Diskriminasi Perempuan dan Kemiskinan
Sri Mulyani Indrawati ; Chief Operating Officer dan Direktur
Eksekutif Bank Dunia
|
KOMPAS,
10 September 2015
Ada 100 negara di
seluruh dunia yang melarang perempuan mengerjakan suatu pekerjaan hanya karena
mereka perempuan. Di lebih dari 150 negara, setidaknya ada satu aturan yang
bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Kenyataannya, hanya 18 negara di
dunia yang bebas sama sekali dari aturan hukum yang merugikan perempuan.
Ini hanya puncak
gunung es dari hambatan-hambatan yang menghalangi perempuan meraih potensi
ekonominya secara maksimal. Laporan riset World Bank Group di Women, Business
and the Law 2016 menunjukkan bahwa, di 32 negara, perempuan tidak bisa
mengajukan paspor dengan cara yang sama dengan laki-laki dan, di 18 negara,
mereka tak bisa mendapatkan pekerjaan jika suami tidak mengizinkan. Jordania
dan Iran adalah di antaranya.
Di 59 negara, tidak
ada aturan yang melarang pelecehan seksual di tempat kerja. Myanmar,
Uzbekistan, dan Armenia termasuk dari 46 negara yang tidak memiliki
perlindungan hukum terhadap kekerasan rumah tangga. Pendeknya, riset ini
menyedihkan para pembacanya jika Anda peduli pada sikap inklusif dan upaya
mengakhiri kemiskinan.
Kesimpulannya, negara
yang memiliki aturan yang mendiskriminasi perempuan dan tidak berupaya
menyetarakan jender akan menderita secara ekonomi. Riset-riset sebelumnya
mengatakan, ketimpangan jender pada kewirausahaan perempuan dan partisipasi
tenaga kerja berujung pada penurunan tingkat pendapatan 27 persen di Timur
Tengah dan Afrika Utara, 19 persen di Asia Selatan, 14 persen di Amerika
Latin dan Karibia, dan 10 persen di Eropa. Penurunan pendapatan seperti ini
akan sangat merugikan negara, terutama mereka yang menghadapi tingginya
tingkat kemiskinan.
Perlindungan meningkat
Namun, masih ada
berita baik. Pada era 1990-an, hanya sedikit negara yang punya aturan hukum
melindungi perempuan dari kekerasan. Kini, jumlahnya mencapai 127 negara,
sebagian karena dunia lebih sadar akan biaya ekonomi dan manusiawi yang harus
ditanggung akibat salah memperlakukan perempuan.
Ketika perempuan
diizinkan bekerja di profesi yang mereka inginkan, ketika mereka memiliki
akses terhadap jasa keuangan, dan ketika mereka dilindungi oleh hukum dari
kekerasan rumah tangga, mereka bukan saja lebih berdaya secara ekonomi,
melainkan juga berumur panjang.
Semakin banyak
perempuan punya kendali terhadap pendapatan rumah tangga, semakin besar
partisipasi mereka dalam aktivitas ekonomi, semakin banyak perempuan masuk
sekolah menengah, semakin besar pula keuntungan untuk anak-anak mereka,
masyarakat, dan negara.
Untuk meraih
kesetaraan bagi perempuan dan mempersenjatai mereka melawan kemiskinan,
berbagai aturan hukum yang membedakan perempuan dan laki-laki perlu direvisi.
Meski banyak kemajuan selama dua dekade terakhir, masih banyak negara di mana
perempuan tidak mendapat perlindungan hukum yang sama dengan laki-laki.
Padahal, setiap tahun, tambahan bagi seorang anak perempuan tetap duduk di
bangku sekolah dasar akan meningkatkan pendapatannya 10-20 persen dan satu
tahun tambahan di bangku sekolah menengah akan meningkatkan pendapatannya
15-25 persen.
Mereka yang tidak
sependapat akan mengatakan bahwa di negara-negara yang memiliki aturan
spesifik tentang jender, penerapannya masih terbatas. Meskipun hal itu benar,
penegakan hukum yang baik akan berkorelasi dengan hadirnya lebih banyak
aturan hukum yang lebih setara. Pengadilan-pengadilan khusus yang menangani
kasus kekerasan terhadap perempuan bisa membantu penanganan hukum yang
efektif.
Kawasan Asia Timur dan
Pasifik telah membuat kemajuan yang signifikan terhadap upaya menyetarakan
perempuan dan laki-laki selama dua tahun terakhir. Hongkong, Tiongkok, Laos
dan Singapura telah memperkenalkan cuti kelahiran anak untuk ayah, sementara
Taiwan memperpanjangnya. Tonga baru-baru ini menegakkan aturan hukum yang
menyediakan perlindungan bagi perempuan terhadap kekerasan rumah tangga.
Sektor swasta pun akan
mendapat keuntungan. Survei dari berbagai negara yang mencakup 6.500 perusahaan
menunjukkan bahwa, ketika perempuan lebih banyak hadir dalam dewan direksi
perusahaan, lebih sedikit pula kemungkinan perusahaan tersebut dilanda
skandal penyuapan atau penipuan. Sayangnya, hanya sembilan negara punya hukum
yang mengharuskan setidaknya ada satu perempuan duduk di dewan direksi sebuah
perusahaan terbuka.
Kesetaraan vs kemiskinan
Hubungan antara perang
melawan kemiskinan dan kesetaraan jender sangat penting. Inilah sebabnya
mengapa Bank Dunia bekerja dengan banyak negara untuk menghadapi tantangan
berbasis jender.
Kami telah bekerja
dengan negara seperti Pantai Gading untuk menghilangkan aturan-aturan yang
mendiskriminasi perempuan. Di Kongo, kami membantu pemerintah merancang
aturan hukum yang menghilangkan batasan-batasan bagi partisipasi perempuan
dan memperbaiki iklim usaha bagi mereka.
Para pembuat kebijakan
punya pilihan. Mereka dapat menggunakan berbagai bukti yang menunjukkan
keuntungan ekonomi dari kesetaraan dengan membersihkan sistem hukum mereka
dari diskriminasi yang membuat perempuan tertahan. Atau justru membuat
pilihan yang buruk: mempertahankan kondisi yang ada dan membiarkan masyarakat
menjadi lebih miskin dari yang seharusnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar