Paradigma ISIS: Anti-Kebudayaan
Muhammad Ja'far ; Pengamat Politik Timur Tengah
|
KORAN
TEMPO, 31 Agustus 2015
Kelompok Islamic State of Iraq and Syam (ISIS)
mengeksekusi mati arkeolog terkemuka timur tengah, Khaled al-Asad. Ilmuwan
ini berdedikasi total dan berjasa penting bagi sejarah arkeologi Timur Tengah
dan Suriah khususnya. Salah satu arkeologi penting rawatan Khaled berada di
Kota Palmyra. Lebih dari 40 tahun Khaled merawat situs sejarah berusia 2.000
tahun itu. Saat kelompok ISIS menduduki kota itu, Khaled tak mau mengungsi
seperti yang lain, karena kecintaannya kepada arkeologi kota itu. Setelah
ditangkap, konon Khaled masih berusaha meyakinkan dan membujuk kelompok ISIS
untuk tidak merusak situs bersejarah itu. Ia mencoba mengubah paradigma ISIS
tentang kebudayaan. Tapi sayangnya, bukan hanya Palmyra yang
diluluh-lantakkan, Khaled juga dibunuh ISIS.
Palmyra bukan yang
pertama. Dalam setahun terakhir, banyak arkeologi dihancurkan ISIS. Nimrud,
yang dibangun pada abad ke-13 SM, situs arkeologi yang kerap disebut sebagai
tempat berawalnya peradaban dunia, menjadi sasaran penghancuran ISIS. Situs
Khorsabad di Provinsi Nineveh, Irak, juga demikian. ISIS juga menghancurkan
artefak unik, patung-patung, kuil, candi, gereja, makam, manuskrip, dan benda
koleksi museum. Kenapa ISIS sangat membenci arkeologi? Apa motif di balik
pemusnahan cagar budaya itu?
Pertama, motif
teologis. ISIS menganggap arkeologi sebagai simbol politeisme, representasi
pengingkaran terhadap tauhid. Semua situs purbakala yang dihancurkan ISIS
merupakan representasi semua mazhab dan agama: Islam Syiah, Islam Sunni,
Kristen, dan sekte-sekte lokal seperti Yazidi. Dalam paradigma ISIS, semua
kelompok keagamaan selain dirinya adalah kafir. Oleh ISIS, situs purbakala
disimbolkan sebagai bentuk kesyirikan. Paradigma Wahabisme kuat dalam gerakan
kelompok ISIS. Teologi model ini menentang keras akulturasi budaya ke dalam
ajaran dan praktek Islam. Mereka sangat anti-kebudayaan. Kebudayaan dianggap
mencemari otentisitas Islam. Tapi, ironisnya, basis logikanya paradoks:
alergi kepada kebudayaan, tapi tak memiliki batas pemisahan yang jelas
tentang Islam dan kebudayaan. Menolak kebudayaan, tapi berdiri di atas klaim
superioritas kebudayaan Arab. Nalar teologi ISIS kontradiktif. Belum lagi
banalitas kekerasan yang dipertontonkan kelompok ISIS: mutlak bertentangan
dengan teologi Islam. Dilihat dari perspektif ini, argumentasi teologis ISIS
tentang penghancuran situs purbakala hanya klaim semata.
Kedua, motif
ideologis. Kebencian ISIS kepada arkeologi bertendensi ideologis. ISIS
menganut ideologi antikebudayaan. Ini strategi ISIS meneguhkan legitimasi
kuasanya. Penghancuran simbol-simbol yang dianggap penting menjadi cara
kelompok ini menegaskan superioritas ideologisnya atas lawan ideologisnya.
ISIS mencoba memainkan politik ideologi simbolis untuk membangun rasio
kuasanya. Jika strategi ini dimaksudkan memperkuat basis kuasanya, yang
terjadi justru sebaliknya: publik global dan muslimin khususnya semakin
negatif persepsinya terhadap ideologi ISIS.
Ketiga, motif ekonomi.
Perusakan arkeologi juga bermotif ekonomi. Setidaknya, ada empat sumber
pendanaan gerakan ISIS: menjual minyak mentah, menebuskan sandera, memeras
pengusaha lokal dengan dalih "zakat", dan menjual arkeologi. Benda
bersejarah dijual ISIS ke penadah dan kolektor di pasar gelap. Sebelum
dieksekusi, Khaled al-Asad dipaksa menunjukkan tempat disembunyikannya harta
karun Palmyra. Tapi upaya itu gagal. Entah harta karun itu hanya fantasi
finansial ISIS atau karena Khaled menolak kemauan ISIS itu. Yang jelas, ini
membuktikan motif ekonomi ISIS di balik argumentasi teologis dan ideologisnya
yang anti-kebudayaan. Beberapa kontradiksi logika yang dijelaskan di atas
juga bisa dilihat dalam perspektif ini.
Keempat, motif
politis. Perusakan situs arkeologi oleh ISIS mirip dengan yang dilakukan
Taliban di Afganistan. Strategi ini biasanya dilakukan untuk menekan dunia
internasional secara politis. Perusakan situs bersejarah selalu menimbulkan
reaksi masif berskala global. Ini dimanfaatkan ISIS untuk menaikkan daya
tawar politik. Strategi ini juga dilakukan untuk memprovokasi politik
internasional. Untuk menaikkan tensi politik global. Selain itu, juga
bermotif populerisasi. Menciptakan kontroversi untuk menarik perhatian
politik global. Tapi, secara substansial, tujuan-tujuan politis tersebut tak
efektif dan tak sepenuhnya dicapai ISIS.
Keempat motif di atas
bermuara pada satu titik: paradigma ISIS adalah anti-kebudayaan. Kelompok ini
tidak memberi ruang sekecil apa pun kepada ranah kultural. Dengan demikian,
seluruh elemen yang berdimensi kultural, baik simbol maupun praktek, akan
mereka hancurkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar