Senin, 23 Agustus 2021

 

Covid-19 dan ”Pembalikan Radikal”

Trisno S Sutanto ;  Esais, tinggal di Jakarta

KOMPAS, 19 Agustus 2021

 

 

                                                           

Sejak awal pandemi, saya berusaha mempersiapkan batin untuk dua kemungkinan terburuk. Pertama, walau pandemi dapat berakhir, tetapi ancaman virus Covid-19 akan selalu ada sebagai risiko hidup.

 

Dan kedua, boleh jadi saya tidak dapat sintas dari ancaman pandemi, karena itu melatih diri untuk mati. Saya berharap, dengan persiapan itu, saya akan dapat lebih menjaga sikap, terutama batin dan pikiran, menghadapi pandemi.

 

Cara pertama memungkinkan saya "berdamai" dengan eksistensi virus Covid-19. Atau, dalam bahasa slogan yang sempat populer, saya berusaha "bersahabat" dengan virus ini, menerimanya sebagai bagian tak terelakkan dari eksistensi kehidupan yang memang serba fana dan ringkih, sama seperti penyakit-penyakit lain.

 

Dan seperti laiknya penyakit lain, maka pertahanan diri paling baik adalah menjaga imunitas tubuh. Dalam soal ini, kontrol terhadap batin dan pikiran memegang peran kunci, selain mengusahakan pola hidup sehat.

 

Cara kedua lebih pelik, walau sudah menjadi anjuran sejak zaman Yunani kuno. Platon menyebut filsafat sebagai "latihan untuk mati" yang bertujuan untuk mendapat perspektif baru tentang kehidupan. Dalam Politeia, ia mengaitkan latihan untuk mati itu sebagai proses metastrophe (pembalikan radikal, conversio) seluruh diri kita (lihat Setyo Wibowo, Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme, Kanisius, 2019).

 

Intuisi dasar Platon itulah yang menapasi seluruh filsafat Stoa. Dan kita menemukan pesan senada dalam Buddhisme, Sufisme Islam, maupun olah kebatinan Jawa yang mengajarkan maksim bijaksana, bahwa "hidup ini hanya sekadar mampir minum". Dan karena sekadar mampir minum, untuk apa terbebani karut-marut kehidupan yang di dalamnya selalu mengandung kefanaan?

 

Kebangkitan Stoikisme

 

Pernah pada suatu masa, cara pandang tersebut dinilai fatalistik, sekadar "nrimo" saja. Dan ini tidak menguntungkan bagi bangsa yang ingin segera menjadi "modern". Tetapi dewasa ini, ketika pandemi memporakporandakan seluruh aspek kehidupan, orang berbondong-bondong menengok kembali intuisi kuno tadi.

 

Buku-buku tentang filsafat Stoa (atau setidaknya diinspirasi oleh Stoikisme) kerap menempati daftar buku terlaris (bestseller) internasional.

 

Stoikisme seperti mengalami kebangkitan, kembali tampil sebagai cara orang mengelola dan memaknai kehidupan. Pun juga di Indonesia.

 

Saya kira pandemi ini, dengan teror sirene ambulans yang meraung-raung hampir setiap saat, dan berita kematian membanjiri media sosial kita, memang mengajar orang untuk melihat keringkihan hidup yang kerap tersembunyi di balik gemerlapnya kemajuan.

 

Karena, tiba-tiba seluruh struktur kehidupan modern yang serba angkuh itu tak berdaya berhadapan dengan virus yang tak kasat mata. Hidup ditantang secara radikal untuk berubah. Dan di situ, "latihan untuk mati" yang diajarkan Platon, mendapat gemanya: sebagai proses metastrophe sehingga kita lebih dapat menghargai kehidupan secara seimbang.

 

Karena, seperti dirumuskan Seneca dengan padat dan indah, "Barang siapa tidak memahami cara mati yang baik, dia akan menjalani hidupnya dengan buruk" (Ihwal Ketenangan Pikiran). Pandemi ini adalah kesempatan bagus bagi latihan yang akan mengubah seluruh cara kita memandang dan menghargai kehidupan! ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/19/covid-19-dan-pembalikan-radikal

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar