Matematika
di Era 4.0
Wono Setya Budhi ; Guru Besar Matematika di ITB
|
KOMPAS,
21 Maret
2018
Umumnya orang hanya tahu
bahwa matematika dipelajari sekadar untuk melakukan perhitungan. Saat ini,
alat hitung sudah tersedia di mana-mana. Telepon seluler sudah dilengkapi
program untuk menghitung dan juga kita bisa memanfaatkan situs-situs yang
menyediakan program canggih untuk perhitungan yang rumit sekalipun.
Oleh karena itulah,
mungkin, di Kurikulum 2013 pelajaran Matematika di SD dihapuskan dan dilebur
menjadi pelajaran yang disebut ”Tematik”. Matematika hanya terlihat sebagai
bagian dari pelajaran untuk mempersiapkan siswa dapat menghitung. Di buku
yang diterbitkan pemerintah, tampak sekali pelajaran Matematika muncul
sebagai potongan agar siswa dapat menghitung.
Di tingkat lebih tinggi,
banyak orang hanya mengetahui bahwa belajar matematika adalah mempelajari
rumus yang sudah ada. Karena umumnya mereka menganggap matematika hanya
sebagai alat. Di Indonesia, di luar orang matematika, saya hanya mendengar
dari Iwan Fals mengenai hal yang lain. Di Twitter tanggal 13 Februari 2013,
Iwan Fals mengatakan bahwa: ”Matematika itu cara berpikir, bukan kumpulan
rumus siap pakai. Belajar matematika artinya belajar berpikir matematis”.
Masyarakat lainnya di
dalam berkomunikasi hanya menggunakan rumus. Misalkan saja, mengapa ongkos
masuk jalan tol harus naik setiap dua tahun. Karena ada UU-nya. Diskusi
berhenti karena sudah seperti diatur oleh rumus yang ada (dalam hal ini UU).
Mengapa penangkapan seseorang harus terluka. Jawabnya tidak tahu, umumnya
hanya mengatakan bahwa penangkapan yang dilakukan sudah sesuai prosedur.
Serupa dengan jawaban tersebut adalah siswa yang menjawab mengapa dilakukan
hal tersebut. Karena itu rumusnya yang diperoleh dari guru.
Jika matematika punya
bentuk seperti di atas, tak mungkin bahwa matematika (statistika, pemrograman
komputer) akan menempati top pekerjaan no 1 (pengembangan program), no 6
(statistik), no 24 (aktuaria), dan no 25 (matematika) dalam artikel The 25
Best Jobs of 2018 di USNEWS
https://money.usnews.com/money/careers/slideshows/the-25-best-jobs?slide=2.
Pada artikel ini saya
mencoba menjelaskan mengapa matematika begitu memegang peranan penting dalam
pekerjaan di masa yang akan datang. Seperti sudah sejak dahulu kala, tujuan
mempelajari matematika adalah menyelesaikan suatu masalah.
Oleh karena itu,
matematika mulai dengan aksioma (hal yang mudah diterima semua orang). Di
geometri salah satu aksioma tersebut adalah melalui dua titik hanya dapat
dibuat sebuah garis. Berdasarkan aksioma tersebut, ilmu matematika
dikembangkan melalui pola yang sederhana, yaitu kalimat implikasi yang sudah
diuji kebenarannya. Jika harga satu kerbau Rp 2, maka harga dua kerbau Rp 4.
Jika bagian hipotesis benar, maka kesimpulan tersebut benar. Tentu saja
hipotesis itu tak harus selalu benar.
Sikap
dan keterampilan
Sebenarnya di matematika
sudah tersedia kesempatan untuk siswa berlatih sikap dan keterampilan yang diperlukan
di masa yang akan datang. Tetapi, jika dipelajari sebagai suatu hafalan dan
prosedur standar tidak akan memberikan faedah yang berguna bagi diri siswa di
kelak kemudian hari.
Misalkan di dalam menjawab
soal berikut. Misalkan suatu rumah sakit sudah berdiri sejak 1924. Sudah
berapa tahun rumah sakit tersebut berdiri?
Kalau soal ini
diselesaikan hanya dengan menghitung 2018-1924, maka pekerjaan seperti ini
bisa dilakukan dengan menggunakan komputer atau alat hitung. Siswa hanya
menjalankan prosedur standar. Di dunia modern, sikap mengubah masalah jadi
masalah lain yang lebih sederhana
sangat diperlukan. Dalam hal ini, misalkan enam tahun kemudian rumah sakit
sudah berdiri selama 100 tahun, dengan demikian rumah sakit sudah berdiri
selama 94 tahun. Meminta siswa agar mampu menjawab dengan cara lain sangat
diperlukan, sesuai dengan anjuran George Polya (1887-1985) agar selalu
mengajak siswa untuk menjawab dengan cara berbeda.
Pada pembahasan bilangan
tersebut, matematika dapat diajarkan seperti tampak pada buku ”Tematik” yang
dikeluarkan pemerintah. Tetapi, manfaat yang akan dirasakan oleh siswa tidak
ada sebab hal-hal yang akan dipelajari tersebut dapat diganti dengan alat
hitung lain. Sikap untuk menyelesaikan matematika dengan lebih cerdik tidak tampak
sama sekali.
Matematika harus dapat
diajarkan agar siswa punya sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam
menghadapi hidup. Sikap dan keterampilan tersebut antara lain: (1) untuk
mengubah soal jadi lebih sederhana, seperti yang telah dikemukakan di atas;
(2) membagi kasus pada suatu masalah. Misalkan suatu negara sudah berdiri
sejak 1885, berapa tahun negara itu sudah berdiri? Sebagai ganti menghitung
2018-1885, kita dapat membaginya sebagai berikut. Sampai tahun 1900, negara
sudah berdiri 15 tahun. Sampai tahun 2018, negara tersebut sudah berdiri
selama 118+15=133 tahun yang dapat dihitung tanpa menggunakan alat hitung.
Sikap dan keterampilan
lainnya adalah (3) melihat pola dan memanfaatkannya. Di matematika, khususnya
di bilangan bulat, sangat banyak pola yang harus dicari. Hal ini merupakan
latihan untuk memunculkan sikap dan keterampilan yang diperlukan.
Minimal ketiga sikap dan
keterampilan tersebut harus dimiliki oleh lulusan siswa SD yang dikembangkan
melalui pembelajaran matematika. Dengan cara ini akan terbangun sumber daya
manusia yang lebih baik. Di dalam artikel di World Economic Forum disebutkan
bahwa keahlian bermatematika, selain spesialis lain, sangat diperlukan untuk
memanfaatkan lapangan pekerjaan yang tersedia di masa yang akan datang.
Sekali lagi, tentu bukan seorang yang mengetahui rumus-rumus matematika yang
ada. Sumber daya manusia yang hanya mengetahui rumus-rumus sudah digantikan
oleh mesin.
Disebutkan pula di artikel
tersebut bahwa sikap dan keterampilan di atas harus dimulai seawal mungkin.
Oleh karena itu, menurut saya, Kemdikbud sebaiknya segera meninjau kembali
kurikulum ”Tematik” di SD. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar