Moratorium
UN Layu sebelum Berkembang
Junaidi Abdul Munif ; Direktur
el-Wahid Center, Semarang
|
MEDIA INDONESIA,
19 Desember 2016
HAMPIR setiap tahun wacana penghapusan ujian
nasional (UN) selalu mengemuka. Pergantian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
dalam setiap kabinet tidak alpa merespons perlu tidaknya UN dilaksanakan
sebagai sistem evaluasi nasional. Sistem evaluasi pendidikan di Indonesia
mengenal model tes dalam periode tertentu. Sebelum UN, kita mengenal ebtanas
(evaluasi belajar tahap akhir nasional), dengan NEM (nilai ebtanas murni)
yang berguna untuk melanjutkan ke jenjang sekolah selanjutnya.
UN yang sudah berlangsung selama 13 tahun
dianggap belum berhasil meningkatkan kualitas anak didik. Indikatornya,
peringkat Indonesia dalam PISA maupun TIMMS belum menggembirakan.
Singapura berada di peringkat pertama PISA
2015, Indonesia peringkat ke-64, naik 6 peringkat dari 2012 (Kompas, 15/12).
Pelaksanaan UN telah menjadikan 'horor'
tersendiri bagi siswa dan sekolah.
Distribusi soal UN yang sampai dikawal militer
menunjukkan besarnya misi yang diemban UN.
Setiap pelaksanaan UN juga dipenuhi fakta
miris terkait kecurangan; bocornya soal, siswa membeli kunci jawaban, dan
menyontek.
Kecurangan tersebut pernah diantisipasi dengan
adanya Tim Pemantau Independen (TPI) UN ke sekolah-sekolah.
Namun, program ini sepertinya belum bisa
membuahkan hasil yang maksimal.
Pada 2009 MA mengeluarkan putusan UN harus
dihapuskan karena dianggap lalai dalam meningkatkan kualitas guru,
sarana-prasarana, dan perlindungan HAM bagi anak yang tidak lulus UN.
Tujuh tahun berjalan putusan MA belum
dieksekusi pemerintah.
Tahun ini Mendikbud Muhadjir Effendy
melontarkan wacana moratorium UN.
Sebetulnya ada tiga opsi yang ditawarkan
menteri, yaitu 1) penghapusan UN, 2) moratorium UN 2017, dan 3) menyerahkan
pelaksanaan UN ke pemerintah daerah.
Fungsi UN untuk pemetaan mutu pendidikan
menunjukkan baru 30% sekolah yang memenuhi standar nasional (Kompas, 13/12).
Namun, sebelum publik benar-benar tahu bagaimana
moratorium UN dan mekanismenya, pemerintah 'bergerak cepat' dengan menggelar
rapat kabinet dan hasilnya UN jalan terus karena dianggap masih diperlukan.
Pemerintah berjanji mengevaluasi pelaksanaan
UN.
Persoalan penting terkait UN ialah apakah hasil
UN benar-benar mencerminkan kualitas anak didik?
Dengan sistem pengisian UN pilihan ganda,
dapatkah itu menjadi gambaran nuansa ilmu pengetahuan yang dimiliki siswa?
Pertanyaan tersebut akan terus membayangi
narasi pendidikan di Indonesia.
Ada yang patut disesalkan dari keputusan
pemerintah tersebut.
Namun, Mendikbud juga tampaknya perlu lebih
berhati-hati karena usulan moratorium UN ini dilontarkan pada tahun pelajaran
berjalan, artinya tidak ada waktu yang cukup untuk mengkaji moratorium.
Kalau moratorium dilakukan pada 2018 atau
2019, mungkin ada cukup waktu untuk beradu argumen dengan presiden dan
wapres, serta menyusun mekanisme moratorium UN yang kredibel.
Alasan bahwa dengan adanya UN siswa akan
menjadi lebih giat belajar juga merupakan kondisi semu karena giatnya siswa
belajar bukan didorong atensi terhadap pelajaran dan keilmuan itu sendiri.
Dengan demikian, mudah ditemui buku-buku
kumpulan soal UN menjadi tumpukan berselimut debu karena 'masa pakai' sudah
selesai.
Guru, aktor evaluator
Sebagai alat evaluasi, UN memang 'memudahkan'
karena indikator kemampuan siswa didasarkan pada nilai yang didapat.
Meskipun pemerintah berkali-kali menjelaskan
penentuan kelulusan tidak ditentukan UN, masyarakat telanjur menganggap UN
merupakan penentuan kelulusan utama.
Kenyataannya banyak sekolah menjadikan nilai
UN sebagai target/sasaran mutu.
Hal ini dilakukan menyangkut promosi sekolah
pada masyarakat.
Ketika di sekolah tertentu banyak siswa yang
tidak lulus UN, animo masyarakat untuk menyekolahkan anaknya akan menurun.
Sekolah-sekolah swasta 'semenjana' banyak
mendapatkan imbas dari situasi ini.
Kekurangan UN ialah mengujikan mata pelajaran
tertentu sehingga berakibat adanya diskriminasi mata pelajaran.
Semestinya paradigma ini dapat diubah
mengingat pada zaman ini posisi pengetahuan sebetulnya berposisi setara.
Prinsip menghargai keunikan dan potensi anak
didik akan terabaikan.
Pendidikan di sekolah justru tidak memberikan
kebebasan anak didik untuk menemukan dan mengeksplorasi bakat dan minatnya.
Padahal kita kini hidup di zaman ketika
kreativitas menjadi tumpuan utama untuk sukses dalam kehidupan.
UN sebagai ajang pemetaan mutu pendidikan
tampaknya juga belum berhasil memetakan kondisi pendidikan di Indonesia.
Apakah ketika hasil di UN di sekolah atau
wilayah tertentu rendah, kemudian pemerintah memberikan perhatian dan alokasi
anggaran untuk meningkatkan mutu? Sentralisasi pendidikan di Pulau Jawa
menyebabkan kualitas sekolah didominasi sekolah-sekolah di Jawa.
Banyak pengamat dan praktisi pendidikan
meyakini peningkatan kualitas guru dapat menjadi aktor evaluator bagi peserta
didik ketika UN nantinya benar-benar siap dihapuskan.
Guru diharapkan dapat melakukan evaluasi hasil
pembelajaran secara profesional dan akuntabel, disertai integritas moral yang
baik.
Anggaran UN dapat dialihkan pada program
pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru.
Di sisi lain, kita mengalami masalah
fundamental terkait distribusi guru yang belum merata antara wilayah di Jawa
dan luar Jawa, terutama di Indonesia Timur.
Padahal secara nasional jumlah guru justru
berlebih (Kompas, 25/11).
Masalah ini juga menuntut untuk segera
dirampungkan sambil terus menggenjot upaya peningkatan mutu guru.
Mutu pendidikan
Kalau UN dilaksanakan untuk meningkatkan mutu
pendidikan, bagaimana itu berjalan?
Peningkatan mutu pendidikan sebetulnya tidak
dapat diraih hanya mengandalkan peran pemerintah yang diimplementasikan dalam
kebijakan maupun infrastruktur di sekolah.
Menjadikan UN sebagai pemetaan mutu pendidikan
di sebuah sekolah atau wilayah juga menyimpan problema tersendiri.
Indikator-indikator yang terukur perlu
dilakukan, dengan melihat standar kompetensi lulusan, isi, proses pendidikan,
pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan
pembiayaan, dan penilaian.
Mutu pendidikan dapat dilihat dari lima aspek,
yaitu ketepercayaan, keterjaminan, penampilan (iklim sekolah), empati (kepada
peserta didik), ketanggapan (Mulyasa, 2012).
Dari sini jelas mutu yang dimiliki sekolah
bersinggungan dengan sesuatu yang ada di luar sekolah. Keterlibatan
masyarakat juga sangat penting untuk menunjang mutu pendidikan.
Logika ekonomi awalnya memang menjadi
landasannya, yaitu sekolah dengan murid yang banyak, apalagi terintegrasi
dengan model boarding school, akan bermunculan tempat foto kopi, warnet,
lembaga bimbel, toko yang menjual ATK, dan lain-lain. Semua itu turut
mendukung bagaimana moda belajar akan dilakukan siswa.
Meningkatkan mutu pendidikan sesungguhnya
memerlukan pembangunan sarana belajar dan prasarana yang mendukung. Misalnya
sekolah dengan fasilitas belajar yang baik akan kurang maksimal kalau
prasarana, seperti akses menuju sekolah juga tidak diperbaiki. Dengan
demikian, perlu anggaran sangat besar untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Namun, yang paling utama ialah peningkatan
kemampuan pedagogis guru. Kreativitas guru akan membuatnya memiliki jalan
keluar di tengah keterbatasan fasilitas. Apa artinya fasilitas belajar kelas
satu, tapi tidak didukung kemampuan guru yang baik?
Di tengah kontroversi yang terus mengemuka,
pemerintah perlu melakukan langkah-langkah revolusioner untuk mengelola
pendidikan Indonesia. Format baru evaluasi mutu pendidikan tanpa UN mesti
dirumuskan dengan kajian yang mendalam dan holistis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar