PSI,
Pemilik Modal, dan “Politics as Usual”
Denny JA ; Pendiri Lingkaran Survei Indonesia
|
REPUBLIKA,
01 Maret
2018
Wartawan bertanya pada
saya tentang dua fenomena pada partai baru, kasus PSI (Partai Solidaritas
Indonesia).
Pertama, bagaimana
memahami mengapa partai (PSI) yang menggembar gemborkan memperjuangkan anti
korupsi, tapi menjadikan tokoh yang pernah dicekal KPK pada posisi sangat
penting: Sekretaris Dewan Pembina: Sunny Tanuwijaya?
Kedua, bagaimana memahami
mengapa partai yang menggembar gemborkan perjuangan pemerintahan yang
transparan, tapi tidak transparan mengumumkan siapa saja pengurus partai itu
yang sebenarnya di laman resmi, apalagi untuk posisi yang powerful (Ketua
Dewan Pembina dan Sekretaris Dewan Pembina)?
Menjawab dua pertanyaan
itu, kita menyelami sisi pahit realitas politik. Membangun partai di masa
kini memerlukan tak hanya gagasan, tapi juga modal besar. Tak hanya ide, tapi
juga dana bejibun.
Yesss! It is the Big Money! Penjelasan atas dua
pertanyaan ini bisa dilacak melalui apa yang dulu dipopulerkan oleh film “All
the President Men”: Follow the money. Lacak saja aliran dana partai ini.
***
Kita membela prinsip,
semua warga negara berhak atas posisi politik secara equal. Itu prinsip Hak
asasi manusia. Ini prinsip konstitusi. Yang kita analisa hanya mengapa tokoh
ini di posisi itu.
Mengapa harus Sunny? Mengapa tokoh yang pernah dicekal
KPK tetap dipilih diletakkan dalam
posisi sepenting itu untuk partai yang memperjuangkan korupsi? Karena ini
partai yang mengklaim perjuangan anti
korupsi, mengapa bukan tokoh yang punya rekor perjuangan anti korupsi yang di
sana?
Sunny bukan ikon pejuang
anti korupsi. Dicari dalam rekornya, bolak-balik dari pagi sampai sore, tak
akan kita jumpa rekor Sunny memperjuangkan pemerintahan yang bersih. Yang ada
justru sebaliknya. Ia pernah dicekal KPK.
Diletakkannya Sunny di
sana apa iya seperti yang kini diberitakan oleh tokoh partai itu sendiri?
Bahwa itu hasil dari pansel
independen? Bahwa Sunny seorang peneliti ilmu sosial?
Jika penjelasan peristiwa
politik dipahami dalam kerangka
“sinerji antara gagasan dan kepentingan modal,” lebih masuk akal penjelasan ini. Dipaksakannya Sunny dalam posisi sepenting
itu karena keperluan modal besar. Sunny dikenal dekat dengan pemilik modal
besar negeri ini.
Media online sudah banyak
menjelaskan jaringan bisnis di seputar Sunny. Umumnya mereka memang dikenal
sebagai pemilik BIG MONEY.Tak ada yang salah sampai titik ini.
Problem semata mata karena
Sunny pernah luas diberitakan media, ia pernah dicekal KPK. Keperluan modal
besar yang membuat partai mengambil resiko meletakkan Sunny, yang pernah
dicekal KPK, dalam posisi sepenting Sekretaris Dewan Pembina.
Petinggi partai sepenuhnya
sadar. Nama Sunny, juga nama Jeffry Geovani, tak bisa dijual sebagai
pengharum partai. Sunny pernah dicekal KPK. Sementara Jeffry tak pernah betah
lama di satu partai. Jeffry sering meloncat. Ia pernah di PAN. Lalu ke Golkar. Kemudian ke Nasdem.
Lalu keluar lagi.
Itu pula yang dapat
menjelaskan. Mengapa dua tokoh ini seolah “disembunyikan.” Mereka berdua sangat menentukan, dapat
posisi sangat penting sebagai ketua Dewan Pembina dan Sekretaris Dewan
Pembina. Tapi nama mereka tidak dicantumkan dalam laman resmi PSI.
Ketika partai lain terbuka
menuliskan seluruh pengurus penting di laman resmi, apalagi posisi ketua dan
sekretaris Dewan Pembina, PSI tak menyertakan nama mereka berdua. Jika
pengurus PSI yakin nama dua tokoh ini harum di mata voters dan publik luas,
pastilah sedini mungkin dua tokoh ini sudah digelumbungkan sebagai ikon
partai. PSI melakukan itu, marketing tokoh, ketika ia merekrut penyanyi
Giring Niji misalnya.
Itulah yang disebut politics
as usual. Untuk tokoh yang diyakini membawa harum, menarik pendukung, ia akan
dimarketingkan. Sebaliknya, untuk tokoh yang mungkin negatif, ia tak akan
ditonjolkan. “Tak ditonjolkan” itu kata yang lebih halus dibanding
disembunyikan.
Dari zaman kuda gigit besi
hingga kuda gigit handphone, hukum besi itu berlaku. Suka ataupun tidak.
Terlepas dari retorika pembelaannya, ya itulah politics as usual:
marketingkan tokoh yang harum. Sembunyikan tokoh yang “bermasalah.”
000
Setelah semua terbuka di
atas meja, bagaimana prospek PSI?
Segala hal mungkin
terjadi. Mungkin Sunny tetap dipertahankan dalam posisi Sekretaris Dewan
Pembina. Ini sudah kepalang basah.
Lalu pasukan pembela
dikerahkan. Dicari aneka argumen yang
paling masuk akal dan kena di hati pemilih untuk menjelaskan mengapa Sunny
masih di sana. Tentu argumen yang elegan yang tak berhubungan dengan big
money walau sebenarnya ini masalah big money belaka.
Mungkin pula disiapkan
Exit Strategi yang elegan: Sunny mundur dari partai untuk alasan yang sangat
harum. Tekanan terlalu besar yang bisa signifikan mempengaruhi partai ini tak
lolos parliamentary threshold 4 persen.
Mungkin Sunny tetap
berperan penting tapi di belakang layar saja. Namanya tak perlu tercantum
resmi. Dua duanya dapat. Akses pada pemilik modal tetap ada melalui Sunny.
Tapi tekanan publik bisa dikurangi.
Mungkin pula partai
mengurangi tekanannya pada perjuangan anti korupsi, dan mencari agenda lain
yang lebih sesuai.
Walau Sunny sudah tak
dicekal KPK lagi, tapi keberadaannya dalam posisi penting tetap mengganggu
jika yang diutamakan agenda anti korupsi. Akankah terjadi perubahan agenda
utama partai?
Mungkin pula terjadi
kemunduran pesona partai secara signifikan. Awalnya begitu banyak yang ingin
bergabung, atau setidaknya mendukung. Namun
ternyata di partai yang mengklaim semangat baru juga terkena hukum
besi “politics as usual.”
Bisa pula terjadi krisis.
Para aktivis dan intelektual di partai tak semilitan sebelumnya setelah tahu
partai ini tak seindah yang dibayangkan.
Atau malah sebaliknya.
Partai ini justru mendapatkan simpati karena terkesan dizalimi. Semua serba
mungkin.
Bagaimana saran saya
sendiri selalu konsultan politik yang sudah ikut memenangkan semua pilpres
langsung, tiga kali pilpres, 32 gubernur, 87 bupati/walikota?
Saran saya: sekali layar
kapal terkembang, arungi lautan sekeras apapun badai datang. Jangan patah semangat. Bertiupnya angin
yang kencang justru pertanda pohon yang semakin tinggi.
Lalukan “damage control.”
Cari isu baru yang segar. Upayakan dulu partai ini melampaui parliamentary
threshold 4 persen.
Banyak anak muda yang
bagus yang sudah terlanjur bertaruh karir politik di partai ini. Banyak agenda bagus sudah dinyatakan partai
ini. Jika agenda itu berhasil, itu bagus untuk Indonesia.
Dalam kerangka “sinerji
gagasan dan kepentingan modal,” kerjakan apapun yang bisa agar gagasan yang
menjadi raja. Modal jadikan pengikutnya. Jangan terbalik.
Bisakah? Sebuah ikhtiar
berharga untuk dicoba. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar