
yang cukup adil dan terbuka, rakyat Jerman memilih partai yang dipimpin
seorang yang kemudian terbukti penjahat. Sebuah negara yang melahirkan
puluhan filsuf hebat dan belasan komponis besar bisa menghasilkan manusia
begitu keji.
Pertanyaannya, mengapa itu bisa terjadi?
Mengapa demokrasi yang dianggap ”sistem terbaik dari yang ada” kerap kali
terjatuh pada kekeliruan yang sama? Ada banyak penjelasannya. Para filsuf
sejak lama mencurigai demokrasi. Plato salah satunya. Menurut Plato,
demokrasi bukanlah sistem yang ideal, melainkan sebuah sistem politik yang
memberi jalan bagi tiran untuk berkuasa. Argumen Plato sederhana. Masyarakat
secara alamiah terpolarisasi, antara yang kaya dan miskin, yang terdidik dan
terbelakang, yang kuat dan lemah. Dengan demokrasi, orang-orang kaya, pintar,
dan kuat akan menggunakan mereka yang miskin, bodoh, dan lemah untuk
memobilisasi kekuatan.
Plato tidak sendiri. Beberapa filsuf besar dan
kaum tercerahkan di Eropa meragukan demokrasi. Voltaire, Friedrich Nietzsche,
dan Carl Schmitt di antaranya. Voltaire menganggap demokrasi sebagai sistem
yang hanya memanjakan ego liar manusia. Baginya, sistem yang ideal adalah
monarki konstitusional, dan seorang diktator tercerahkan lebih baik ketimbang
pemimpin yang dipilih secara demokratis.
Dengan segala kritik dan peringatan para
filsuf itu, mengapa demokrasi tetap menjadi pilihan banyak negara? Mengapa
banyak masyarakat di dunia berusaha memperjuangkan demokrasi meski
tantangannya begitu besar? Kita tentu masih ingat bagaimana rakyat Mesir
berjibaku, turun ke jalan berminggu-minggu, demi meraih demokrasi, meskipun
kemudian gagal. Kita juga masih ingat pengalaman kita sendiri, menjatuhkan
Soeharto, mereformasi sistem, dan bersusah payah merawatnya.
”Hobit” dan ”holigan”
Dengan perjuangan yang luar biasa itu, setiap
kritik terhadap demokrasi, karena itu, menjadi pejal, tak mudah diterima.
Setiap kritik akan direspons secara keras dan dianggap sebagai antek
diktator, anti-rakyat, atau apalah namanya yang bisa memojokkan sang
pengkritik.
Tetapi bagaimana kalau kritik itu sebenarnya
membangun? Bagaimana kalau kritik terhadap demokrasi dibangun berdasarkan
niat tulus untuk memperbaikinya? Bagaimana kalau kritik itu didasarkan pada
kenyataan bahwa demokrasi telah melahirkan pemimpin yang korup, pejabat yang
payah, kepala daerah yang tak disiplin, serta politisi yang intoleran?
Bukankah akar dari semua itu adalah demokrasi?
Jason Brennan, pengajar ilmu politik di
Universitas Georgetown, AS, secara tegas mempersalahkan demokrasi atas
meningkatnya rasisme, kebencian, serta naiknya figur-figur inkompeten jadi
pemimpin. Dalam bukunya, Against Democracy, Brennan memberikan beberapa
alasan mengapa demokrasi sebetulnya adalah sistem yang buruk.
Salah satu cacat bawaan demokrasi adalah asumsi (keliru) bahwa hak memilih
dianggap sebagai jaminan bagi warga negara untuk kesetaraan. Seolah-olah
menegasikan hak pilih seorang atau sekelompok warga disamakan dengan tindakan
mendiskriminasikan mereka. Alhasil, upaya apa saja yang bermaksud untuk
memperbaiki kualitas demokrasi lewat aturan pemilihan akan dianggap sebagai
ide subversif.
Menurut Brennan, pembatasan pemilihan bagi
orang-orang atau kelompok tertentu adalah keharusan untuk memperbaiki
kualitas hasil pilihan. Jika kita ingin menghasilkan pemimpin yang baik, kita
harus memastikan bahwa yang memilih adalah orang-orang yang tepat. Pemilih
yang buruk akan memilih pemimpin yang buruk. Masyarakat yang korup cenderung
memilih koruptor. Seperti Plato, Brennan menganggap masyarakat politik (dia
menyebutnya ”warga demokratis”, democratic citizens) tidak akan pernah
setara. Selalu ada beragam kelompok dalam masyarakat.
Dia melihatnya ada tiga. Pertama, orang-orang
yang apatis, apolitis, serta ignorant dalam banyak urusan menyangkut politik.
Kalaupun mereka tahu tentang politik, pengetahuan mereka sangat minim.
Brennan menyebut mereka ”hobit”.
Kedua, orang-orang yang antusias terhadap
politik. Mereka punya informasi tentang politisi maupun partai yang mereka
dukung. Mereka ikut kampanye dan menyebarkan atribut partai. Kelompok ini
cenderung fanatik pada pilihan politiknya dan bersikap antipati pada kelompok
lain. Brennan menyebut kelompok ini ”holigan”.
Ketiga, kelompok warga yang rasional, cerdas, dan mengambil keputusan
berdasarkan landasan ilmiah. Mereka memilih calon pemimpin atau partai
politik berdasarkan pertimbangan rasional, melihat kebijakan mana yang masuk
akal dan mana yang tidak. Mereka dengan cepat mengubah pandangan mereka
tentang suatu partai jika mereka melihat ada kebijakannya yang irasional.
Brennan menyebutnya ”vulkan”.
Di Amerika dan di banyak negara, demokrasi
selalu diramaikan kaum hobit atau holigan. Hanya sedikit yang berkarakter
vulkan, padahal kualitas demokrasi sangat ditentukan oleh jumlah yang sedikit
ini. Brennan menganggap fragmentasi dalam warga demokratis ini sebagai cacat
lain dari demokrasi. Dengan sistem one man one vote, tidak mungkin kualitas
demokrasi akan terjaga terus.
Untuk mengatasi kebuntuan, Brennan mengajukan
alternatif yang cukup radikal. Dia menyebutnya ”epistokrasi”, yakni sistem
politik berdasarkan pilihan warga yang melek politik. Maksud ”melek politik”
adalah mereka yang memiliki pengetahuan tentang isu-isu publik yang
menentukan nasib masyarakat, kurang-lebih seperti kaum vulkan.
Pendidikan pemilih
Terlepas dari beberapa problem teknis menyangkut
konsep itu, misalnya bagaimana mendefinisikan kaum vulkan dan bagaimana cara
memilih mereka, kritik Brennan terhadap cacat bawaan demokrasi perlu
diperhatikan, khususnya dengan semakin banyaknya hasil buruk demokrasi yang
kita saksikan.
Bukankah kita selalu mengeluh tentang anggota
parlemen yang buruk, kepala daerah yang korup, pemimpin yang intoleran, dan
birokrasi yang inkompeten? Mengapa demokrasi yang kita jalani berujung pada
hasil yang mengecewakan ini?
Kita tahu bahwa akar masalah ada pada kualitas
pemilih. Banyak orang yang buta politik dan tak tahu apa yang mereka pilih
ketika berada di kotak suara. Dalam demokrasi, ketidaktahuan bisa menjadi
kutukan.
Sejauh ini, ada dua cara mengatasinya.
Pertama, cara radikal seperti yang diajukan Brennan itu. Kedua, cara
konvensional seperti selama ini dilakukan, yakni pendidikan pemilih. Pemilih
mungkin tidak rasional, seperti dikatakan Bryan Caplan (The Myth of the
Rational Voter). Tapi, pemilih bisa dipengaruhi. Pendidikan pemilih
dimaksudkan agar para pemilih bisa lebih cerdas dalam memilih calon-calon
wakil atau pemimpin mereka.
Demokrasi memang bukan perkara gampang.
Seperti yang dikatakan Robert Dahl, demokrasi adalah sesuatu yang harus
terus-menerus diperjuangkan. Tidak ada sistem yang sempurna. Yang ada adalah
sistem yang senantiasa dicek dan diperbaiki.
Bagusnya demokrasi adalah kita memiliki
kesempatan untuk mengoreksi kekeliruan-kekeliruan yang kita buat. Jika kita
tak sanggup mengganti demokrasi dengan alternatif lain yang lebih baik,
pendidikan pemilih harus lebih digiatkan. Hanya dengan cara ini kita bisa
membuat kualitas demokrasi lebih baik lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar