Minggu, 01 Agustus 2021

 

Memuliakan Diri Sendiri

Ahmadul Faqih Mahfudz ;  Kolumnis, Alumnus Madrasah Diniyah Assyafi’iyah, Buleleng, Bali

KOMPAS, 31 Juli 2021

 

 

                                                           

Manusia lahir membawa kemuliaan. Kemuliaan yang diberikan Tuhan sebagai ciptaan terindah yang diamanahkan untuk membuat keindahan di dunia ini.

 

Kemuliaan ini dianugerahkan karena manusia tidak hanya diberi peluang untuk memiliki pengetahuan terhadap dirinya, tetapi juga dikaruniai potensi untuk memiliki pengetahuan terhadap penciptanya. Pengetahuan tersebut dapat melahirkan kesadaran yang mampu mengajak manusia merenung. Untuk apa dirinya diciptakan? Apa yang harus ia persembahkan bagi alam dan kehidupan, sebelum nanti ia harus pulang, mempertanggungjawabkan semua itu di hadapan Tuhan?

 

Namun, kemuliaan itu juga rentan pupus karena berbagai unsur di dalam dan di luar diri manusia. Kemuliaan itu pupus jika manusia gagal melaksanakan tugas kehambaannya. Tugas kehambaan itu adalah menjadi pelaksana kehendak Tuhan untuk mengasihi manusia dan tiap-tiap ciptaan, juga merawat dan menata jagat ini dengan cinta.

 

Tuhan mengutus nabi-nabi untuk menyampaikan ajaran-Nya ke tengah-tengah umat manusia. Ajaran-ajaran tersebut disampaikan para utusan tidak hanya agar manusia memiliki hubungan indah dengan Sang Pencipta dan dengan sesama ciptaan. Ajaran-ajaran itu, sejatinya, juga cara Tuhan untuk menjaga kemuliaan manusia.

 

Ajaran Tuhan yang dibawa para nabi bagi manusia di antaranya berupa perintah dan larangan. Manusia diperintah untuk berbuat kebaikan, kedamaian, dan keindahan di muka bumi. Sebaliknya, manusia dilarang melakukan kerusakan, kerusuhan, atau berbuat apa pun yang dapat menyengsarakan manusia lain atau melukai ciptaan lain.

 

Semakin bagus perbuatan manusia kepada makhluk-Nya, semakin mulia dirinya, semakin terjaga kemuliaannya sebagai manusia. Maka, ketika manusia memberi makan manusia lain yang sedang kelaparan, atau saat ia menanam tunas-tunas pohon di hutan yang sudah digunduli para begundal, sebenarnya ia sedang menjaga kemuliaannya sendiri sebagai tangan Tuhan di muka bumi.

 

Sebaliknya, ketika ia menyakiti manusia dengan mengkhianati janji politik yang pernah diumbarnya menjelang pemilu; ketika ia bersiasat memperlama jabatan seraya menumpuk kekayaan, padahal ada rakyatnya yang, untuk makan sehari sekali pun kesusahan, ketika itu pula manusia tersebut menanggalkan kemuliaan yang dia miliki.

 

Oleh sebab itu, pemimpin yang di masa kampanye berjanji akan memberantas korupsi, tidak memuliakan dirinya sendiri, apabila saat meraih jabatan ia justru diam saja ketika lembaga antirasuah dilumpuhkan bertubi-tubi. Begitu pula wakil rakyat yang berbisik-bisik dengan pihak tertentu, untuk meloloskan undang-undang tertentu, demi meremukkan lembaga negara tertentu, mereka juga tidak lagi memuliakan dirinya sendiri.

 

Penyelenggara negara yang kongkalikong di belakang layar dengan pengusaha juga tidak memuliakan dirinya sendiri jika, ketika bangsa ini kewalahan menghadapi pandemi, justru dari pandemi ia meraup rupiah berpundi-pundi. Tak memuliakan dirinya sendiri pula pejabat negara yang minta rumah sakit khusus pejabat negara ketika rakyat sedang terlunta-lunta berebut rumah sakit pada masa wabah.

 

Memuliakan diri sendiri punya lawan kata, yaitu menghina diri sendiri. Maka, jaksa yang tidak mengajukan kasasi, ketika jaksa lain menjadi terdakwa korupsi tapi divonis ringan oleh hakim yang ringan tangan pada pencuri, jaksa tersebut sebenarnya sedang menghina dirinya sendiri. Menghina kemuliaan dirinya sebagai manusia sekaligus menghina kemuliaan profesi yang disandangnya.

 

Hakim yang bertugas mengadili terdakwa korupsi menghina dirinya sendiri jika meringankan hukuman pelaku korupsi, apalagi jika si terdakwa juga bagian dari penegak hukum. Pimpinan lembaga pemberantasan korupsi juga menghina dirinya sendiri jika bersekongkol mengompongkan pemberantasan korupsi.

 

Begitu pun akademisi, intelektual, budayawan, cendekiawan, agamawan, seniman, juga wartawan, mereka semua menghina dirinya sendiri jika berpihak pada oligarki (apalagi memberi gelar kehormatan kepada oknumnya) ketimbang berpihak kepada manusia-manusia yang dilecehkan kemanusiaannya di negeri ini akibat kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi.

 

Menghina dirinya sendiri pula petugas negara yang ditugaskan menjaga hutan dan melestarikan lingkungan, tapi justru meluluhlantakkannya setelah bermain mata dengan para pengusaha. Skandal semacam ini tak hanya menghina diri si pelaku, tidak cuma menghina manusia serta makhluk hidup lain yang menjadikan hutan dan lingkungan tersebut sebagai habitatnya, tapi juga menghina negara dan menghina para pendiri bangsa.

 

Karena itulah seorang wakil bupati yang menolak izin tambang emas di wilayahnya, hingga kematiannya yang misterius dalam pesawat yang ditumpanginya, adalah manusia sekaligus pejabat negara yang menjaga kemuliaan dirinya. Dan, ribuan orang yang menyambut jenazahnya merupakan tanda kehormatan tanpa lencana atas pengabdiannya dalam mempertahankan kedaulatan alam sekaligus kedaulatan manusia.

 

Ketika manusia mencundangi manusia, ketika manusia mengeksploitasi sumber daya alam, betapa manusia perlu malu pada tumbuhan dan hewan. Malu pada pohon yang sukarela memberi buah, memberi rindang serta oksigen, juga menjaga permukiman manusia dari longsor dan banjir meski setiap saat terancam ditebang. Manusia semestinya juga malu pada lebah yang dengan gratis memberinya madu untuk kesehatan.

 

Tumbuhan dan hewan mampu bersedekah kepada manusia, berinfak pada kehidupan, dan mewakafkan diri untuk merawat alam sesuai daya upaya, juga kodrat yang dimilikinya. Padahal, flora dan fauna itu tak punya agama, tak membaca kitab suci, tak pernah menyentuh bangku sekolah, apalagi bangku kuliah, tak punya gelar akademik apalagi gelar honoris causa, bahkan mereka pun tak kenal Pancasila.

 

Maka, siapa pun yang diberi amanah oleh hamba Tuhan untuk mengurus negara, ada baiknya mengingat, lantas menjaga kemuliaan dirinya. Kemuliaan dirinya sebagai ciptaan yang dimuliakan Tuhan ataupun kemuliaan dirinya sebagai orang yang dahulu memantaskan diri minta dipilih kepada rakyat untuk mengurus negara.

 

Hanya dengan begitu kemuliaan akan dimiliki, bukan dengan menghukum siapa pun yang kritiknya tak disuka, menggunakan pasal penghinaan terhadap simbol negara. Hanya manusia tak terhormat yang minta penghormatan, apalagi menjadikannya pasal dalam undang-undang. Dan, siapa pun yang ingin dihormati, menggunakan senjata legislasi atau regulasi, pada hakikatnya sedang melakukan penghinaan terhadap dirinya sendiri.

 

Tidak menyakiti amanat yang diberikan rakyat adalah menjaga kemuliaan diri. Tidak menjadikan negara sebagai tambang untuk mengeruk kekayaan dan tidak menjadikannya ajang bagi-bagi kue kekuasaan adalah memuliakan diri sendiri. Memuliakan pemuliaan Ilahi pada diri, yang dicipta lalu dititahkan, untuk melaksanakan tugas keilahian di muka bumi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar