Merangsang
"Gairah" Politik Perempuan
Fathurrahman Yahya ; Pascasarjana Pemikiran Politik Islam Ezzitouna
Universite-Tunisia; Jurnalis; Tinggal
di Oslo-Norwegia
|
DETIKNEWS,
01 Maret
2018
Tulisan Tsamara Amany
berjudul Perempuan Milenial Progresif
dalam rubrik Kolom detikcom, 26 Januari 2018 menarik untuk dicermati.
Menariknya, politisi dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu mengajak
kaum perempuan, utamanya perempuan muslim Indonesia untuk berpartisipasi
dalam dunia politik mengisi ruang representasi 30 % di parlemen yang masih
terbuka lebar.
Hak-hak politik kaum
perempuan selalu menjadi diskursus yang tak pernah usai. Pertanyaan yang
selalu mengusik kita, mengapa tingkat partisipasi politik kaum perempuan di
sejumlah negara (berpenduduk mayoritas) Islam, termasuk di Indonesia sangat
kecil? Adakah sekat-sekat sosiokultural yang menghambat mereka memasuki ruang
publik-politik yang kerap menjadi privasi laki-laki? Bukankah sejarah telah
memberi pelajaran bahwa banyak perempuan yang sukses menata kehidupan publik
termasuk kehidupan politik?
Tulisan ini coba mengurai
pertanyaan di atas sekaligus mengukuhkan hak-hak kesetaraan perempuan secara
teologis (Islam) dan peran mereka dalam percaturan politik modern,
sebagaimana diperankan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini (Risma).
Paradigma
Tafsir dan Fikih
Sejak abad ke-20 M,
isu-isu pemberdayaan, kesetaraan, dan hak-hak publik perempuan sudah
didengungkan oleh para kampion gerakan feminisme di dunia Islam misalnya
Qasim Amin dan Nawwal Sa'dawi di Mesir, Fatima Mernissi di Maroko, dan Riffat
Hasan di Pakistan.
Mereka menyerukan
pemberdayaan kaum perempuan melalui pendidikan, kesempatan kerja, bahkan
partisipasi politik. Lewat bukunya Le Harem Politique Le Prophetee Les
Femmes, Mernissi menganjurkan penafsiran kembali teks-teks klasik Islam
(tafsir dan fikih), karena di dalamnya ada kecenderungan misoginis yang
secara sistematik menanamkan kebencian terhadap perempuan.
Sejauh ini, upaya-upaya
pemberdayaan kaum perempuan melalui pendidikan formal maupun informal sudah
menunjukkan adanya hasil signifikan. Tetapi, sejauh ini pula muncul
pertanyaan, mengapa peran publik-politik kaum perempuan di sejumlah negara
(berpenduduk mayoritas) Islam, termasuk di Indonesia kerap dipersoalkan?
Tanpa dipungkiri, kisah penciptaan
(Adam dan Hawa) yang dilansir dalam Israiliyaat dan Bibel bahwa perempuan
(Hawa) diciptakan dari bagian tulang rusuk laki-laki (Adam) ikut mempengaruhi
penafsir dan ahli fikih dalam menafsirkan teks-teks dasar Islam. Mitos yang
berkembang dalam tradisi pra Islam ini kemudian ikut memperburuk potret kaum
perempuan, ditambah lagi dengan stereotip misoginis (kebencian) bahwa
perempuan (Hawa) menjadi penyebab keluarnya laki-laki (Adam) dari surga.
Padahal, dengan tegas Tuhan menyatakan bahwa setanlah yang menjerumuskan
keduanya (Q.S. Al-A'raf: 20-23)
Jika kita menelaah
buku-buku fikih klasik (jurisprudensi Islam), sebut misalnya kitab Ahkâm
An-Nisa' dan Talbîs al-Iblîs karya Ibnu al-Jawzi ( 510-590 H.) tampak bahwa
perempuan adalah jenis manusia yang memerlukan nasihat lebih daripada
laki-laki. Karena secara instingtif perempuan dianggap berwatak
"bodoh" dan "lemah akal".
Potret perempuan sebagai
makhluk lemah, penebar fitnah, dan penggoda yang menyebabkan Adam keluar dari
surga masih berpengaruh kuat di lingkungan masyarakat Islam.
Dengan image demikian,
sulit bagi perempuan untuk mengisi ruang publik, apalagi berpartisipasi dalam
ranah politik. Politik menjadi ruang bebas yang bisa diisi laki-laki, tetapi
tertutup bagi perempuan, sehingga perempuan terpinggirkan dari proses
pembangunan. Mereka kerap tersingkirkan dari tugas-tugas sosial dan
struktural, karena dianggap lemah fisik dan akal. Perempuan kurang memperoleh
kesempatan untuk beraktualisasi dalam dinamika sejarah, bahkan prestasi dan
hasil aktualisasi perempuan kerap tidak tercatat dalam sejarah (Latifa
Lakhdar: 2007).
***
Sejak periode awal Islam,
perempuan muslim memang sudah menyadari adanya ketidakadilan, diskriminasi,
dan marginalisasi. Ummu Salamah, istri Nabi Muhammad mencoba memperjuangkan
ketidakadilan tersebut dan mengajukan protes kepada Nabi dengan sebuah
tuntutan, "Wahai Rasulullah, mengapa kaum laki-laki selalu disebut-sebut
dalam peristiwa hijrah, sedangkan kami (perempuan) tidak?" Nabi
menyadari tuntutan tersebut, kemudian beliau mengadukannya kepada Allah, lalu
turunlah ayat, "Maka Allah telah mengabulkan tuntutan mereka,
sesungguhnya Kami tidak akan menghilangkan perbuatan seseorang di antara
kalian baik laki-laki maupun perempuan (Q.S. Ali Imran: 195).
Ayat di atas merupakan
pengakuan teologis yang sangat genuine yang dirancang Tuhan untuk melapangkan
jalan bagi perempuan menuju ruang luas yang selama ini diisi laki-laki, yaitu
ruang publik. Maksud esoterik ayat tersebut bahwa aktualisasi diri perempuan
akan mendapat apresiasi yang sama seperti laki-laki, sehingga peran mereka
tidak akan sia-sia. Bahkan, keduanya memiliki peran sejajar dalam menjalankan
tanggung jawab publik, sosial-politik dengan melakukan amar makruf nahi munkar
(Q.S. At Taubah: 71).
Eksprimen
Sejarah
Peran publik (politik)
yang diejawantahkan seorang perempuan semisal Ratu Balqis, penguasa negeri
Saba sebagaimana dilukiskan dalam Q.S. An-Naml: 44 tidak terbantahkan. Oleh
karena itu, Al-Quran mengabadikannya sebagai perempuan yang tangguh, bijak,
dan memiliki keunggulan (fadhlun) mental dan intelektual. Tuhan
menganugerahkan keistimewaan kepada perempuan dan laki-laki, sehingga kata
arrijâlu qawwâmûna alâ an-nisâ' (Q.S.An-Nisa': 34) tidak serta merta dijadikan
alasan untuk melemahkan posisi kaum perempuan.
Di dalam kitab Usd
al-Ghabati fi Ma'rifat al-Sahabati Jilid 7 karya Ibnu Al-Atsir disebutkan
bahwa ketika Khalifah Umar bin Khattab membentuk Badan Pengawas di kota
Madinah, beliau menunjuk seorang perempuan bernama Al-Syifa' binti Abdillah
untuk memimpin lembaga tersebut. Dengan demikian berarti bahwa Al-Syifa'
ditunjuk karena memiliki kapabilitas untuk melakukan pengawasan terhadap
masyarakat yang ada di pasar dan sekitarnya, termasuk masyarakat laki-laki.
Masih ragukah kita terhadap keutamaan (fadhlun) yang diberikan Tuhan kepada
perempuan?
Dalam konteks sejarah
politik Indonesia modern, tidak sedikit perempuan muslim yang berkiprah dalam
dunia politik dan memiliki kemampuan manajerial serta kepemimpinan yang tidak
kalah dengan laki-laki dalam urusan tata kelola kota dan pemerintahan, sebut
misalnya Walikota Surabaya, Tri Rishamaharini atau yang populer dipanggil
Risma.
Sebagai politisi perempuan
yang sukses, Risma layak menjadi contoh paradigmatik dalam konteks pemikiran
politik Islam. Partai-partai Islam yang dahulu bersikap ragu bahkan
menganggap tabu seorang perempuan menjadi pemimpin (politik-pemerintahan)
karena rigiditas pemahaman dan penafsiran terhadap ayat "arrijaalu
qawwamuna ala annisa´", saat ini justru tidak ragu-ragu untuk
mengakomodasinya.
Berbagai prestasi dan
penghargaan yang diraihnya, baik nasional maupun internasional, walikota yang
diusung PDI-P ini, setidaknya telah mengubah image perempuan, utamanya
perempuan muslim yang selama ini kerap hanya ditempatkan dalam ranah domestik
sebagai ibu rumah tangga.
Ia tidak hanya menjadi
representasi politisi perempuan dalam tingkat lokal, tetapi menjadi ikon
politik Islam dalam level nasional dan internasional. Ia berhasil melakukan
tata kelola kota Surabaya dengan pendekatan-pendekatan yang humanis. Lebih
dari itu, Risma dinilai mampu melakukan transformasi kultural dalam struktur
pemerintahan dari pola patriarkat menjadi pola emansipatoris melalui
penerapan kebijakan tanpa bias gender, sehingga jabatan Kepala Dinas di
lingkungan Pemkot Surabaya berimbang (50:50) antara laki-laki dan perempuan.
Ijtihad politik yang
dilakukan Risma setidaknya akan memberi rangsangan dan stimulasi politik bagi
perempuan-muslim Indonesia khususnya untuk memenuhi kuota 30% mengenai
keterwakilan perempuan di parlemen sebagaimana diatur undang-undang, dan
mengikis bias gender dalam struktur pemerintahan kota.
Walhasil, peran dan
partisipasi politik perempuan sangat diperlukan, baik di lembaga legislatif
maupun eksekutif. Kaum perempuan perlu hadir diberi ruang dan peluang dalam
perdebatan etika-hukum dan rancangan legislasi baik di tingkat daerah maupun
nasional, sehingga produk hukum dan undang-undang yang menyangkut hak dan
kepentingan kaum perempuan merupakan hasil desain kaum perempuan itu sendiri.
Mengubah pola pikir kita
tentang image perempuan yang selama ini dianggap sebagai makhluk lemah
--fisik dan akal-- memerlukan suatu gerakan penyadaran bukan hanya melalui
pendekatan kultural, tetapi juga melalui pendekatan sosial politik.
Tugas cendekiawan
muslim-ulama adalah membebaskan kaum perempuan dari kungkungan imaji-imaji
masa silam tentang perempuan, mengikis sekat-sekat sosiokultural yang kerap
menghambat partisipasi mereka dalam ranah politik. Sementara itu, para
politisi, termasuk Tsamara Amany perlu terus merangsang "gairah"
perempuan agar mereka terlibat dalam politik melalui edukasi politik yang
mencerahkan, bahwa perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki
dalam dunia politik. ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Hk
BalasHapus