Politisasi Upah Minimum
Edy Priyono ; Peneliti di Pusat Kajian Kebijakan Publik
Akademika; Dosen FEB UI
|
KOMPAS,
08 September 2015
Para praktisi dan pemerhati masalah ketenagakerjaan di Indonesia
sudah paham betul rutinitas yang terjadi setiap menjelang akhir tahun, yaitu
ribut-ribut soal upah minimum. Di satu sisi, buruh/pekerja menuntut kenaikan
upah minimum secara signifikan. Tuntutan tersebut tak jarang disertai ancaman
dan tindakan anarkistis meski itu tidak terjadi di semua daerah.
Di sisi lain, muncul keluhan dari pengusaha yang keberatan
dengan kenaikan upah minimum secara tidak proporsional. Keluhan tersebut tak
jarang disertai dengan ancaman pemindahan lokasi usaha (relokasi) atau
pemutusan hubungan kerja (PHK), baik dari mereka yang merasa upah minimum
terlalu tinggi maupun yang merasa terancam tindakan anarkistis oleh sebagian
buruh.
Selain itu, ada pemerintah daerah (provinsi dan kabupatan/kota)
yang selalu terlihat kewalahan saat mencoba berdiri di antara kedua belah
pihak tersebut. Di mata pengusaha, pemerintah dianggap terlalu berpihak
kepada buruh dan mengabaikan iklim usaha kondusif yang sangat diperlukan oleh
para pengusaha. Sebaliknya, di mata pekerja, pemerintah dianggap terlalu
memberi angin kepada pengusaha untuk menekan upah buruh.
Semua pihak akhirnya merasa tidak nyaman. Pengusaha, di satu
pihak, merasa tidak tenang menjalankan usahanya. Selain itu, ketidakpastian
terkait upah minimum yang terjadi setiap tahun menyebabkan mereka sulit
menyusun rencana bisnis dengan baik. Buruh/pekerja, di pihak lain, pun tidak
senang dan mulai lelah terhadap situasi ini. Mereka merasa dipaksa untuk
terus ”berkelahi” demi mendapatkan upah yang layak, yang menurut mereka sudah
menjadi haknya.
Kondisi tersebut mestinya menyadarkan pemerintah dan kita semua
bahwa ada yang salah dengan kebijakan upah minimum. Jika tidak dilakukan
perbaikan, dikhawatirkan masalah ini akan terus membesar dan pada gilirannya
akan merugikan semua pihak, termasuk masyarakat yang tidak ada hubungan
langsung dengan persoalan tersebut.
Mekanisme
Awalnya, penetapan upah minimum dilakukan oleh pemerintah
(pusat) melalui Kementerian/Departemen Tenaga Kerja. Sejak kebijakan otonomi
daerah diterapkan, penetapan upah minimum dilakukan oleh gubernur berdasarkan
usulan dari bupati/wali kota (untuk daerah masing-masing). Secara geografis,
gubernur dapat menetapkan upah minimum provinsi (UMP) yang berlaku untuk
semua wilayah provinsi bersangkutan atau upah minimum kabupaten/kota (UMK)
untuk setiap kabupaten/kota yang ada di provinsi tersebut.
Bupati/wali kota sendiri mengajukan usulan besaran UMK
berdasarkan rekomendasi dewan pengupahan di daerah masing-masing. Dewan
pengupahan sendiri terdiri dari perwakilan pengusaha, pekerja, dan
pemerintah. Mereka melakukan survei kebutuhan hidup layak (KHL) secara
bersama, yang hasilnya digunakan sebagai dasar utama rekomendasi besaran upah
minimum untuk disampaikan kepada bupati/wali kota.
Di tingkat provinsi juga ada dewan pengupahan. Jika pemerintah
provinsi bersangkutan ingin menetapkan UMP, dewan pengupahan provinsi juga
dapat mengajukan rekomendasi berdasarkan survei KHL yang mereka lakukan. Jika
pemerintah provinsi memilih untuk tidak menetapkan UMP, maka dewan pengupahan
provinsi hanya bertugas memeriksa dan meneruskan usulan besaran UMK yang
berasal dari semua bupati/wali kota di wilayah tersebut.
Perlu dicatat, menurut ketentuan, besaran UMP tidak boleh lebih
rendah daripada UMK terendah di provinsi bersangkutan. Oleh karena itu, tidak
sedikit provinsi yang menetapkan UMP tanpa didasari oleh survei KHL, tetapi
sekadar mengambil angka UMK terendah di wilayahnya. Sebagian provinsi lain
bahkan memilih untuk tidak menetapkan UMP, terutama jika semua kabupaten/kota
di wilayah tersebut sudah memiliki UMK.
Politisasi
Jika mekanisme di atas berjalan sebagaimana mestinya, tentu
tidak ada masalah. Perdebatan dan negosiasi dapat dilokalisasi di dewan
pengupahan. Perbedaan kepentingan antara pekerja dan pengusaha (yang akan
selalu terjadi) juga tidak menjadi masalah karena ada unsur pemerintah yang
akan bertindak sebagai penengah.
Masalahnya, yang terjadi di lapangan banyak yang tidak seperti
itu. Memang ada daerah-daerah yang penetapan upah minimumnya berjalan mulus
tanpa gejolak. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang berjalan ”panas” dan
diwarnai konflik.
Ada celah yang terdapat dalam mekanisme penetapan upah minimum
itu sendiri. Pertama, keputusan tentang angka upah minimum yang diambil dalam
dewan pengupahan sifatnya hanya merupakan rekomendasi bagi bupati/wali kota.
Bupati/wali kota dapat memakai angka yang direkomendasikan dan bisa juga
tidak.
Oleh pengusaha dan pekerja, hal itu dimanfaatkan untuk melakukan
lobi-lobi atau tekanan (dari luar Dewan Pengupahan) kepada bupati/wali kota.
Akibatnya, legitimasi dewan pengupahan kabupaten/kota merosot karena semua
pihak tahu bahwa akhirnya bupati/wali kota yang menentukan usulan UMK untuk
disampaikan kepada gubernur. Tidak mengherankan jika ada serikat pekerja yang
secara sengaja tidak mau masuk dalam struktur dewan pengupahan karena mereka
yakin bahwa dengan berada di luar, perjuangan mereka akan lebih efektif.
Di sisi lain, hal kedua, situasi tersebut juga tak jarang
dimanfaatkan bupati/wali kota. Dalam beberapa kasus, upah minimum dijadikan
alat untuk menarik dukungan massa buruh dalam pelaksanaan pemilihan kepala
daerah (pilkada). Bahkan, beberapa bupati/wali kota sudah punya gambaran
angka yang akan diajukan kepada gubernurjauh sebelum mereka benar-benar
menjadi kepala daerah.
Angka tersebut bahkan menjadi bagian dari janji-janji saat
kampanye.Tim sukses kandidat tersebut tampaknya sadar bahwa buruh/pekerja
merupakan kelompok pemilih potensial yang dapat menentukan menang-kalahnya
seorang calon kepala daerah.
Beberapa bupati/wali kota juga ”saling intip” agar nilai UMK
daerahnya tidak lebih rendah—atau setidaknya tidak berbeda jauh—dibandingkan
dengan daerah lain yang berdekatan. Semua itu dilakukan agar citra kepala
daerah bagus di mata pemilihnya.
Masalah lain terdapat dalam pelaksanaan survei kebutuhan hidup
layak yang menjadi dasar utama penetapan upah minimum. Pemerintah memang
sudah menetapkan komoditas apa saja yang menjadi komponen KHL, tetapi tidak
secara tegas mengatur dan mengawasi bagaimana survei dilakukan agar hasilnya
bisa dipercaya.
Akibatnya, KHL yang mestinya bersifat akademis/ilmiah juga tak
lepas dari pengaruh politik. Hal itu dapat dilihat dari variasi nilai KHL.
Secara normatif, karena komponennya sudah ditetapkan, variasi KHL antardaerah
mestinya hanya dipengaruhi oleh perbedaan harga.
Yang terjadi di lapangan tidaklah demikian. Sebagai ilustrasi,
tahun 2014 KHL Kabupaten Sukabumi sebesar Rp 2 juta, berbeda jauh dengan
Kabupaten Cianjur (Rp 1,45 juta), padahal kondisi kedua daerah sangat mirip.
Kenaikan KHL juga kadang-kadang di luar akal sehat, seperti yang terjadi di
Kota Bekasi. KHL Kota Bekasi tahun 2014 naik 29 persen dibandingkan tahun
sebelumnya, padahal pada periode yang sama tingkat inflasi di daerah itu
hanya kurang dari 8 persen.
Hal itu merupakan indikasi kuat bahwa aspek-aspek ”nonteknis”
sudah muncul sejak pelaksanaan survei KHL. Kuat dugaan ada faktor politik
yang ikut menentukan hasil survei KHL sehingga variasi dan pergerakan nilai
KHLtidak lagi mencerminkan variasi dan pergerakan harga komoditas.
Selain itu, ada masalah terkait persepsi terhadap upah minimum
itu sendiri. Per teori, upah minimum sebenarnya tidak terlalu penting karena
hanya berfungsi sebagai jaring pengaman, serta hanya berlaku untuk pekerja
dengan masa kerja di bawah satu tahun. Masalahnya, kelemahan proses negosiasi
di tingkat perusahaan menyebabkan struktur dan skala upah tidak berjalan
sehingga upah minimum menjadi tumpuan kaum buruh dalam mengejar
kesejahteraan.
Para pekerja bermasa kerja lebih dari satu tahun berharap upah
mereka akan ikut naik jika terjadi kenaikan upah minimum. Bahkan tak jarang
upah minimum itulah yang menjadi upah efektif bagi para pekerja. Oleh karena
itu, yang merasa berkepentingan terhadap upah minimum bukan hanya pekerja
baru, melainkan juga semua pekerja, termasuk mereka yang bermasa kerja lebih
lama.
Solusi
Politisasi upah minimum jelas harus dihentikan. Celah yang
membuka lebar peluang politisasi harus ditutup. Jika tidak, masalah penetapan
upah minimum dikhawatirkan akan membesar dan meluas. Implikasinya sudah
jelas, yaitu iklim usaha semakin tidak kondusif, yang hanya akan merugikan
semua pihak.
Pembenahan harus dimulai dengan mendudukkan kembali upah minimum
pada posisinya sebagai jaring pengaman. Hal itu hanya dapat dilakukan jika
pemerintah dapat ”memaksa” perusahaan untuk menerapkan struktur dan skala
upah masing-masing. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah mengharuskan
perusahaan memasukkan klausul tentang struktur dan skala upah ke dalam
perjanjian kerja bersama antara pekerja dan pengusaha.
Jika struktur dan skala upah sudah berjalan, penetapan upah
minimum dapat dikembalikan sepenuhnya kepada pemerintah (pusat). Sekilas ide
ini tidak sejalan dengan kebijakan desentralisasi. Sebenarnya tidak, karena
di banyak negara kebijakan safety net
memang merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Jika besaran upah minimum tetap didasarkan pada KHL, pemerintah
dapat menugasi Badan Pusat Statistik (BPS) untuk melakukan survei KHL di
semua daerah secara obyektif.
Dewan pengupahan akan mengalami perubahan fungsi. Dewan yang
berisi perwakilan dari unsur pemerintah daerah, pekerja, dan pengusaha
tersebut dapat bertugas mengawasi implementasi upah minimum, juga struktur
dan skala upahdi tingkat perusahaan. Di samping itu, dewan pengupahan juga
dapat memantau pelaksanaan survei KHL, bahkan survei ini dapat digabung
pelaksanaannya dengan survei lain yang biasa dilakukan BPS.
Ada hal lain yang perlu dikaji mendalam, yaitu adanya unit usaha
(terutama kalangan UMKM) yang secara obyektif benar-benar tidak mampu
membayar upah minimum. Salah satu opsi kebijakan yang dapat diambil
pemerintah adalah mengalokasikan dana seperti dana bantuan langsung sementara
masyarakat (BLSM) kepada pekerja di unit-unit usaha seperti itu untuk menutup
selisih antara upah minimum dan upah yang diterima. Jika dilakukan, hal itu
tidak hanya membantu pekerja, tetapi juga membantu perkembangan usaha skala
kecil-menengah yang merupakan mayoritas unit usaha di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar