Memuliakan
Diri Sendiri Ahmadul Faqih Mahfudz ; Kolumnis, Alumnus Madrasah Diniyah
Assyafi’iyah, Buleleng, Bali |
KOMPAS, 31 Juli 2021
Manusia
lahir membawa kemuliaan. Kemuliaan yang diberikan Tuhan sebagai ciptaan
terindah yang diamanahkan untuk membuat keindahan di dunia ini. Kemuliaan
ini dianugerahkan karena manusia tidak hanya diberi peluang untuk memiliki
pengetahuan terhadap dirinya, tetapi juga dikaruniai potensi untuk memiliki
pengetahuan terhadap penciptanya. Pengetahuan tersebut dapat melahirkan
kesadaran yang mampu mengajak manusia merenung. Untuk apa dirinya diciptakan?
Apa yang harus ia persembahkan bagi alam dan kehidupan, sebelum nanti ia
harus pulang, mempertanggungjawabkan semua itu di hadapan Tuhan? Namun,
kemuliaan itu juga rentan pupus karena berbagai unsur di dalam dan di luar
diri manusia. Kemuliaan itu pupus jika manusia gagal melaksanakan tugas
kehambaannya. Tugas kehambaan itu adalah menjadi pelaksana kehendak Tuhan
untuk mengasihi manusia dan tiap-tiap ciptaan, juga merawat dan menata jagat
ini dengan cinta. Tuhan
mengutus nabi-nabi untuk menyampaikan ajaran-Nya ke tengah-tengah umat
manusia. Ajaran-ajaran tersebut disampaikan para utusan tidak hanya agar manusia
memiliki hubungan indah dengan Sang Pencipta dan dengan sesama ciptaan.
Ajaran-ajaran itu, sejatinya, juga cara Tuhan untuk menjaga kemuliaan
manusia. Ajaran
Tuhan yang dibawa para nabi bagi manusia di antaranya berupa perintah dan
larangan. Manusia diperintah untuk berbuat kebaikan, kedamaian, dan keindahan
di muka bumi. Sebaliknya, manusia dilarang melakukan kerusakan, kerusuhan,
atau berbuat apa pun yang dapat menyengsarakan manusia lain atau melukai
ciptaan lain. Semakin
bagus perbuatan manusia kepada makhluk-Nya, semakin mulia dirinya, semakin
terjaga kemuliaannya sebagai manusia. Maka, ketika manusia memberi makan
manusia lain yang sedang kelaparan, atau saat ia menanam tunas-tunas pohon di
hutan yang sudah digunduli para begundal, sebenarnya ia sedang menjaga
kemuliaannya sendiri sebagai tangan Tuhan di muka bumi. Sebaliknya,
ketika ia menyakiti manusia dengan mengkhianati janji politik yang pernah
diumbarnya menjelang pemilu; ketika ia bersiasat memperlama jabatan seraya
menumpuk kekayaan, padahal ada rakyatnya yang, untuk makan sehari sekali pun
kesusahan, ketika itu pula manusia tersebut menanggalkan kemuliaan yang dia
miliki. Oleh
sebab itu, pemimpin yang di masa kampanye berjanji akan memberantas korupsi,
tidak memuliakan dirinya sendiri, apabila saat meraih jabatan ia justru diam
saja ketika lembaga antirasuah dilumpuhkan bertubi-tubi. Begitu pula wakil
rakyat yang berbisik-bisik dengan pihak tertentu, untuk meloloskan
undang-undang tertentu, demi meremukkan lembaga negara tertentu, mereka juga
tidak lagi memuliakan dirinya sendiri. Penyelenggara
negara yang kongkalikong di belakang layar dengan pengusaha juga tidak
memuliakan dirinya sendiri jika, ketika bangsa ini kewalahan menghadapi
pandemi, justru dari pandemi ia meraup rupiah berpundi-pundi. Tak memuliakan
dirinya sendiri pula pejabat negara yang minta rumah sakit khusus pejabat
negara ketika rakyat sedang terlunta-lunta berebut rumah sakit pada masa
wabah. Memuliakan
diri sendiri punya lawan kata, yaitu menghina diri sendiri. Maka, jaksa yang
tidak mengajukan kasasi, ketika jaksa lain menjadi terdakwa korupsi tapi
divonis ringan oleh hakim yang ringan tangan pada pencuri, jaksa tersebut
sebenarnya sedang menghina dirinya sendiri. Menghina kemuliaan dirinya
sebagai manusia sekaligus menghina kemuliaan profesi yang disandangnya. Hakim
yang bertugas mengadili terdakwa korupsi menghina dirinya sendiri jika
meringankan hukuman pelaku korupsi, apalagi jika si terdakwa juga bagian dari
penegak hukum. Pimpinan lembaga pemberantasan korupsi juga menghina dirinya
sendiri jika bersekongkol mengompongkan pemberantasan korupsi. Begitu
pun akademisi, intelektual, budayawan, cendekiawan, agamawan, seniman, juga
wartawan, mereka semua menghina dirinya sendiri jika berpihak pada oligarki
(apalagi memberi gelar kehormatan kepada oknumnya) ketimbang berpihak kepada
manusia-manusia yang dilecehkan kemanusiaannya di negeri ini akibat
kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi. Menghina
dirinya sendiri pula petugas negara yang ditugaskan menjaga hutan dan melestarikan
lingkungan, tapi justru meluluhlantakkannya setelah bermain mata dengan para
pengusaha. Skandal semacam ini tak hanya menghina diri si pelaku, tidak cuma
menghina manusia serta makhluk hidup lain yang menjadikan hutan dan
lingkungan tersebut sebagai habitatnya, tapi juga menghina negara dan
menghina para pendiri bangsa. Karena
itulah seorang wakil bupati yang menolak izin tambang emas di wilayahnya,
hingga kematiannya yang misterius dalam pesawat yang ditumpanginya, adalah
manusia sekaligus pejabat negara yang menjaga kemuliaan dirinya. Dan, ribuan
orang yang menyambut jenazahnya merupakan tanda kehormatan tanpa lencana atas
pengabdiannya dalam mempertahankan kedaulatan alam sekaligus kedaulatan
manusia. Ketika
manusia mencundangi manusia, ketika manusia mengeksploitasi sumber daya alam,
betapa manusia perlu malu pada tumbuhan dan hewan. Malu pada pohon yang
sukarela memberi buah, memberi rindang serta oksigen, juga menjaga permukiman
manusia dari longsor dan banjir meski setiap saat terancam ditebang. Manusia
semestinya juga malu pada lebah yang dengan gratis memberinya madu untuk
kesehatan. Tumbuhan
dan hewan mampu bersedekah kepada manusia, berinfak pada kehidupan, dan
mewakafkan diri untuk merawat alam sesuai daya upaya, juga kodrat yang dimilikinya.
Padahal, flora dan fauna itu tak punya agama, tak membaca kitab suci, tak
pernah menyentuh bangku sekolah, apalagi bangku kuliah, tak punya gelar
akademik apalagi gelar honoris causa, bahkan mereka pun tak kenal Pancasila. Maka,
siapa pun yang diberi amanah oleh hamba Tuhan untuk mengurus negara, ada
baiknya mengingat, lantas menjaga kemuliaan dirinya. Kemuliaan dirinya
sebagai ciptaan yang dimuliakan Tuhan ataupun kemuliaan dirinya sebagai orang
yang dahulu memantaskan diri minta dipilih kepada rakyat untuk mengurus
negara. Hanya
dengan begitu kemuliaan akan dimiliki, bukan dengan menghukum siapa pun yang
kritiknya tak disuka, menggunakan pasal penghinaan terhadap simbol negara.
Hanya manusia tak terhormat yang minta penghormatan, apalagi menjadikannya
pasal dalam undang-undang. Dan, siapa pun yang ingin dihormati, menggunakan
senjata legislasi atau regulasi, pada hakikatnya sedang melakukan penghinaan
terhadap dirinya sendiri. Tidak
menyakiti amanat yang diberikan rakyat adalah menjaga kemuliaan diri. Tidak
menjadikan negara sebagai tambang untuk mengeruk kekayaan dan tidak
menjadikannya ajang bagi-bagi kue kekuasaan adalah memuliakan diri sendiri.
Memuliakan pemuliaan Ilahi pada diri, yang dicipta lalu dititahkan, untuk
melaksanakan tugas keilahian di muka bumi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar