”Pengantin
Serigala” Linda Christanty ; Sastrawan dan Pegiat Budaya |
KOMPAS, 14 Agustus 2021
Sepanjang
Oktober 2013 itu, berbagai kegiatan berlangsung di Universitas Thammasat
untuk memperingati 40 tahun berakhirnya diktator militer Jenderal Thanom
Kittikachorn dalam pemerintahan Thailand. Selain pameran buku, ada pementasan
drama. Punnee Suangsatapananon, seorang teman yang tinggal di Bangkok,
mengusulkan kami menonton pementasan di aula universitas tersebut pada malam
13 Oktober. Penonton
ramai sekali. Kami pun duduk di kursi cadangan. Lakon yang dipentaskan
berjudul Pengantin Serigala, mengisahkan seorang raja yang haus darah sengaja
menikahi perempuan serigala lalu membunuhnya agar ia semakin perkasa. Saya
tidak mengerti bahasa Thai sehingga Punnee sesekali menerjemahkan dialog para
pemain di atas panggung. Di
tahun 2013 itu, aksi-aksi protes terhadap Perdana Menteri Yinluck Shinawatra
mulai merebak. Yinluck adalah adik mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra
yang pemerintahannya dikudeta militer pada 2006. Ia, sebagaimana kakaknya,
tidak disukai monarki dan militer. Ia dituduh korupsi. Jenderal Prayuth
Chan-ocha dari Angkatan Darat Kerajaan Thailand mengudeta pemerintahan Yinluck
pada Mei 2014 dan membawa Thailand kembali memasuki era junta militer. Ia
kemudian menjadi perdana menteri negara tersebut sampai hari ini. Orang-orang
yang dianggap menghina monarki ditangkap di masa Prayuth, tidak peduli jika
peristiwa itu terjadi di masa sebelumnya. Penulis lakon Pengantin Serigala
dan pemeran perempuan serigala, Pronthip ”Kolf” Mankong, menjadi sasaran
penangkapan, begitu pula pemeran raja, Patiwat ”Bank” Saraiyam. Mereka
terkena Pasal 112 atau pasal penghinaan terhadap monarki, yang populer
disebut kasus lèse majesté. Kedua seniman ini dijebloskan ke penjara. Empat
pemeran lakon ini kalang kabut bersembunyi. Dua orang menyelamatkan diri ke
negara tetangga. Kebebasan
berekspresi dan berpendapat terbelenggu. Jiwa sastrawan pun terancam. Penulis
Wat Wanyangkun terpaksa menjadi eksil di Paris. Penyair Kamol Duangpasuk
alias Mainueng Kor Kuntee ditembak mati di lapangan parkir sebuah restoran di
Bangkok. Kolf
menulis buku tentang pengalamannya waktu mendekam di penjara, All They Could
Do to Us: Courage in Dark Times from a Fighter (Not a Victim), setebal hampir
900 halaman dan diterbitkan Read, penerbit buku-buku sastra kritis, pada
Maret 2021 lalu. Dalam
seminar ”Thai and Indonesian Writing in an Era of Conservative Redux” yang
diselenggarakan secara daring oleh Program Studi Asia Tenggara-Fakultas Ilmu
Politik dan Hukum, Universitas Wailalak, Thailand, pada hari pertama, 6
Agustus 2021, Sutida Wimuttikosol, dosen Fakultas Seni Liberal dari
Universitas Thammasat, membahas kisah-kisah para tahanan kasus 112, termasuk
kisah Kolf. Sutida
menyatakan judul makalahnya, I Have No Voic, diilhami tulisan pada tubuh
Kolf, ”Ketika ia memberi tahu orang asing di gereja penjara bahwa ia sakit
dan tidak memiliki suara untuk berbicara. Huruf e pada kata voice sengaja
dihapus untuk menggambarkan suara utuh yang terhalang sampai. Kata itu
teramputasi secara fonemis karena pengucapnya berada di balik sel fisik dan
psikologis yang dibangun kekuasaan. Ia
menandaskan, ”Cerita Kolf membawa para pembaca dalam perjalanan menjelajahi
struktur ketidakadilan yang berulang dan didukung oleh birokrasi di penjara.
Ini seperti gambar simulasi sosial rakyat Thailand yang berulang kali
ditindas oleh penguasa sampai tubuh dan pikiran mereka menjadi terbiasa dan
menerima penindasan sebagai bagian dari keberadaannya.” Ida
Aroonwong, pembicara utama Thailand dalam seminar ini, teringat salah satu
baris dalam kitab Khlong Lokanit, yang mengajarkan filosofi dan etika hidup
di Thailand masa lampau: pisang adalah pisang, adalah pisang, tidak akan
menjadi pisang tanduk. Ia mengumpamakan rakyat kebanyakan di satu pihak dan
penguasa serta lingkaran pendukungnya di lain pihak, ibarat pisang biasa dan
pisang tanduk. Tatanan sosial dan politik itu memengaruhi sastra Thai. Bagi
Ida, S.E.A Write adalah penghargaan elitis. Para jurinya menjaga
konservatisme politik dan nilai-nilai sastra. Setiap tahun upacara penyerahan
penghargaan ini dipimpin anggota keluarga raja. Suatu ketika sekelompok
penyair menyelenggarakan sayembara penghargaan ”FreeWrite”, yang sengaja
mengolok-olok S.E.A Write. Para sastrawan Asia Tenggara, termasuk Indonesia,
menerima S.E.A Write dari Thailand melalui pemilihan yang dilakukan juri di
negara asalnya, tetapi di Thailand, perhargaan ini diperoleh sastrawan melalui
sayembara. Ida
adalah penulis, editor, dan pengelola penerbit Read, yang juga mengadvokasi
dan menjadi penjamin bagi orang-orang yang ditahan karena kasus lèse majesté. Di
awal 2020, aksi protes kembali melanda Thailand. Puncaknya pada bulan
September. Ribuan massa turun ke jalan, menuntut perubahan undang-undang
untuk membatasi kekuasaan monarki dan pengunduran diri perdana menteri
Prayuth Chan-ocha. Pada
7 Agustus 2021, di hari kedua seminar, aksi protes kembali terjadi di
Bangkok. Apakah akan menggulirkan perubahan politik besar agar tiada lagi
kasus seperti Pengantin Serigala atau kasus yang lebih buruk? Sehari
setelah menonton Pengantin Srigala, 14 Oktober 2013, Punnee dan teman kami,
Subhatra Bhumiprabas, seorang veteran jurnalis dan aktivis, menemani saya
menghadiri geladi resik penghargaan S.E.A Write di Hotel Mandarin Oriental,
Bangkok. Semua penerima penghargaan harus duduk bersimpuh di lantai dengan
posisi yang ditetapkan pejabat kerajaan. Saya keberatan, ”Apakah kami boleh
berdiri?” Subhatra menyampaikan keberatan saya dalam bahasa Thai kepada
pejabat itu, yang akhirnya setuju para sastrawan tidak harus bersimpuh.
Berlutut saja. Alasannya, kami tidak boleh lebih tinggi dari putri raja yang
duduk di kursi saat berfoto bersamanya. Jika ada yang iseng melihat foto
penerima S.E.A Write 2013, mungkin itu untuk pertama kalinya para sastrawan
tidak duduk bersimpuh seperti abdi
dalem kerajaan. Mungkin ini kemajuan kecil dalam menghadapi monarki. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar