Di
Ujung Tahun
Trias Kuncahyono ; Wartawan
Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 18 Desember
2016
Berada di ujung tahun laksana berdiri di
puncak bukit. Dari atas bukit terbentang cakrawala yang begitu lebar. Dari
puncak bukit, mata diberi kesempatan untuk leluasa memandang seluruh
pemandangan di bawahnya, ke seluruh penjuru. Itulah sebabnya, dengan alasan
strategi keamanan, banyak kota didirikan di puncak bukit: Jerusalem.
Jerusalem berdiri di atas Bukit Yudea; kota kuno Byzantium berdiri di atas Bukit
Pertama, di sana berdiri megah pula Hagia Sophia, Masjid Sultan Ahmed (Masjid
Biru), dan Istana Topkapi.
Di atas bukit, suasana tenang. Jauh dari
nafsu-nafsu dunia. Jauh dari ketidakamanan. Jauh dari ketakutan. Jauh dari
teror yang terus mengintai dan mencekam kehidupan. Langit biru di atasnya
terasa begitu dekat, memberikan kedamaian. Itu sebabnya, banyak pertapaan
didirikan di atas bukit.
Dari puncak bukit, semua yang ada di bawah
kelihatan: lembah dan ngarai subur dan gersang, lereng-lereng bukit yang
masih berhutan lebat dan gundul karena semua pohon di hutan dibabati atas
nama keserakahan. Dari atas bukit terlihat jelas hamparan persawahan yang
suatu ketika hijau membentang, lalu di masa yang lain menguning padinya. Di
atas bukit, sungai yang mengular begitu tampak indah, meliuk-liukkan badan
mencari jalan.
Berada di ujung tahun seperti berdiri di
puncak bukit. Semua langkah dan jejak, seluruh peristiwa yang terjadi sejak
awal tahun hingga akhir, terlihat jelas. Berbagai peristiwa duka dan derita,
tangis dan tawa, tragedi dan humor, benci dan cinta, persaudaraan dan
permusuhan, toleransi dan intoleransi, curiga dan percaya, perang dan damai,
semua masih tampak nyata.
Kalaupun ada peristiwa yang menggembirakan,
tetapi tangis, derita, tragedi, kebencian, permusuhan, dan intoleransi lebih
mendominasi peristiwa sepanjang 2016. Hingga Juli lalu (USA Today), serangan
bom di seluruh dunia telah menewaskan 1.763 orang. Sumber lain, sejak Januari
hingga 11 Desember, telah terjadi 1.690 serangan teror yang menewaskan 15.320
orang! Pada 10 Desember lalu, serangan teror bom di Istanbul (Turki)
menewaskan 44 orang, di Aden (Aman) menewaskan 50 orang, juga di Peshawar dan
Mogadishu. Hari berikutnya, 11 Desember, terjadi enam serangan teror:
Kismayo, Somalia (4 tewas), Damaskus (5 tewas), Al-Fallujah (8 tewas),
Maidugari (3 tewas), Kairo (25 tewas), dan Mogadishu (29 orang tewas).
Terorisme tetap menjadi persoalan global.
Kelompok-kelompok seperti Al-Shabab (di Mogadishu), NIIS (tidak hanya di
Suriah dan Irak, tetapi menembus batas banyak negara), Boko Haram (di
Nigeria), dan kelompok-kelompok kecil yang mengklaim bagian NIIS melancarkan
aksi mematikan di mana-mana. Dunia mengalami mimpi buruk. Serangan teroris
nyaris terjadi saban hari, termasuk terjadi di Brussels (Maret) yang
menewaskan 35 orang dan melukai 340 orang dan di Nice, Perancis (Juli, 86
tewas, 434 terluka). Bulan Juni, bom meledak di Orlando (5 tewas). Juli, bom
bunuh diri di Baghdad menewaskan 292 orang! Masih banyak lagi.
Mengapa persaudaraan, toleransi, damai, dan
saling percaya tidak mampu mengalahkan permusuhan, intoleransi, tangis,
perang, dan kecurigaan? Di Jerusalem, Masjid Umar Ibn al-Khattab dan Gereja
Makam Suci berdiri berdampingan, damai, bersaudara menembus zaman,
menyebarkan kedamaian. Di Bethlehem, Basilika Kelahiran Yesus berdiri
berhadap-hadapan dengan Masjid Umar Ibn al-Khattab, saling menghormati dalam
kedamaian, persaudaraan bertahun-tahun. Di Jakarta, Masjid Istiqlal dan
Gereja Katedral St Maria Diangkat ke Surga hidup bersaudara dalam damai dari
waktu ke waktu. Masih banyak yang lain, yang memberikan contoh-contoh tentang
keluhuran peradaban manusia.
Namun, mengapa manusia hanya mampu
membangun tempat-tempat yang menunjukkan tingginya peradaban, tingginya
nilai-nilai kemanusiaan, tingginya persaudaraan, tetapi masih kurang mampu
mewujudkan dalam hidup keseharian, tidak tecermin dalam kehidupan nyata?
Seakan-akan kekerasan selalu mengiringi peristiwa-peristiwa kehidupan, sosial
ataupun politik, di mana-mana, termasuk di Indonesia. Fenomena semacam ini
oleh Hannah Arendt, seorang filsuf politik, disebut sebagai banalisasi
kejahatan (tindakan kejahatan menjadi biasa).
Bagaimana tindakan kejahatan-termasuk
membunuh, menyebarkan kebencian, tidak toleran, menindas yang kecil, serta
berlaku sewenang-wenang-bisa dilakukan orang-orang tanpa ada perasaan
bersalah? Apakah hal itu, terutama di negeri ini, karena adanya impunity,
tiadanya sanksi hukum? Impunitas menyelubungi nurani dan perasaan bersalah.
Impunitas mengabaikan dimensi sosial kejahatan: menciptakan suasana tiadanya
perlindungan terhadap korban-korban potensial dan mendorong pelaku-pelaku
potensial mewujudkan maksud jahat tanpa dibayangi sanksi hukum (Haryatmoko:
2003).
Apakah perdamaian dan kedamaian sungguh
telah hilang? Kota-kota besar dunia, termasuk Jakarta, menjelang Natal dan di
akhir tahun waspada terhadap segala kemungkinan. Karena nafsu angkara masih
tetap melayang-layang di angkasa, tidak menginginkan dunia ini damai. Meski
demikian, masih tersisa-walaupun kecil-harapan bahwa perdamaian,
persaudaraan, toleransi, saling menghormati dan mengasihi, ada di banyak hati
para pemimpin negara, pemimpin dunia.
Lihatlah yang terjadi di Iran. Zuhairi
Misrawi dalam surat pendeknya dari Teheran, Iran, menulis, "Di Teheran,
suasana Natal terlihat di hotel-hotel. Di tempat itu dipasangi pohon natal.
Negara yang mayoritas penduduknya Muslim ini ikut menyemarakkan suasana
Natal. Ayatollah Ali Khamenei, sebagai pemimpin tertinggi Iran, setiap tahun
mengucapkan selamat Natal kepada warga Kristiani di seantero Iran. Umat Islam
di Iran memandang warga Kristiani sebagai saudara yang telah menjadi bagian
dari kemajuan Iran."
Dan, pada akhirnya, di ujung tahun ini,
dari puncak bukit terdengar nyanyian merdu: "et in terra pax hominibus
bonae voluntatis", dan damai di bumi kepada orang yang berkenan
kepada-Nya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar