Histeria
Tanpa Suara
Kurnia JR ; Sastrawan
|
KOMPAS,
21 Maret
2018
Mengapa Semar dan
anak-anaknya ditempatkan oleh ki dalang sebagai bagian dari kalangan rakyat
jelata dalam gaya lelucon dan gaya bahasa, padahal Semar adalah guru para
pangeran? Bahkan, dalam konsep mistik kejawen, Kaki Semar adalah pamomong
tanah Jawa. Dia suka kentut sembarangan seperti tak kenal etiket bangsawan.
Mungkin itu prasyarat agar
semua yang diutarakan sang Pamomong merupakan suara realitas yang murni.
Wejangannya terjaga dari pemutarbalikan fakta yang sering dipermainkan lidah
politikus dalam intrik kekuasaan. Realitas yang murni ialah kenyataan yang
mendasar, realitas rakyat jelata. Entitas yang kerap dianggap obyek, tetapi
dalam potret kebangsaan yang dinamis inilah subyek yang menghamparkan
penjelasan fundamental.
Hoax pun menghantui kita
seiring dengan perkembangan kondisi sosial-politik.
Untuk mengenali hoax dan
daya hidupnya yang subur di kelas sosial menengah-bawah, tidak mungkin hanya
mengandalkan opini pengamat yang berkecimpung di forum seminar, studio
televisi, dan universitas belaka. Betapa pun mutakhir teori dan analisis yang
mereka kutip dari literatur akademis terbaru.
Di dalam abjad, kita
memiliki aksara X(x), tetapi seakan-akan tabu digunakan sehingga taxi
dimodifikasi menjadi taksi dan hoax jadi hoaks. Sebenarnya, bukan soal kalau
kedua kata itu dipungut dari bahasa asalnya tanpa perubahan satu huruf pun.
Toh, dalam tata fonetis bahasa Indonesia kita mafhum bagaimana pelafalannya.
Ketika ada di awal kata, menurut tata fonetis dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, fonem x dibaca /s/, contohnya xilofon dan xilograf.
Secara umum, hoax
diproduksi oleh ”pribadi iseng” atau kelompok terorganisasi bukan tanpa
sengaja atau tanpa motif yang tegas sejak awalnya. Setelah ditebar di ranah
publik, bibit-bibit itu tidak terkendali. Daya hancurnya bekerja secepat bom
atom yang dijatuhkan di Hiroshima hampir 73 tahun lalu. Setelah ledakan
besar, radiasi nuklirnya bergentayangan nirwujud menjangkiti manusia hingga
bertahun-tahun kemudian.
Menyerang
kesadaran
Daya hancur hoax lebih
mematikan ketimbang radiasi nuklir sebab yang diserang kesadaran dan daya
resepsi intelektual, bukan fisik yang bisa didiagnosis secara medis hingga
diketahui teknik pengobatannya. Daya rusaknya berlipat ganda jika
”dilegitimasi” di mimbar keagamaan.
Salah satu cara efektif
buat mengenali daya hidup hoax adalah dengan memasuki ladangnya, yaitu
lingkungan sosial menengah-bawah dan rakyat jelata. Merekalah lahan subur
bagi hoax. Tatkala tabir disibak, tersingkap garnisun kepinding dan rayap
yang dengan ganas bergotong royong mengerkah struktur kayu hingga merepih
tanpa perlawanan. Demikian hoax merusak struktur sosial rakyat jelata, yang
pada gilirannya merayap naik, menggerus dan merontokkan kelas sosial mapan
yang senantiasa bangga diri dan meremehkan ancaman fatal tersebut.
Kenapa hoax laris di
lingkungan ini? Media penyebaran informasi, termasuk kabar yang tidak
terkonfirmasi kebenarannya, berupa peranti keras (pesawat telepon pintar) dan
peranti lunak (fasilitas internet) bukan lagi barang mewah. Di lorong-lorong
sempit Jakarta yang padat dan kumuh hingga kawasan permukiman serupa di
kota-kota satelitnya—ini sekadar sampel yang teramati—dapat kita lihat mereka
yang irit belanja beras tetap mengutamakan belanja koneksi internet demi
hiburan dari media sosial. Hampir di tiap rumah ada minimal satu telepon
pintar dan anggota keluarga yang piawai menarikan jemari di layarnya.
Apakah mereka juga
menonton televisi? Secara umum, TV menyala di setiap rumah, tetapi kebanyakan
kelas menengah-bawah lebih gandrung sinetron, musik pop/dangdut, dan lawak
ketimbang siaran berita. Program berita TV sebagai media arus utama, yang
dapat dijadikan bahan perbandingan bagi ”kabar burung”, bagi mereka terlalu
formal penyampaiannya karena menggunakan ”bahasa tinggi” dan analisis berita
yang hanya dipahami para dewa.
Tentang berita koran dan
TV, pekerja kantoran yang lebih selektif memilih sumber informasi pun
cenderung apriori. Pada umumnya mereka sensitif perihal afiliasi politik
pemilik media. Dari perspektif itu, mereka mencurigai kredibilitas berita
media tersebut. Alhasil, hoax selalu punya jalan masuk ke lapisan sosial mana
pun, di antaranya lewat celah-celah praduga yang tak selalu diuji dan dikaji
secara bijaksana.
Kelas sosial
menengah-bawah sebagian berlangganan TV berbayar. Mereka rela mengurangi
belanja lauk-pauk demi hiburan itu. Paket layanan TV berbayar kian terjangkau
oleh berbagai kalangan sebab penyedia layanan ini saling obral diskon akibat
persaingan bisnis yang ketat.
Makin berlimpah hiburan,
kian jauh mereka dari program berita TV, sedangkan mereka tak mau ketinggalan
berita. Maka, media sosial jadi pilihan. Dalam anggapan mereka, media sosial
tak mewajibkan kepatuhan pada tata bahasa, etika, apalagi etiket.
Mencari
saluran
Dari pengamatan sepintas,
tertangkap kesan umum (bukan kesimpulan, karena ini bukan riset ilmiah yang
rigid dengan alat ukur eksak) bahwa mayoritas yang aktif menyebarluaskan
konten informasi yang tidak terkonfirmasi itu jarang memantau berita dari
media arus utama yang dapat dikonfirmasikan. Akademisi lebih patut membuat
riset dan kajian tentang hal ini.
Salah satu karakter umum
kelas sosial menengah-bawah adalah berkepribadian histeris meski aspek religi
seakan-akan menonjol dalam keseharian mereka. Realitas yang muram, ekonomi
pas-pasan, di hadapan fantasi mewah yang disuguhkan para selebritas di
Instagram, misalnya, membuat histeria jadi saluran untuk menggapai rasa lega
dari tekanan hidup. Lewat celah ini euforia hoax merasuki jiwa yang pengap
dan jenuh.
Melakukan penyebaran
informasi ”di luar dugaan” merupakan rekreasi dalam rutinitas hidup yang
menjemukan. Asalkan sensasional, sarat histeria, dan insinuatif hingga
membuat takjub orang lain, cukuplah untuk membuat si penyebar informasi
”merasa ditanggapi” oleh banyak orang. Dia yang kemarin bukan siapa-siapa,
kini merasa berjasa turut membongkar aib figur pujaan rakyat demi ”moralitas
publik”, atau ”turut menginformasikan” reputasi palsu seorang politikus hanya
demi kejutan.
Orang pasti histeris andai
ada berita kuda milik Prabowo bisa bicara. Satu versi menyebutkan ”seperti
berbisik”. Versi lain menulis: ”komat-kamit seperti berdoa”. Jelas ini omong
kosong, tetapi banyak orang haus akan sensasi, terutama yang berbau
supranatural demi isu politik.
Hoax tentang figur yang
kurang penting, tentu, tidak semenarik hoax tentang figur di lingkup
kekuasaan atau selebritas tenar. Gosip tentang katak melahirkan katak tanpa
melalui tahapan berudu tentu menarik, tetapi jauh lebih atraktif jika yang
diceritakan itu katak yang dipelihara Presiden Jokowi di kolam Istana Bogor.
Yang segera beredar bukan
soal kebenaran berita itu. Secara ilmiah, itu jelas mustahil. Aspek
metaforislah yang lekas merebak dalam bentuk narasi dan meme di media sosial.
Para pemuja dan penghujat Presiden Jokowi sama-sama ”angkat senjata” di atas
hoax. Esensi dieliminasi demi sensasi dan insinuasi yang diperciki provokasi
dan agitasi.
Semua pihak yang beradu emosi kompak bekerja
sama melakukan tindakan bumi hangus diri sendiri tanpa mereka sadari. Semua
itu mereka lakukan di bus kota ketika berangkat kerja, di kereta sesak kala
senja, atau di mana pun. Tak terpikirkan malapetaka yang bakal menimpa akibat
histeria tanpa suara itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar