Kredit
Mahasiswa Indonesia 2.0
Didi Achjari ; Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah
Mada
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Maret 2018
IDE tentang kredit
pendidikan muncul kembali dalam pertemuan Kepala Negara dengan para direksi
bank umum di Istana Negara pada Kamis (15/3/2018). Tulisan ini bermaksud
memberi gambaran terkait dengan tantangan dan kompleksitas kredit pendidikan
di RI, baik dari aspek penyediaan dana, penyaluran, dan pengembalian kredit
pendidikan.
Secara umum, kredit
pendidikan bisa dikategorikan dalam dua jenis. Pertama, kredit yang dilakukan
orangtua untuk membiayai pendidikan anak. Saat ini perbankan sudah
menyediakan kredit jenis ini. Kredit itu tentu dikenai bunga dan biasanya
bank mensyaratkan adanya jaminan. Pembayaran kredit dilakukan orangtua
pelajar/mahasiswa. Kredit itu bisa digunakan orangtua membiayai anak mereka
yang kuliah di luar negeri.
Kedua, kredit yang
dilakukan mahasiswa. Nantinya mahasiswa sendiri yang harus mengembalikan
kredit setelah lulus dan bekerja. Jenis kedua itu telah diterapkan, antara
lain, di AS dan Australia.
Kredit jenis kedua
sebenarnya pernah ada di era Orba, yaitu Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI).
KMI yang dulu disalurkan Bank BNI menjadi solusi bagi mahasiswa program
sarjana yang kesulitan dana untuk bisa menyelesaikan kuliahnya. Agunan
kreditnya ialah ijazah (setelah selesai pendidikan).
Setelah pinjaman lunas,
ijazah akan dikembalikan. Sayangnya cukup banyak kasus penerima fasilitas KMI
yang tidak melunasi pinjaman yang telah diterimanya. Program KMI dihentikan
sekitar 1981-1982.
Contoh negara yang lengkap
sistem legal dan kelembagaannya serta masif dalam penerapan kredit mahasiswa
ialah AS. Kementerian Pendidikan AS memberikan tiga jenis student loan, yakni
kepada (1) orangtua mahasiswa (PLUS Loans), (2) mahasiswa perguruan tinggi
(PT) negeri (Stafford and Perkins Loans), dan (3) orangtua atau mahasiswa PT
swasta (private student loan).
Setelah jatuh tempo,
debitur diberi waktu 10 tahun (120 kali cicilan) untuk melunasi student loan
yang diterima. Kalau debitur mengalami masalah pendapatannya terlalu kecil,
untuk mengangsur, bisa mengajukan keringanan melalui skema income-driven
repayment yang berbasis persentase pendapatan (10%, 20%, dan 30%) dan jangka
waktu diperpanjang sampai 20-25 tahun. Menurut Wikipedia.org, total nilai
student loan di AS pada akhir 2017 mencapai US$1,49 triliun dengan debitur
sekitar 43 juta orang.
Kalau pemerintah ingin
menerapkan kembali kredit pendidikan alias memunculkan KMI 2.0, sebenarnya
kuat landasan hukumnya, yaitu UU Pendidikan Tinggi No 12/2012, Pasal 76 ayat
(1) dan Pasal 76 ayat (2) poin c. Namun, sayangnya fokus UU itu hanya pada
mahasiswa yang berlatar belakang ekonomi tidak mampu. Selain itu, UU tersebut
tidak menyebut perbankan sebagai pihak yang harus menyediakan kredit, tapi
justru pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau PT.
Jika KMI 2.0 bisa
diwujudkan, akan banyak manfaat bagi pendidikan tinggi Indonesia. Penyediaan fasilitas
KMI akan membantu peningkatan akses ke pendidikan tinggi. Walau selama ini
pemerintah sudah menyediakan beasiswa Bidikmisi kepada mahasiswa yang
berlatar belakang tidak mampu, masih ada kelompok masyarakat yang perlu
dibantu. Mereka ialah kelompok masyarakat yang 'tanggung' karena tidak masuk
kategori tidak mampu, tapi berat untuk membiayai kuliah.
KMI 2.0 bisa menjadi
solusi akses ke perguruan tinggi bagi kelompok masyarakat ini. Manfaat lain
KMI 2.0 ialah bisa mengurangi tingkat drop-out mahasiswa karena masalah
finansial. KMI 2.0 juga bisa bermanfaat bagi manajemen PT. Potensi friksi
terkait UKT yang kadang terjadi di awal tahun ajaran antara (orangtua)
mahasiswa dengan PT bisa dikurangi. KMI 2.0 bisa menjadi jalan tengah kedua
belah pihak. Mahasiswa tetap bisa kuliah karena UKT bisa dibayar melalui
skema KMI 2.0. Di sisi lain kampus juga tidak guncang anggaran penerimaannya.
Dari sisi perbankan, ada
beberapa potensi masalah kalau bank yang harus menyediakan skema KMI 2.0.
Selain kurang sesuai dengan UU No 12/2012, itu berpotensi masalah bagi bank
karena bisa meningkatkan kredit macet (non-performing loan/NPL). Mahasiswa
belum memiliki jaminan yang memadai. Kalaupun ada, bentuknya ijazah setelah
lulus.
Kalau terjadi suatu
risiko, bank berada pada pihak yang menanggung kerugian melalui peningkatan
NPL. Masalah lain ialah pinjaman kepada mahasiswa untuk menyelesaikan kuliah
tidak boleh dikenai bunga. Hal itu sesuai UU No 12/2012 Pasal 76 ayat (2)
poin c yang berbunyi 'pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah
lulus dan/atau memperoleh pekerjaan'. Beban akan makin berat bagi perbankan
kalau harus menyediakan pinjaman tanpa bunga dengan jangka waktu yang cukup
lama.
Dari sisi penyaluran, KMI
2.0 bisa melibatkan baik perbankan maupun lembaga negara. Perbankan bisa
dilibatkan melalui skema channeling dengan bank berperan sebagai penyalur KMI
2.0 yang sumber dananya dari pemerintah. PT tentu juga harus dilibatkan dalam
pemberian rekomendasi tiap mahasiswa pengusul kredit. Pertanyaannya ialah apakah
pemerintah siap mengalokasikan anggaran dalam APBN membiayai KMI 2.0.
Alternatifnya, pemerintah
menyalurkan KMI 2.0 kepada mahasiswa melalui Lembaga Pengelola Dana
Pendidikan (LPDP). Selama ini LPDP sudah biasa menyalurkan beasiswa dan
mempunyai kapasitas yang memadai untuk mengelola urusan terkait pendanaan
pendidikan.
Dari sisi pembayaran
kredit oleh debitur, diperlukan sistem dan prosedur terintegrasi berbasis
teknologi informasi untuk memperkecil potensi 'pengemplang' dan mencegah
'moral hazard' yang pura-pura tidak mampu membayar KMI 2.0. Untuk itu, data
kependudukan yang terintegrasi dengan Ditjen Pajak, BPJS Ketenagakerjaan, dan
perbankan menjadi suatu keharusan agar profil debitur bisa diidentifikasi
secara akurat. Selain itu, diperlukan payung hukum agar pemerintah bisa
melakukan upaya hukum kepada debitur yang mampu, tapi tidak mau melaksanakan
kewajibannya.
Akhirnya, dengan mengacu
pada kondisi di atas, untuk mewujudkan KMI 2.0 diperlukan koordinasi para
pihak terkait untuk membuat infrastruktur sistem dan regulasi yang
komprehensif, serta mengidentifikasi sumber pendanaannya. Kita perlu belajar dari pengalaman negara
lain dan kelemahan KMI 1.0 agar tidak terulang di KMI 2.0. Sesuai dengan UU
No 12/2012, perlu ditentukan juga apakah KMI 2.0 akan ada dalam area
'mahasiswa tidak mampu' dan 'kredit tanpa bunga' atau memperluas area melalui
revisi UU atau cara lainnya. Semoga ide KMI 2.0 tidak layu sebelum
berkembang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar