Prospek
Politik REUNI 212 :
“Don’t
Worry, Be Happy!"
Denny JA ; Pendiri Lingkaran
Survei Indonesia
|
REPUBLIKA,
06 Desember
2017
Jika perspektif demokrasi yang digunakan,
bagaimana kita menilai gerakan sosial REUNI 212 dan prospek politiknya di
Indonesia masa kini? Bahayakah gerakan ini? Akankah ia membesar dan
menggulung yang menentangnya? Akankah Indonesia kembali ke Piagam Jakarta?
Untuk menilai secara adil, kita pisahkan
dulu REUNI 212 sebagai sebuah gerakan sosial atau forum civil society. Dan REUNI 211 sebagai
perjuangan ideologis atau cita cita sosial.
Sebagai sebuah gerakan social dan forum
civil society, REUNI 212 dan gerakan 212 setahun sebelumnya, bisa disebut
sebagai puncak pencapaian civil society di indonesia. Tentu penilaian ini
belum mengevaluasi ideologi yang diperjuangkannya.
Sebagai gerakan sosial, sebagai forum civil
society, sejak reformasi 1998 bahkan sejak 1945, Indonesia tak pernah
mengalami sebuah event sekualitas itu. Begitu besar jumlah massanya. Mungkin
terbesar dalam sejarah Indonesia.
Begitu tinggi voluntarism, kegotong
royongan yang terjadi. Sangat terasa passion dan gairah mereka yang hadir.
Sangat tertib pula event itu. Dalam jumlah massa sedemikian besar, Monas dan
jalan raya seputarnya, rumput di taman, tetap tertata rapih dan bersih ketika
acara selesai.
Efek psikologis mereka yang hadir juga luar
biasa. Tak jarang dalam pertemuan raksasa itu, banyak yang meneteskan air
mata merasakan kebersamaan yang hadir. Sangat sulit membuat event sebesar
itu, sekualitas itu dan setertib itu.
Hanya dari sisi forum civil socity, REUNI
212 dan gerakan 212 setahun sebelumnya akan dicatat sejarah dengan tinta
emas.
Kedua
dari sisi ideologisnya. Organisasi dan forum juga dinilai dari gagasan yang
diperjuangkannya, cita cita sosial yang merekatkan mereka. Mulai terdengar
REUNI 212 memperjuangkan sebuah gagasan bersama. Platform besarnya ternyata
memperjuangankan NKRI bersyariat.
Bagaimana perspektif demokrasi menilai cita
cita sosial NKRI bersyariat? Bagaimana prospek politik NKRI bersyariat?
Mungkinkah ideologi ini membesar dan menjadi mainstream? Apa efek gagasan ini
bagi politik Indonesia makro?
Demokrasi di zaman now sudah sampai pada
kesadaran itu. Adalah hak asasi setiap manusia untuk memiliki cita cita
sosial. Seseorang tak boleh dipenjara hanya karena keyakinannya, mimpinya,
gagasannya, sejauh tidak diperjuangkan dengan kekerasan.
Peradaban sudah cukup panjang yang akhirnya
melahirkan kesadaran hak asasi itu. Pernah terjadi suatu era ketika manusia
bermimpi kulit hitam menikah dengan kulit putih, dan melaksanakannya, lalu
masuk penjara. Ternyata mimpi ini sekarang terwujud. Kisah ini secara bagus
direkam dalam film berdasarkan true
story: Loving (2017).
Sejarah sudah menunjukkan salahnya negara
yang melarang sebuah mimpi, fantasi, cita cita sosial, walau di era itu
terasa tak masuk akal.
Demokrasi modern bersandar pada prinsip
yang dikatakan Voltaire: saya tak setuju dengan pendapat tuan. Namun hak tuan
menyatakan pendapat itu akan saya bela sampai mati.
Tentu saja semua pihak bebas tak setuju
atau menentang gagasan NKRI bersyariat itu. Namun hak warga untuk meyakini
cita cita sosialnya, dijamin konstitusi UUD 45, dan Piagam Hak Asasi Dunia.
Dalam prinsip demokrasi, tak ada masalah
jika ada sekelompok masyarakat merindukan atau meyakini perlunya NKRI bersyariat. Sebagaimana tak ada
masalah jika ada komunitas yang sangat menentangnya.
Pertanyaan selanjutnya, akankah Indonesia
berubah menjadi NKRI bersyariat? Kitapun berbicara sosial realitas politik.
Seberapa kuat daya tarik gagasan itu di publik luas? Mungkinkah gagasan itu
mampu mengamandemen UUD 45?
Survei lembaga yang kredibel menjadi
standard untuk menilai opini publik seluruh populasi Indonesia. Hasilnya, 75
persen lebih rakyat, termasuk mayoritas umat Islam Indonesia sudah puas
dengan Pancasila yang melindungi keberagaman. Daya tarik NKRI bersyariat hanya di kalangan kurang dari 10
persen populasi saja.
Mengapa demikian? Itulah prilaku politik
muslim Indonesia hasil pergulatan sejarah sejak era perjuangan sebelum
kemerdekaan. Pemilu bebas sejak reformasi cukup menjadi ukuran. Mayoritas
Muslim Indonesia senang dengan kesolehan agama. Tapi soal politik praktis
mereka lebih senang Pancasila dan partai terbuka/nasional.
Suka tak suka, itu fakta sejarah.
Partai yang jelas jelas memperjuangkan
syariat Islam selalu menjadi partai kecil atau gurem. Juara pemilu selalu
partai nasional atau yang berazaskan Pancasila.
Apalagi hasil pemilu 2014. Bahkan 4 partai
terbesar: PDIP, Golkar, Gerindra, dan Demokrat bukanlah partai yang
memperjuangkan NKRI bersyariat. Empat partai itu bahkan menentangnya.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang terbesar berikutnya, yang banyak
komunitas NU, juga tidak memperjuangkan NKRI Bersyariat.
Apa arti data di atas? Artinya gagasan NKRI
Bersyariat itu memang hidup, tapi hanya dalam komunitas kecil saja. Ia bisa
nyaring sebagai wacana publik, namun sangat jauh untuk bisa menjadi
mainstream, apalagi mengubah arah UUD 45.
Tak ada yang perlu dikwatirkan dengan
gagasan NKRI bersyariat karena dari daya tarik publiknya terbatas saja.
Jika NKRI Bersyariat tak akan membesar, apa
fungsi REUNI 212 dan gagasan yang diembannya? Fungsi positif REUNI 212, ia
bisa menghidupkan isu keadilan sosial ekonomi terutama yang dialami mayoritas
umat Islam.
Kehadiran gerakan ini akan membuat
pengambil kebijakan waspasa isu keadilan sosial ekonomi-politik. Penguasa
terdesak membuat kebijakan yang semakin peduli pada kelompok besar warga yang
tertinggal.
Yang penting para elit dan pendukung REUNI
212 selalu juga menjaga stamina untuk tidak melakukan kekerasan dan
pelanggaran hukum.
Dari perspektif demokrasi, REUNI 212 bisa
kita pahami dan dudukkan secara proporsional dan rileks saja. Mencermati
gerakan REUNI 212, dapat dilakukan seperti lirik lagu Bobby McFerrin: “Don’t Worry, Be Happy”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar