Senin, 23 Agustus 2021

 

Melahirkan Politisi Berkarakter

Biyanto ;  Guru Besar Filsafat UIN Sunan Ampel; Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

KOMPAS, 18 Agustus 2021

 

 

                                                           

Meski masih menyisakan waktu tiga tahun lagi, para politisi tampaknya ingin memastikan diri terlibat dalam proses-proses politik pada Pemilu 2024. Bagi aktivis politik, waktu tiga tahun pasti terasa sangat singkat. Mereka tidak ingin kehilangan momentum sedikit pun karena waktu terus berjalan. Untuk itulah tahun-tahun menjelang pemilu selalu diwarnai fenomena migrasi para politisi dari satu partai ke partai lainnya. Pergerakan para politisi itu menjadikan panggung politik nasional semakin dinamis.

 

Di antara mereka yang berganti partai politik sejatinya merupakan pemain lama. Mereka ingin mencoba suasana yang berbeda dengan berseragam partai politik baru. Alasan mereka berganti partai politik sangat beragam. Disebabkan adanya perbedaan idealisme dalam perjuangan, misalnya, seorang politisi dengan mudah keluar dari partai yang telah membesarkan namanya. Dia pindah ke partai yang sudah ada, atau bahkan mendirikan partai baru. Selain alasan ideologis, ada juga pertimbangan pragmatis yang melandasi para politisi migrasi partai.

 

Salah satunya karena para politisi itu merasa tidak memiliki kesempatan tampil sebagai calon anggota legislatif (caleg) atau calon dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Sebagai kader yang telah berpeluh keringat membesarkan partai tentu wajar jika dia ingin memperoleh pembagian kue kekuasaan. Layaknya pekerja politik, dia tidak ingin menghabiskan usianya hanya untuk berjuang. Suatu saat dia ingin menikmati kekuasaan. Tetapi, persoalannya, kesempatan yang didambakan tidak kunjung datang.

 

Partai selalu memberi kesempatan kepada figur-figur baru yang lebih populer dan bergizi alias beruang. Dengan kekuatan modal yang dimiliki, mereka rajin melakukan survei popularitas dan elektabilitas. Tidak hanya itu, mereka juga rajin memberi asupan ”gizi” untuk partai dan elitenya. Atas dasar itulah elite partai lebih memilih mereka. Budaya politik ini menjadi pembenar guyonan yang menyatakan; ”Dalam berpolitik, Anda boleh jadi memiliki modal kapasitas, integritas, popularitas, dan elektabilitas. Namun, semua itu tak akan berarti jika Anda tidak memiliki modal berupa isi tas.”

 

Tergerusnya idealisme

 

Begitu mudahnya seseorang berganti partai menunjukkan bahwa idealisme sepanjang era politik transaksional ini telah tergerus tajam. Fenomena pindah partai juga menunjukkan kegagalan elite partai melakukan pendidikan politik. Padahal negara telah mengalokasikan anggaran besar untuk pendidikan politik kader partai. Sistem pengaderan di partai politik tampak belum berjalan ideal. Proses pencalonan anggota legislatif dalam pemilu, misalnya, sering kali tidak mempertimbangkan kapasitas, rekam jejak, komitmen, dan loyalitas.

 

Kondisi yang sama juga terjadi saat perekrutan pasangan calon (paslon) dalam pilkada. Perekrutan caleg dan paslon dalam pilkada lebih sering mengandalkan popularitas. Penentuan calon dalam proses-proses politik juga mengutamakan kepemilikan modal finansial. Calon-calon yang bergizi akhirnya lebih diutamakan daripada kader. Proses politik ini mengakibatkan banyak kader partai terpental. Kader-kader yang telah berjasa membesarkan partai tetapi miskin modal akhirnya merasa tidak nyaman dan memilih pindah partai.

 

Budaya pindah partai menunjukkan kebenaran doktrin yang dikemukakan ilmuwan politik Amerika Serikat, Harold Dwight Lasswell (1902-1978). Dia menyatakan bahwa politik adalah who gets, what, when, and how. Pernyataan ini menjelaskan bahwa politik itu berkaitan dengan siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana caranya. Dalam politik juga dikenal hukum bahwa tidak ada kawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi. Bahkan di antara aktivis politik menyatakan; ”perbedaan pendapat itu hal biasa. Yang tidak boleh terjadi adalah perbedaan pendapatan.”

 

Karena itulah tidak mengherankan jika perpecahan begitu lumrah terjadi dalam partai politik. Kultur ”memecah” dan ”berpecah” dalam partai politik seakan menjadi pemandangan umum. Banyak aktivis politik yang karena perbedaan pendapat dan ”pendapatan” dengan mudah menyatakan keluar dari partai lama untuk pindah ke partai lain atau mendirikan partai baru. Dengan berseragam partai baru mereka berharap eksistensinya sebagai aktivis politik kawakan dihargai.

 

Politisi berkarakter

 

Budaya berganti-ganti partai menjadikan negeri ini sangat sulit menemukan aktivis partai politik yang berkarakter. Politisi berkarakter adalah mereka yang konsisten berjuang dengan penuh idealisme. Politisi berkarakter juga senantiasa berusaha untuk menyatukan kata dengan perbuatan. Dalam pandangan Haedar Nashir (2019), politisi berkarakter adalah mereka yang pandai merawat kata. Mereka selalu bekerja dengan penuh kesungguhan untuk memperjuangkan nilai-nilai yang dianggap fundamental.

 

Politisi berkarakter juga selalu menjaga moralitas dalam berpolitik. Mereka tidak mudah tergoda bujuk rayu kekuasaan dan kepentingan politik pragmatis-jangka pendek. Sayangnya, masih banyak aktivis partai yang hanya mampu berpidato lantang saat kampanye dengan mengumbar janji-janji politik. Namun, tatkala kursi legislatif dan eksekutif sukses diraih, janji-janji politik tidak pernah diperjuangkan secara sungguh-sungguh.

 

Alih-alih menunaikan janji, mereka justru larut dalam tawar-menawar kekuasaan dan kepentingan politik. Sementara perbaikan nasib rakyat sebagaimana dipidatokan saat berkampanye seakan menguap begitu saja. Berbagai kasus korupsi, suap-menyuap, perilaku asusila, dan tindak pidana lain yang melibatkan politisi dari hampir semua partai menunjukkan bahwa idealisme berpolitik benar-benar tergerus. Ini menunjukkan bahwa panggung politik nasional lebih banyak dihiasi pekerja politik daripada politisi berkarakter.

 

Dalam kaitan ini penting direnungkan pernyataan James Freeman Clarke (1810-1888). Teolog Amerika ini berkata; ”The difference between a politician and a statesman is that a politician thinks about the next election while the statesman thinks about the next generation” (Perbedaan politikus dan negarawan adalah bahwa politikus berpikir tentang pemilu berikutnya ketika negarawan memikirkan generasi masa depan). Semoga di tengah pandemi yang melanda negeri ini panggung politik nasional lebih banyak diwarnai politisi berkarakter, sehingga berpotensi untuk melahirkan negarawan. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/18/melahirkan-politisi-berkarakter

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar