Politik
Perdagangan Tuna Dunia
Andre Notohamijoyo ; Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
07 Maret
2018
Bila disurvei, maka produk
perikanan paling populer di dunia adalah ikan tuna (Thunnus sp). Demikian
populernya sehingga banyak organisasi internasional berkepentingan dalam
pengelolaan ikan tersebut. National Geographic bahkan memiliki seri khusus di
televisi berjudul Wicked Tuna.
Nilai ekonomi tuna yang tinggi
menyebabkan setiap negara berlomba memanfaatkan. Rekor dunia untuk harga satu
ekor tuna adalah 155,4 juta yen atau sekitar Rp24 miliar yang tercatat atas
satu ekor tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii) seberat 222 kilogram
saat pelelangan awal tahun di pasar ikan Tsukiji, Jepang, 5 Januari 2013
(World Record Academy: 2013). Per kilogramnya mencapai Rp 108 juta!
Nilai ekonomi tuna dipengaruhi
setidaknya dua faktor: Pertama, citra tuna sebagai ikan dengan kandungan
nutrisi sangat tinggi seperti protein, omega-3 dan DHA. Kedua, tuna dianggap
makanan premium karena praktek penangkapannya relatif sulit dan pengembangan
budidayanya belum optimal.
Keberhasilan operasi penangkapan sangat ditentukan oleh keterampilan
mengenali pola tingkah laku ikan tuna terkait kebiasaan makan, suhu dan arus
air, hingga musim kawin.
Ikan tuna merupakan jenis ikan
yang berdaya jelajah jauh (highly migratory species) dan melintasi
batas-batas negara sehingga banyak yang berkepentingan. Perburuan massal
terhadap tuna menimbulkan kekhawatiran terhadap kelestariannya. Oleh karena
itu dibentuklah organisasi-organisasi pengelolaan perikanan regional lintas
negara atau Regional Fisheries Management Organization (RFMO) seperti Indian
Ocean Tuna Commission (IOTC), The Western and Central Pacific Fisheries
Commission (WCPFC), The Commission for the Conservation of Southern Bluefin
Tuna (CCSBT), The International Commission for the Conservation of Atlantic
Tunas (ICCAT) dan lain-lain. Perkembangan RFMO tersebut cukup efektif dalam mengendalikan
penangkapan ikan tuna yang berlebih.
Pelestarian
tuna
Banyak negara menyadari perlunya
pelestarian tuna sehingga mengadopsi prinsip-prinsip pengelolaan perikanan
yang berkelanjutan. Di sisi lain peningkatan kesadaran tersebut justru
memunculkan peluang bisnis baru yaitu bisnis sertifikasi ramah lingkungan
atau ekolabel. Skema ekolabel berkembang sebagai mekanisme pasar yang
mengatur rantai nilai suatu produksi ramah lingkungan dari hulu ke hilir
dengan insentif harga premium bagi produsen yang memproduksinya.
Sistem sertifikasi tersebut
umumnya diinisiasi oleh organisasi non pemerintah (NGO) internasional yang
menggandeng jaringan ritel global untuk membangun mekanisme pasar bagi produk
tuna bersertifikat. Hanya produk yang telah disertifikasi dapat masuk ke
jaringan retail global tersebut. Pola ini menjadi tren pasar perikanan dunia.
Dilihat dari sisi perdagangan khususnya negara berkembang, hal tersebut
menjadi hambatan karena penerapannya sepihak oleh jaringan ritel global.
Meskipun bisnis sertifikasi ekolabel bersifat sukarela namun karena menjadi
persyaratan wajib jaringan retail global, akhirnya jadi ketentuan penghambat.
Negara-negara maju seperti Amerika
Serikat dan anggota Uni Eropa umumnya telah memberlakukan ketentuan ketat
terhadap produk perikanan yang masuk ke negara mereka baik dari sisi bebas
praktik penangkapan yang ilegal dan destruktif (IUUF) maupun sisi keselamatan
konsumsi. Persyaratan memasuki pasar menjadi berlapis dengan penerapan
ekolabel sepihak. Organisasi Pangan Dunia (FAO) telah menerbitkan rambu untuk
ekolabel perikanan yaitu FAO Guidelines on Ecolabelling of Marine Capture
Fisheries tahun 2005 (direvisi tahun 2009 dan 2011).
Namun, belum ada ketentuan yang
mengikat untuk pengaturan bisnisnya. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang
bersifat mengikat anggotanya juga belum mengatur tentang bisnis sertifikasi
swasta ini atau private labelling. Akibatnya, bisnis sertifikasi ekolabel
perikanan semakin menguat dan berpeluang membangun sistem kartel baru.
Terungkapnya praktik perbudakan
dan IUUF yang dilakukan oleh PT Pusaka Benjina Resources yang beroperasi di
Benjina, Maluku Utara beberapa waktu lalu benar-benar menyentakkan perhatian
internasional. Perusahaan tersebut ternyata terafiliasi dengan perusahaan
pengolahan tuna terbesar di dunia yaitu Thai Union Frozen Food (TUFF).
Perusahaan asal Thailand ini memasok ikan hingga masuk pasar retail di
Amerika Serikat seperti Kroger, Walmart, Safeway hingga jasa distribusi
makanan Sysco. TUFF merupakan pemegang berbagai merk produk konsumsi global
seperti Chicken of The Sea, Bumble Bee, John West dan lain-lain. Artinya
produk TUUF melenggang bebas di pasar Amerika Serikat dan bersertifikat
ekolabel perikanan.
Jadi, bagaimana sebenarnya
kesahihan skema ekolabel perikanan?
Kerja
sama kawasan
Indonesia perlu mendorong
inisiatif kerja sama di kawasan untuk mencegah kejadian terulang. Sejak tahun
2012, Indonesia telah mengajukan inisiatif konsep ASEAN Tuna Ecolabelling
(Atel) dalam level pembahasan tingkat teknis kelompok kerja tuna atau ASEAN
Tuna Working Group (Atweg). Atelmerupakan inisiatif sertifikasi tuna ramah
lingkungan.
Asia Tenggara merupakan produsen
utama tuna dunia dengan produksi 26,2% dari produk tuna dunia atau 1,7 juta
ton (FAO: 2013). ATEL muncul atas kesadaran bahwa diperlukan kerjasama lintas
negara di Asia Tenggara dalam menanggulangi praktik IUUF dan keberpihakan
pada masyarakat nelayan dan pekerja di atas kapal (ABK).
Diharapkan melalui Atel seluruh
produk tuna intra ASEAN merupakan produk yang ditangkap secara ramah
lingkungan, berkelanjutan, bebas dari penyalahgunaan tenaga kerja, dan
keadilan bagi nelayan. Lembaga yang menilai aspek-aspek tersebut adalah
lembaga independen terakreditasi. Pelaku usaha yang ingin mendapatkan
sertifikasi Atel akan diotorisasi oleh wakil resmi negara ASEAN (Focal
Point).
Indonesia harus terus
memperjuangkan inisiatif Atel di level Menteri ASEAN agar dapat diadopsi
menjadi best practices yang bersifat mandatory. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar