Jumat, 06 Agustus 2021

 

UI Sedang Sakit Keras, Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?

Mutiara Hikmah ;  Dosen Hukum Perdata Internasional Fakultas Hukum UI; Anggota Senat Akademik UI periode 2014-2019; Ketua Bidang Studi Hukum Internasional periode 2015-2021

KOMPAS, 5 Agustus 2021

 

 

                                                           

Universitas Indonesia merupakan salah satu perguruan tinggi besar dan tertua di Indonesia. Lahir pada 2 Februari 1950, UI merupakan perguruan tinggi yang menjadi sasaran dari lulusan sekolah menengah di Indonesia, bahkan dari luar negeri. Sebagai universitas besar yang menyandang nama bangsa dan negara, UI telah menjadi kebanggaan bagi sivitas akademika UI, bahkan menjadi kebanggaan bagi bangsa Indonesia.

 

Sejak perubahan yang penting tahun 2013, UI telah menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) dengan semua konsekuensi yang mengharapkan UI bisa menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Sejak saat itu, UI telah melakukan berbagai penyesuaian termasuk merumuskan visinya, yaitu ”Mewujudkan Universitas Indonesia menjadi PTN BH yang mandiri dan unggul serta mampu menyelesaikan masalah dan tantangan pada tingkat nasional ataupun global, menuju unggulan di Asia Tenggara”.

 

Ada apa dengan UI

 

Beberapa tahun terakhir ini, begitu banyak kejadian yang menimpa institusi besar ini membuat perhatian masyarakat banyak tertuju kepadanya. Salah satu kekisruhan UI secara internal terjadi ketika Rektor UI digugat ke PTUN oleh salah satu wakil rektornya karena melakukan pemberhentian dengan tidak patut. Kemudian, digugatnya Majelis Wali Amanat (MWA) UI oleh mahasiswa UI.

 

Kasus yang belum lama terjadi adalah pemanggilan BEM UI oleh rektor. Dan baru-baru ini adalah kisruh rangkap jabatan rektor UI yang berujung dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI.

 

Itu adalah sebagian kecil dari puncak gunung es di UI, bagaimana tata kelola dan manajemennya sangat memprihatinkan dengan begitu banyaknya campur tangan dari pihak luar. Saat ini UI sulit memosisikan sebagai institusi pendidikan yang bersifat otonom, obyektif, dan ilmiah. Hal ini disebabkan UI sudah terkungkung dan terpatri oleh politik kepentingan pemerintah sebagai penguasa saat ini.

 

Ada beberapa hal menarik yang bisa ditelisik mengenai kondisi UI saat ini yang menurut penulis, andaikan penulis adalah seorang dokter, diagnosa untuk UI saat ini adalah sedang sakit kronis bahkan koma (dying). Kenapa hal ini bisa terjadi, bisa dibahas satu per satu berikut ini.

 

Manajemen dan tata kelola UI

 

Manajeman dan tata Kelola UI sangat bergantung pada kredibiltas dan efektivitas empat organ UI, yang terdiri dari MWA, Rektor, Senat Akademik, dan Dewan Guru Besar (DGB). Dari empat organ UI tersebut, MWA UI merupakan organ yang paling penting dan menentukan masa depan UI. Hal ini disebabkan MWA mempunyai wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan rektor, menilai pertanggungjawaban rektor, serta membuat aturan-aturan dan langkah kebijakan beserta organ yang lainnya. Dengan masuknya orang-orang yang berasal dari pemerintah dan politisi di tubuh MWA UI, hal ini mengakibatkan gejala yang kurang sehat pada MWA UI.

 

Jadi, dari unsur masyarakat dan dosen, MWA UI bermasalah apalagi setelah diangkatnya sekretaris MWA UI sebagai Kepala Jubir Tim Covid-19 secara nasional. Hal tersebut merupakan pelanggaran Pasal 24 butir c Statuta UI 2013 tentang jabatan rangkap sekretaris MWA. Maka lumpuh sudah MWA UI karena tidak maksimal menjalani tugasnya dan tidak akan efektif bekerja. Urusan UI menjadi nomor dua, tidak heran apabila jadwal-jadwal rapat rutin MWA berlalu, gone with the wind. Lumpuhnya MWA adalah virus pertama dalam tubuh empat organ UI.

 

Pengalaman penulis ketika menjadi anggota Senat Akademik di UI periode 2014-2019, anggota MWA UI unsur masyarakat dipilih oleh pansus MWA, yaitu dari iluni yang telah menyebar di berbagai sektor. Dengan adanya darah UI mengalir pada MWA dari unsur masyarakat, jelas akan memberikan perubahan, perbaikan, peningkatan terhadap UI karena mereka memiliki sense of belonging terhadap UI. Tidak seperti yang ada sekarang ini. Alih-alih membawa perubahan dan perbaikan, malahan menumpang nama besar UI dan membuat karam UI seperti kapal Titanic.

 

Rektor UI merupakan organ penting kedua, sebagai pelaksana dan penyelenggara pendidikan di UI. Rektor UI sebagai unsur pelaksana pun sarat dengan masalah. Dimulai dengan adanya gugatan salah satu Wakil Rektor I UI terhadap Rektor UI ke PTUN Jakarta karena diberhentikan dari jabatannya ketika belum lima tahun (2019-2024) menjabat pada 20 Oktober 2020 (Detiknews, 18/2/2021).

 

Belum lama ini juga terjadi polemik antara BEM UI dan Rektor, disebabkan BEM UI melabeli Presiden RI sebagai ”The King of Lip Service”. Buntutnya, pihak rektorat memanggil dan menegur mahasiswa. Pihak rektorat keberatan jika mahasiswa mengecap Presiden Jokowi seperti itu. Polemik tersebut berujung pada kekisruhan selanjutnya, yaitu rangkap jabatan rektor UI.

 

Saat awal merumuskan draf Statuta UI yang kemudian menjadi PP Nomor 68 Tahun 2013, penulis dari Senat Akademik Fakultas Hukum UI sepakat dengan anggota tim lain dari UI bahwa posisi rektor UI sangat strategis dan penting karena UI mengemban nama negara, perguruan tinggi yang paling tua dan menjadi teladan bagi universitas-universitas lain di negeri ini, dan tidak boleh dirangkap dengan jabatan lain. Oleh karena itu, larangan rangkap jabatan dituangkan dengan tegas dalam Pasal 35 Statuta UI (Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013 yang ditandatangani presiden).

 

Rektor UI harus fokus memimpin UI demi kemajuan dan kualitas unggul yang harus dipertahankan untuk menjadi leading university sehingga jabatan rektor UI tidak boleh dirangkap, karena selain Statuta UI, undang-undangnya mengatur demikian. Pelanggaran rektor terhadap peraturan yang ada dan tidak diselesaikan baik secara internal maupun secara etika dan hukum merupakan virus selanjutnya dalam tubuh UI.

 

Walaupun sudah diprotes oleh sivitas akademika dan sudah ada teguran keputusan dari Ombudsman RI, tampaknya tidak ada respons yang menunjukkan itikad baik dari Rektor UI untuk menaati peraturan tentang rangkap jabatan.

 

Organ ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah Senat Akademik UI karena organ inilah yang melakukan pemilihan terhadap anggota MWA. Ketika MWA lumpuh karena hasil pilihan Senat Akademik UI, seharusnya Senat Akademik UI pun harus mempertanggungjawabkan kinerjanya yang membawa UI menjadi sakit kronis. Senat Akademik UI berisi lima perwakilan dari 14 fakultas yang ada di UI. Setiap fakultas diwakili oleh dekan (ex officio), dua guru besar, dan dua doktor yang berpangkat lektor kepala.

 

Menjelang akhir periode masa jabatan MWA, Senat Akademik akan membuat Panitia Khusus Pemilihan anggota MWA. Dengan masuknya virus beberapa kali MWA UI yang mengakibatkan lumpuhnya MWA juga harus menjadi bahan introspeksi bagi Senat Akademik UI, dan organ ini harus bertanggung jawab. Tidak efektifnya Senat Akademik UI yang telah memilih MWA yang tidak kredibel, merupakan virus ketiga bagi UI. Tumpuan harapan pada DGB.

 

Dewan Guru Besar UI adalah organ yang paling terhormat dan paling tinggi kastanya di antara organ-organ yang lain karena beranggotakan perwakilan lima guru besar dari 14 fakultas di UI. DGB UI-lah satu-satunya harapan terakhir bagi UI untuk bisa menyelamatkan UI dari kekronisan sakitnya. Namun jika DGB UI dalam hal ini tidak dapat menjalankan peran dan fungsinya seperti yang diamanatkan dalam Statuta UI, kronisnya UI juga merupakan tanggung jawab DGB UI.

 

Dewan Guru Besar UI seharusnya bisa menjadi organ yang berkompeten untuk menegur, menindak, dan memproses perkara ini ke jalur hukum karena rektor telah melakukan malaadministrasi ketika terjadi pelanggaran terhadap Statuta UI. Selain statuta, rektor pun melanggar Undang-Undang tentang Rangkap Jabatan ASN dan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-2/MBU/02/2015 jo Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-10/MBU/10/2020 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN.

 

Diangkatnya rektor UI oleh Menteri BUMN (anggota MWA UI) sebagai Wakil Presiden Komisaris BRI melalui RUPS BRI merupakan perselingkuhan yang dilakukan oleh dua organ UI. Hal itu jelas bertentangan dengan peraturan yang ada. Ternyata perselingkuhan itu terjadi lagi ketika mereka mengegolkan peraturan pemerintah tentang Statuta UI yang baru. DGB UI seharusnya bisa menjadikan hukum sebagai panglima di UI.

 

Jadi, jika empat organ UI lumpuh, tidak heran jika UI saat ini dying. Semua fakultas, empat organnya juga tenang-tenang saja selama ini, seperti tidak terjadi apa-apa.

 

Lahirnya Statuta UI secara instan

 

Kekisruhan UI diperparah dengan lahirnya PP Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI pada 2 Juli 2021. Lahirnya PP ini selain jalurnya fast track, isinya pun sarat dengan pro dan kontra, baik pada tingkat organ UI maupun di kalangan sivitas akademika UI. Ada beberapa hal menarik yang bisa dikritisi dari Statuta UI yang baru ini.

 

Pertama, dari segi proses dan prosedur penerbitan, statuta baru UI isinya berbeda dengan draf statuta yang sudah disepakati dalam rapat Kemendikbudristek dan tim gabungan empat organ UI tahun 2020. Perubahan-perubahan yang dilakukan adalah usulan-usulan rektor, pimpinan eksekutif UI, dan MWA UI yang sebenarnya telah ditolak (antara lain soal adanya perangkat rektor baru, yaitu sekretaris universitas) dalam rapat-rapat Kemendikbudristek dengan Tim Gabungan Revisi Statuta UI. Namun secara instan, telah keluar PP tersebut. Ibarat bayi, PP ini lahir prematur dan kurang bulan sehingga organ tubuhnya kurang lengkap.

 

Kedua, dari segi substansi. Banyak perubahan secara substansi di dalam Statuta UI yang baru, di antaranya adalah adanya anggota MWA Kehormatan yang diangkat oleh menteri (Pasal 25 Ayat 4), jumlah anggota MWA Kehormatan sembilan orang (Ayat 5). Ini merupakan hal baru yang tidak diatur di dalam statuta lama. Dengan dirumuskannya aturan tersebut, sangat nyata pihak penguasa semakin besar dominasinya ingin melakukan intervensi di tubuh UI.

 

Kemudian adanya ketentuan baru mengenai sekretaris universitas di Pasal 35 (yang ketika rapat penyusunan draf dari tim gabungan, menolak adanya sekretaris universitas). Mengenai masa jabatan Ketua/Sekretaris Senat Akademik (Pasal 43 Ayat 7) dan Ketua/Sekretaris DGB menjadi 2,5 tahun (Pasal 45 Ayat 3). Jika melihat pada statuta lama adalah lima tahun. Pada Pasal 44 Ayat 1 butir (h), Statuta UI memberikan kewenangan Senat Akademik untuk melakukan penilaian dan pengajuan dosen dari jabatan lektor kepala menjadi guru besar. Ini merupakan perubahan baru karena menurut statuta yang lama, kewenangan itu ada pada DGB UI.

 

Saat ini UI sedang koma karena meskipun rektor telah mundur dari jabatan komisaris di BRI dan juga dituntut mundur dari jabatan rektornya, bukan berarti permasalahan selesai. Lumpuhnya empat organ UI membuat organisasi UI terdapat kekosongan karena semua organnya tidak efektif. Saat ini UI sedang dying dan siapakah yang harus bertanggung jawab? Dokter mana yang bisa menyembuhkannya dan resep mana yang ampuh untuk menyelamatkan UI?

 

Hanya Yang Maha Kuasa yang memiliki jawaban atas semua ini.

 

Vivat Academia… Vivat Profesores... Vivat Senatores… ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar