Generasi
Milenial dan Tantangan Kebhinekaan
Siti Muyassarotul Hafidzoh ; Koordinator Litbang PW Fatayat NU DIY
|
DETIKNEWS,
02 Maret
2018
Kabar penuh guncangan
hadir dari riset Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dirilis
pertengahan Januari 2018, hasil riset itu mengabarkan bahwa generasi milenial
banyak yang tertarik literatur keislaman yang bercorak radikal.
Ada lima corak literatur
keislaman yang umumnya diakses generasi milenial, yaitu literatur bercorak
jihadi, tahriri, salafi, tarbawi, dan islamisme popular. Kelima corak
tersebut berpola piramida terbalik. Artinya, dari atas (puncak) ke bawah
semakin banyak peminatnya. Dalam hal ini, literatur jihadi paling sedikit
peminatnya, sedangkan islamisme popular paling banyak diminati.
Literatur jihadi
menggambarkan dunia saat ini berada dalam situasi perang sehingga menekankan
keharusan umat Islam mengobarkan jihad. Literatur tahriri menekankan gagasan
revitalisasi khilafah sebagai jalan mengembalikan kejayaan Islam. Literatur
salafi menawarkan landasan klaim identitas dan otentisitas yang merujuk
langsung terhadap sumber-sumber utama Islam.
Sedangkan, literatur
tarbawi menyebarkan misi ideologi Ikhwanul Muslimin yang berhasrat mengubah
tatanan politik saat ini. Terakhir, literatur islamisme popular mengusung
tema-tema keseharian dan menawarkan berbagai tuntunan praktis dalam kehidupan
yang dikemas dengan renyah, trendy, dengan corak fiksi, popular, dan komik.
Penelitian yang dilakukan
di 16 kota di Indonesia itu harus menjadi perhatian serius bagi bangsa
Indonesia. Ini sangat membahayakan, karena ketertarikan generasi milenal
terhadap literatur keislaman tidak dibarengi proses belajar yang mendalam.
Generasi milenial lebih cenderung membaca pada literatur yang instan, mudah,
dan cepat. Padahal, pembacaan atas literatur keagamaan yang instan bisa
melahirkan salah paham, bahkan gagal paham, terhadap makna ajaran agama itu
sendiri.
Dalam konteks kebhinekaan,
jebakan literatur jihadi sangat membahayakan, karena bisa memunculkan
berbagai tragedi kekerasan, bahkan aksi teror antarsesama anak bangsa.
Tantangan
Pendidikan
Hasil riset tersebut
menjadi tantangan serius dalam dunia pendidikan. Generasi milenial adalah
generasi yang merasakan nikmatnya teknologi. Apa saja kebutuhannya bisa
dipenuhi dengan smartphone yang ada dalam genggamannya. Kalau salah
menggunakannya, maka bisa menyebak anak-anak dalam sisi negatif.
Hasil suvei dari The Asian
Parent Insight pada awal 2014 menegaskan bahwa 98 persen anak sudah
menggunakan smartphone yang dimiliki orangtuanya. Survei ini melibatkan 2.500
orangtua di Singapura, Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
Kebanyakan orangtua dalam
survei tersebut berpendapat bahwa smartphone mempunyai makna positif bagi
orang dewasa, karena membantu dalam komunikasi, kerja, dan lainnya. Tapi,
kebanyakan orangtua juga berpendapat bahwa smartphone berdampak negatif bagi
anak-anak. Kebanyakan anak yang menggunakan smartphone lebih asyik bermain
game daripada belajar dan bersosialisasi dengan temannya.
Fakta tersebut menambah
tantangan serius bagi lembaga pendidikan. Anak-anak yang sibuk dengan
smartphone ini selain terancam dalam proses pembelajaran, juga sangat
berbahaya ketika menerima keanekaragaman di sekelilingnya. Kebinekaan yang
sudah melekat dalam kehidupan bisa sulit diterima, karena smartphone membuat
anak kurang pergaulan dan gagap melihat kondisi sekitar.
Padahal, pendidikan kebinekaan
harus dipraktikkan dalam keseharian. Kalau anak gagap melihat kebinekaan,
maka sangat berbahaya melihat kondisi sebagian masyarakat yang mulai tidak
ramah dengan keanekaragaman suku, budaya, ras, bahasa, dan agama yang melekat
di Indonesia.
Arah
Pendidikan Kita
"Bangsa yang tidak
mempunyai isi-hidup dan arah-hidup adalah bangsa yang hidupnya tidak dalam,
bangsa yang dangkal, bangsa yang cetek, bangsa yang tidak mempunyai
levensdiepte sama sekali."
Pernyataan Bung Karno itu
sangat tepat untuk menjadi refleksi lembaga pendidikan dalam menjawab
kegelisahan (terhadap) generasi milenial. Bung Karno mewanti-wanti agar semua
elemen bangsa serius dalam membangun "isi-hidup" dan
"arah-hidup" bagi anak bangsa. Lembaga pendidikan mempunyai tugas
paling depan untuk membangun "isi-hidup" dan "arah-hidup"
tersebut. Dari rahim lembaga pendidikan, bangsa ini bisa keluar dari jebakan
kedangkalan.
Zaman Bung Karno dan zaman
sekarang tentu saja berbeda. Tapi, spirit dalam membangun
"isi-hidup" dan "arah-hidup" tetaplah sama. Untuk itu,
laju perkembangan teknologi digital harus dimanfaatkan untuk menguatkan
"isi-hidup" dan "arah-hidup" setiap anak bangsa. Harus
ada kerja keras dan kerja cerdas, karena tidak bisa hanya dilalui dengan
tumpukan administrasi saja. Taruhannya sangat besar: masa depan peradaban
bangsa.
Dalam konteks kebinekaan,
guru menjadi salah satu yang terdepan dalam kesuksesan pendidikan karakter
anak dalam memahami dan mempraktikkan kebinekaan. Guru dituntut mampu
mengolah situasi agar siswa memiliki kemampuan berpikir kritis dan analitis
(critical thinking), kreatif dan inovatif (creativity), kolaboratif
(collaboration), serta komunikatif (communication). Untuk itu pembelajaran
tidak hanya mengandalkan kelas.
Dalam problem kebinekaan,
guru harus bisa mengajak siswa lebih aktif, memecahkan masalah, bekerja dalam
tim, saling menghormati dan menghargai, dan tentu konten utamanya adalah
nilai-nilai Pancasila. Di sini, seorang guru harus melekat dengan anak
didiknya.
Dengan pemahaman demikian,
guru dan orangtua juga akan berperan besar dalam mengajarkan anak ihwal
kebinekaan. Perangkat teknologi harus diarahkan untuk menguatkan karakter
anak dalam mempraktikkan kehidupan sehari-hari di tengah kebinekaan
Indonesia. Asupan ilmu dan kasih sayang dari orangtua dan guru sangat
bermanfaat bagi masa depan anak, daripada memberikan anak dengan aneka
fasilitas dan harta. ●
|
Artikel kamu bagus gan! aku selalu menunggu artikel kamu.. Seperti artikel berjudul Tafsir Mimpi tawon
BalasHapus