Dampak Pelemahan Rupiah
Aunur Rofiq ; Politikus dan Praktisi Bisnis
|
KORAN
JAKARTA, 31 Agustus 2015
Di hadapan sidang
paripurna DPR, Presiden Joko Widodo
telah menyampaikan Nota Keuangan dan RAPBN 2016. Asumsi makronya pertumbuhan
ekonomi 5,5%, inflasi 4,75%, dan nilai
tukar rupiah 13.400 perdollar AS.
Kemudian bunga SPN-3 bulan 5,5%, harga minyak dunia 60 dollar AS, lifting minyak 830 juta
barel/hari dan lifting gas 1.155 ribu
barel setara minyak/hari.
Dari sisi makro
ekonomi, asumsi yang disusun pemerintah terlihat lebih realistis dengan
perkembangan sekarang. Namun dari segi
postur anggaran, tampak bahwa ruang fiskal pemerintah sangat terbatas.
Pemerintah mengajukan
RAPBN 2016 dengan total belanja
2.121,3 triliun rupiah dan pendapatan negara 1.848,1 triliun. Jadi, terdapat defisit 273,2 triliun (2,1% dari
Produk Domestik Bruto). Artinya belanja negara hanya naik 6,9% dari APBNP
tahun ini. Anggaran tersebut terdiri
dari belanja pemerintah pusat 1.339
triliun, dana transfer ke daerah dan
dana desa 782,2 triliun.
Sementara belanja pemerintah pusat
masih didominasi fungsi pelayanan umum sebesar 57,1 % dari total anggaran.
Artinya, RAPBN 2016 masih sulit untuk menjadi alat ekspansif di tengah kelesuan ekonomi. Anggaran desa naik signifikan, 126%
menjadi 47 triliun rupiah.
Sementara fokus
belanja pemerintah pusat diarahkan untuk infrastruktur dengan anggaran 8%
dari APBN 2016 atau senilai 313,5
triliun. Dalam APBNP 2015, pemerintah mengalokasikan untuk infrastructure
spending 290 triliun rupiah (meningkat
63,18%) dari 177,9 triliun
rupiah. Kondisi fiskal pemerintah
sangat terbatas untuk bisa menjadi pendorong
pergerakan ekonomi, apalagi
defisit anggaran sudah cukup
lebar, 2,1%. Tidak terdapat peluang
bagi pemerintah untuk mendorong ekspansi ekonomi. Pemerintah tidak memiliki
strategi mengembangkan ekonomi yang mampu menghindari tekanan global melalui kemandirian ekonomi.
Dengan komposisi ini,
tampak bahwa pemerintah ingin menggeser beban pembangunan kepada daerah dan desa. Sementara peran pusat hanya dialokasikan untuk memenuhi
anggaran yang sudah ditetapkan undang-undang
seperti anggaran pendidikan 20% dan
kesehatan 5%.
Dalam kondisi seperti
ini, pemerintah perlu meningkatkan kualitas penyerapan belanja modal
karena bisa menjadi penentu laju
pertumbuhan ekonomi tahun depan. Dengan kian berkualitasnya belanja modal akan membuat pertumbuhan lebih akseleratif
karena proyek-proyek infrastruktur memiliki elastisitas tinggi terhadap
penyerapan tenaga kerja.
Dengan ruang fiskal
yang terbatas dan kemampuan pemerintah daerah mengelola anggaran rendah, maka perlu khawatir terhadap pelemahan berkelanjutan. Sebab tanda-tanda ke arah itu bisa dilihat dari
target pertumbuhan yang kian menurun. Target pertumbuhan ekonomi yang
berhasil dicapai jauh lebih rendah dari proyeksi, bahkan lebih rendah dari
tingkat laju inflasi.
Semestinya pertumbuhan
ekonomi di atas inflasi agar mampu menjaga daya beli dan menjamin
kesejahteraan masyarakat. Bahkan data dari International Global Survey of
Consumtion and Saving Intention menunjukkan,
sekarang masyarakat cenderung untuk menabung dan tidak membeli sesuatu
karena Indonesia sedang menghadapi
kelesuan dan berada di ambang krisis. Kondisi ini sangat berbahaya dan bisa
menjadi siklus yang memperburuk kondisi
menuju krisis lebih dalam.
Gagal
Pemerintah gagal
menjaga momentum pertumbuhan tinggi karena faktor global. Sementara dari sisi
domestik pemerintah gagal mengupayakan peningkatan investasi atau pembentukan
modal tetap bruto pusat dan daerah
dalam mendorong pertumbuhan.
Selain itu, pelemahan
rupiah seharusnya bisa meningkatkan ekspor, namun sayangnya tidak terjadi karena kita terjebak pada
keunggulan ekspor komoditas, sementara permintaan harga sedang melemah di pasar global.
Sedang industri
manufaktur juga gagal meraih
keunggulan di pasar global yang seharusnya bisa menggantikan ekspor komoditas
saat melemah seperti ini. Surplus
perdagangan sekarang, bukan karena ekspor
meningkat, tetapi penurunan
impor.
Pemerintah juga perlu
mewaspadai ruang fiskal yang terbatas akibat pelemahan rupiah yang bisa
mengganggu kestabilan pajak. Kebijakan pemerintah menggeser beban subsidi BBM
melalui kebijakan kenaikan harga BBM memang sudah tepat. Namun dampaknya
hanya aman dari sisi pembiayaan.
Kebijakan tersebut
telah menimbulkan dampak kenaikan harga
barang kebutuhan yang hingga kini masih sering melambung. Tingginya
inflasi menyebabkan beban negara
membayar kenaikan bunga SUN juga besar.
Pelemahan nilai tukar rupiah juga lebih banyak menimbulkan beban
pengeluaran daripada penerimaan negara. Dari sisi penerimaan ada kenaikan, di
mana setiap melemah 100 rupiah per dollar AS akan menciptakan kontribusi tambahan
penerimaan ke APBN 2,3 triliun rupiah.
Meski demikian, ada
kerugian lebih besar dari pelemahan rupiah dalam APBN yaitu kenaikan kewajiban
pembayaran utang yang dialokasikan dalam APBN. Ada selisih asumsi rupiah
dalam APBN dengan kondisi riil rupiah. Jika dalam APBN Perubahan (APBN-P)
2015 rupiah dipatok 12.500 per dolar AS, saat ini selisihnya sudah mencapai
1.200 dibandingkan rupiah di harga pasar 14.100 perdollar AS.
Pemerintah pernah
membuat simulasi, setiap rupiah depresiasi sebesar 100 rupiah per dollar AS,
beban tambahan ke kewajiban utang 4,9 triliun. Jika sekarang sudah melemah dengan selisih sekitar 1.200,
maka tambahan kewajiban utang 1.200
dikalikan 4,9 triliun. Ini sama dengan negara memperoleh kerugian 68,9
triliun rupiah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar