Pesantren
Salafi (5)
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
REPUBLIKA,
01 Maret
2018
Bagaimana prospek
pesantren Salafi? Ini pertanyaan yang tidak mudah dijawab karena terkait
dengan dinamika paham dan gerakan Salafi itu sendiri, baik di Indonesia
maupun di Arab Saudi, Yaman, dan Timteng keseluruhan.
Berbagai perubahan
politik, agama, sosial-budaya, dan ekonomi yang terjadi di negara-negara ini
mengandung implikasi serta konsekuensi bagi gerakan Salafi—termasuk pesantren
Salafi—di Indonesia.
Pada saat yang sama,
dinamika dan perubahan kehidupan politik, agama, dan sosial-budaya di
Indonesia juga memengaruhi gerakan Salafi dan pesantrennya.
Dinamika ormas-ormas Islam
arus utama yang kian mawas terhadap gerakan dan pesantren Salafi menciptakan
iklim yang tidak lagi begitu kondusif bagi paham dan gerakan transnasional
ini untuk bergerak menyebarkan pengaruhnya.
Perkembangan ini sedikit
banyak memengaruhi pesantren Salafi. Kontrawacana dan bahkan kontragerakan
dari lingkungan ormas Islam arus utama terhadap paham, gerakan, dan pesantren
Salafi cenderung kian meningkat dari ormas Islam arus utama, seperti NU.
Bagi banyak ormas Islam
arus utama, di antara doktrin Salafi-Wahabi yang bertumpu pada Tauhid
Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, Asma wa Sifat, dan Mulkiyah, yang paling
diwaspadai adalah al-Wala’ wa al-Bara’. Doktrin terakhir ini berarti
"cinta dan benci" atau "asosiasi dan disasosiasi".
Menurut doktrin ini, umat
Islam harus menyukai berbagai usaha untuk memuliakan Islam dan umatnya. Umat
Islam juga harus membenci segala sesuatu yang membenci Islam dan umatnya.
Dalam praktiknya, pengikut
Salafi-Wahabi membatasi pergaulan agar tidak terkontaminasi pemikiran Islam
lain yang mereka anggap keliru, atau bahkan sesat. Sebab itulah, mereka
menjadi kelihatan eksklusif.
Faktor lain yang dapat
membuat surutnya pesantren Salafi adalah pendanaan. Bukan rahasia lagi,
pesantren Salafi mendapat banyak dana dari instansi pemerintah, lembaga
swasta, dan individu di Arab Saudi.
Selain itu, mereka Salafi
juga mendapat kucuran dana, misalnya dari Jam’iyah Ihya al-Turats al-Islami
(Kuwait) dan Yayasan Syekh Aid al-Tsani al-Khayriyah.
Namun, sejak peristiwa
9/11 (2001) di Amerika Serikat, aliran dana dari Timur Tengah atau
negara-negara lain menjadi lebih ketat. Beberapa lembaga yang sebelumnya
menyuplai dana dibekukan karena terindikasi terkait terorisme.
Pemerintah Indonesia juga
kian ketat memantau transfer dana dari negara-negara Arab; walau pihak-pihak
terkait kemudian menemukan cara-cara baru dalam pengiriman dana.
Sumber keuangan kian sulit
juga terkait "krisis keuangan" yang dihadapi Arab Saudi dalam
beberapa tahun terakhir. Kemerosotan harga minyak membuat pendapatan negara
merosot tajam; APBN 2017 Saudi juga defisit sampai 15 persen. Semua ini
memengaruhi keuangan lembaga donor dan dermawan Arab Saudi.
Selain itu, dalam beberapa
tahun Arab Saudi membelanjakan dana sangat besar untuk persenjataan. Hal ini
bukan hanya sebagai antisipasi terhadap "ancaman" Iran, tetapi juga
untuk mempersenjatai koalisi militer pimpinan Saudi yang berperang menghadapi
kaum Houthi di Yaman.
Oleh karena itulah,
gerakan dan pesantren Salafi di Indonesia harus lebih berusaha menggali dana
dalam negeri Indonesia sendiri. Pesantren Salafi dengan mutu pendidikan yang
baik dapat menarik sumbangan biaya pendidikan yang cenderung meningkat
jumlahnya dari orangtua dan santri. Selain itu, juga ada dana zakat, infak, dan
sedekah dari donatur.
Perkembangan lain yang
bisa jadi juga berdampak pada gerakan Salafi-Wahabi di Indonesia adalah
kebijakan putra mahkota Pangeran Muhammad bin Salman (MbS) yang menyatakan
akan meninggalkan paham Wahabiyah. Atas alasan itu, Pemerintah Saudi menahan
sejumlah ulama Saudi Wahabi. Menurut dia, paham radikal ini telah merusak
citra Arab Saudi. Dia menyatakan kembali kepada paham dan praktik Islam yang
damai dan toleran.
Sejauh mana kebijakan dan
langkah Pangeran MbS berdampak terhadap gerakan Salafi-Wahabi di Indonesia
masih perlu dicermati. Tetapi jelas, sedikit banyak dapat membuat menyurutnya
momentum gerakan Salafi-Wahabi beserta pesantren Salafi-nya di Indonesia.
Pasang dan surutnya
gerakan Salafi juga banyak tergantung dari internalnya sendiri. Bukan rahasia
lagi, gerakan Salafi tidaklah homogen atau monolitik; sebaliknya
terfragmentasi ke dalam banyak kelompok berdasar tingkat
"Salafisme" (lebih literal atau lebih longgar), orientasi gerakan
(politik atau dakwah/pendidikan), figur panutan di Arab Saudi atau Yaman atau
tempat lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar