Mengakhiri Drama Pilkada Surabaya
Titi Anggraini ; Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu
dan Demokrasi (Perludem)
|
KORAN
SINDO, 05 September 2015
Setelah mengalami dua kali perpanjangan pendaftaran calon, 30
Agustus 2015 KPU Kota Surabaya mengumumkan hanya ada satu calon yang memenuhi
syarat sebagai peserta Pilkada Surabaya yang sedianya digelar 9 Desember
2015.
Pasangan Rasiyo-Dhimam Abror yang mendaftar sebagai penantang
pasangan petahana Tri Risma Harini-Wisnu Sakti Buana dinyatakan tidak
memenuhi syarat. Artinya, berdasarkan verifikasi, Pilkada Surabaya hanya
memiliki calon tunggal. Berdasarkan Pasal 50 UU Nomor 8/2015 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, KPU Kota Surabaya akan menunda
tahapan pilkada paling lama sepuluh hari dan membuka kembali tahapan
pendaftaran calon selama tiga hari.
Sungguh ironis dan penuh drama. Kota Surabaya, dengan populasi
tiga juta jiwa lebih dan pemilih tidak kurang dari dua juta, partai-partai
politik di sana kesulitan mengusung calon yang memenuhi syarat administrasi
untuk ikut pilkada. Persyaratan yang notabene juga diberlakukan di semua
daerah yang menyelenggarakan pilkada di Indonesia.
Administrasi
vs Subtansi?
Beberapa pihak berpendapat KPU Surabaya berlebihan dalam
menerapkan aturan. Terlalu prosedural, administratif, dan mengesampingkan
substansi. Faktualnya, DPP PAN mengakui bahwa mereka memang mengusung
Rasiyo-Dhimam sehingga tidak ada alasan KPU Surabaya menolak mereka, meski
surat dukungan DPP PAN tidak identik dengan hasil scan yang diserahkan pada
saat pasangan calon itu mendaftar.
KPU Surabaya bergeming. Mereka mengatakan prosedur yang
diterapkan adalah aturan main standar yang juga diberlakukan oleh
penyelenggara pilkada lain. Jika daerah lain bisa melengkapi, maka tak ada
alasan pasangan Rasiyo-Dhiman tidak mampu memenuhi persyaratan kelengkapan
berkas pencalonan. Apalagi mereka sudah mengomunikasikannya kepada paslon.
Dengan demikian, kalau keterangan KPU Surabaya benar adanya, ini
bukan lagi soal terlalu administratif prosedural, tapi juga menyangkut
kesungguhan parpol pengusung dalam mendukung dan menyukseskan calonnya.
Mengusung calon sebagai bagian dari fungsi rekrutmen politik parpol mestinya
diperlakukan sebagai sebuah prosesyangmatang, profesional, dan akuntabel,
dengan tentu saja menerapkan ketaatan pada aturan perundangundangan yang ada.
KPU Surabaya memberlakukan ketentuan administratif yang juga
diterapkan di daerah-daerah lain. Jika Rasiyo-Dhimam ingin diberikan
keistimewaan maka akan diskriminatif bagi daerah dan pasangan calon lain yang
sudah memenuhi segala ketentuan dan prosedur yang ada tanpa kecuali. Namun,
wajar kalau pasangan Rasiyo-Dhimam keberatan atas putusan KPU Surabaya.
Bukankah selalu ada dua sisi mata uang dalam sebuah peristiwa
hukum. Untuk menguji apakah putusan KPU Surabaya dibuat sesuai ketentuan yang
ada atau tidak, Rasiyo-Dhimam bisa menempuh upaya hukum dengan mengajukan
permohonan sengketa pemilihan melalui Panwas Kota Surabaya.
Melalui proses penyelesaian sengketa di Panwas akan diuji apakah
keputusan KPU Surabaya dibuat berlandaskan asas legalitas dan asas-asas umum
pemerintahan yang baik (AUPB) ataukah tidak. Dalam proses penyelesaian
sengketa, Panwas Surabaya harus mampu menggali fakta-fakta secara maksimal
soal aturan hukum yang dirujuk maupun profesionalisme pengambilan
keputusannya.
Penting bagi Panwas untuk tidak terjebak pada opini publik
maupun desakan-desakan agar membuat keputusan yang semata populer dan
menyenangkan para pihak, namun tidak dilandasi argumen hukum maupun
rasionalisasi yang memadai mengapa keputusan tersebut harus dibuat. Panwas
harus berpegangan pada asas dan prinsip sebagai penyelenggara pemilu yang adil,
mandiri, dan bertindak berdasarkan hukum.
Praktek Internasional
Dalam praktek internasional, calon tunggal umumnya terjadi
ketika seorang petahana mencalonkan diri dalam pemilihan. Sering kali
petahana memiliki keunggulan dari segi popularitas, dana, dan angka survei
sehingga mengurungkan niat partai lain untuk merekrut calon (L. Sabato,
2007).
Terdapat pula situasi di mana calon tunggal terjadi karena
lingkungan dan negara yang tidak demokratis berupa intimidasi terhadap lawan,
keberpihakan anggota yudisial yang menggagalkan nominasi calon, penyogokan,
dan lainlain. Dalam kasus negara yang opresif terhadap calon oposisi,
penundaan pemilihan untuk menunggu nominasi dibutuhkan. Solusi yang tepat
dalam menangani calon tunggal bergantung pada alasan mengapa situasi terjadi.
Jika proses nominasi calon tidak terhalangi, dan tidak terdapat
aksi boikot dari masyarakat terhadap proses pemilihan, maka tidak ada alasan
untuk menunda pemilu. Jika tidak terdapat masalah sosial politik yang sedang
dialami negara atau suatu daerah, penundaan pemilihan hanya akan menimbulkan
ketidakjelasan bagi masyarakat dan tidak akan memberikan solusi terhadap
calon tunggal.
Di Amerika Serikat, jika terdapat calon yang mencalonkan diri
tanpa adanya pesaing, pemilihan secara langsung tidak akan dilakukan.
Kandidat yang mencalonkan diri akan menang secara aklamasi, kecuali jika
terdapat peraturan dalam undang-undang yang secara eksplisit mengatakan
pemilihan harus dilaksanakan melalui pemungutan suara (Robert Rules, 2014).
Terjadi di banyak negara, jika terdapat calon tunggal maka calon
akan diangkat untuk menjabat dengan proses aklamasi atau tanpa pemilihan.
Namun, pada akhirnya proses sistem pemilihan umum akan bergantung pada
kenyamanan masyarakat dan kondisi sosial politik.
Saat ini calon tunggal di Indonesia terjadi bukan karena adanya
situasi di mana oposisi dihalang-halangi untuk mencalonkan kandidatnya dalam
pilkada, sehingga perlu dilakukan penundaan pilkada. Yang terjadi adalah
partai politik tidak mengambil ruang untuk mengusung calonnya secara
sungguh-sungguh sesuai prosedur yang ada.
Akhiri Drama
Meski saat ini sengketa pasangan calon Rasiyo-Dhimam tengah
bergulir dalam penyelesaian Panwas, namun drama serupa ala Surabaya harus
segera diakhiri dan tidak boleh terjadi lagi. Drama yang tercipta karena
undang-undang yang mengatur pemilihan tidak mampu menyediakan mekanisme untuk
merespons terjadinya calon tunggal dalam pilkada.
Peraturan KPU yang mengatur penundaan pilkada bagi daerah dengan
calon tunggal membuka ruang bagi parpol untuk bermain tarik-ulur dalam
pencalonan. Ketika berhadapan dengan calon yang kuat dengan elektabilitas
tinggi, maka ada upaya untuk menjegal pencalonannya dengan harapan terjadi
defisit elektabilitas si calon tunggal saat pilkada ditunda.
Saat ini di Mahkamah Konstitusi (MK) sedang disidangkan
permohonan pengujian UU Pilkada berkaitan dengan konstitusionalitas calon
tunggal yang diajukan oleh calon wakil wali kota Surabaya Wisnu Sakti Buana
dan ahli komunikasi politik Effendi Ghazali. Maka, untuk mengakhiri segala
drama calon tunggal ini, menjadi sangat strategis bagi MK untuk mempercepat
dan segera mengeluarkan putusan.
Ini demi kepastian hukum bagi pemilih maupun calon tunggal agar
tidak lebih lama tersandera dengan situasi politik yang penuh kisruh dan
kesimpangsiuran. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar