Korupsi
Kepala daerah
Oce Madril ; Dosen Fakultas Hukum UGM;
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi
UGM
|
KOMPAS,
03 Maret
2018
Korupsi kepala daerah tak kunjung berhenti. Silih berganti
kepala daerah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan saat
mencalonkan diri dalam pilkada pun, kepala daerah masih nekat korupsi.
Tingginya biaya politik dan semakin ketatnya persaingan dalam pilkada,
menjadi faktor yang mendorong terjadinya korupsi.
Modus korupsi tidak banyak yang berubah. Penyalahgunaan wewenang yang
berujung pada transaksi suap-menyuap merupakan bentuk korupsi kepala daerah
yang paling banyak terungkap. Kasusnya juga masih itu-itu saja, seputar
kewenangan yang diperjualbelikan.
Kewenangan jabatan
Korupsi selalu berhubungan dengan kekuasaan. Korupsi
kepala daerah meningkat seiring membesarnya kekuasaan kepala daerah. Besarnya
kekuasaan ini nampaknya tidak diiringi dengan pemahaman utuh mengenai tugas,
fungsi dan kewenangan jabatan.
Kepala daerah boleh saja merasa bahwa ia adalah pejabat
politik yang dipilih melalui mekanisme pemilihan politik (political
appointment) secara langsung oleh rakyat. Sebagai pejabat politik, maka
kepala daerah dapat membuat keputusan-keputusan politik.
Pemaknaan atas status pejabat politik ini akan keliru jika dimaknai bahwa pengelolaan pemerintahan daerah tergantung pada keputusan politik kepala daerah. Sehingga seolah-olah, pengelolaan pemerintahan disesuaikan dengan “maunya” kepala daerah tanpa pertimbangan aturan hukum.
Fenomena ini terlihat dari berbagai kasus korupsi kepala
daerah yang pada umumnya semua berawal dari “kehendak” kepala daerah yang
berlawanan dengan aturan hukum. Walaupun dipilih dengan mekanisme politik,
setiap kepala daerah harus memahami bahwa pada akhirnya, mereka adalah
pejabat pemerintahan (administrasi negara) yang tunduk pada ketentuan hukum
administrasi negara dalam pengelolaan pemerintahan.
Sebagai pemimpin pemerintah daerah, kepala daerah memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, mulai dari
urusan keuangan sampai pada kepegawaian. Dalam hal keuangan, kepala daerah
adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, termasuk juga dalam
pelaksanaan APBD yang di dalamnya ada berbagai kegiatan dan proyek-proyek.
Kemudian dalam hal aset, kepala daerah merupakan
penanggung jawab pengelolaan aset daerah. Terkait kepegawaian, kepala daerah
memegang kekuasaan sebagai pejabat pembina kepegawaian yang berwenang untuk
mengangkat, memindahkan dan memberhentikan pejabat di daerah. Selain itu,
kepala daerah juga memiliki kewenangan dalam menerbitkan izin untuk berbagai
aktivitas sosial ekonomi masyarakat.
Dapat dilihat begitu besarnya kewenangan kepala daerah.
Namun, harus diingat bahwa sebagai pejabat pemerintahan, ada tanggung jawab
hukum yang di pundak kepala daerah. Tugas-tugas pengelolaan pemerintahan
daerah semuanya mengacu pada aturan hukum, bukan pada keputusan politik.
Sehingga adalah wajar jika kemudian kepala daerah sering diperiksa oleh
penegak hukum, jika terjadi pelanggaran terhadap mekanisme hukum dalam
mengelola pemerintahan. Hal ini karena konstruksi hukum pemerintahan daerah
memposisikan kepala daerah sebagai penanggung jawab berbagai urusan
pemerintahan.
Beragam aturan hukum mengenai pengelolaan pemerintahan,
menuntut tingkat kepatuhan yang tinggi dari kepala daerah. Jika kepala daerah
menundukkan diri kepada aturan hukum, maka persoalan hukum dapat dicegah
sejak awal. Namun, jika terjadi pengabaian terhadap aturan hukum, ada risiko
hukum sebagai konsekuensinya. Kasus korupsi kepala daerah yang terungkap,
menunjukkan rendahnya ketaatan hukum kepala daerah dalam mengelola
pemerintahan.
Sumber korupsi
Tak hanya tak taat hukum, nyatanya kepala daerah justru
menjadi sumber korupsi. Dari banyak kisah korupsi, kita mendengar bahwa
perintah korupsi datang langsung dari kepala daerah. Misalnya, ada perintah
untuk memotong sekian persen anggaran kegiatan dan setiap proyek yang
dibiayai oleh APBD. Kemudian potongan tersebut disetorkan kepada kepala
daerah. Atau kisah kepala daerah yang memperjual-belikan jabatan. Ada tarif
yang harus dibayarkan kepada kepala daerah untuk mendapatkan jabatan
tertentu.
Begitu juga dengan perizinan. Kepala daerah mematok harga
yang harus dibayarkan oleh pemohon izin jika ingin izinnya dikabulkan.
Pembahasan rancangan APBD juga demikian, sering kali kepala daerah
memerintahkan agar jajaran birokrasinya menempuh jalan pintas dengan menyuap
anggota DPRD untuk mendapatkan persetujuan.
Semua kisah tersebut menjadi bukti bahwa kepala daerah
merupakan sumber persoalan korupsi di daerah. Besarnya kewenangan menjadi
ladang korupsi bagi kepala daerah. Hampir semua kewenangan kepala daerah itu
dapat ditransaksikan untuk meraup keuntungan pribadi.
Efek korupsi
Kepala daerah yang korup akan menimbulkan efek korupsi
yang jauh lebih besar pada pemerintahannya. Birokrasi pun bisa dibuat korup
dan makin memprihatinkan lagi, pemerintahan daerah akan dikelola dengan
cara-cara koruptif.
Kepala daerah yang korup tentu jauh dari harapan rakyat.
Kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat harusnya membawa misi
pemberantasan korupsi dan mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Tanpa komitmen yang kuat dari kepala daerah, kebijakan antikorupsi mustahil
bisa berjalan baik di pemerintahan daerah.
Momentum Pilkada harus digunakan oleh rakyat untuk memilih
calon kepala daerah yang berintegritas dan memiliki rekam jejak yang baik.
Salah satu caranya, dilihat dari komitmen dan program antikorupsi yang
ditawarkan para kandidat. Sementara
bagi kandidat yang buruk rekam jejaknya, apalagi telah ditangkap oleh KPK,
maka harus diberikan hukuman. Jangan pilih mereka lagi! Karena kita tidak
ingin pilkada hanya menjadi ajang reproduksi koruptor. ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Hk
BalasHapus