Melahirkan
Politisi Berkarakter Biyanto ; Guru Besar Filsafat UIN Sunan Ampel; Wakil
Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur |
KOMPAS, 18 Agustus 2021
Meski
masih menyisakan waktu tiga tahun lagi, para politisi tampaknya ingin
memastikan diri terlibat dalam proses-proses politik pada Pemilu 2024. Bagi
aktivis politik, waktu tiga tahun pasti terasa sangat singkat. Mereka tidak
ingin kehilangan momentum sedikit pun karena waktu terus berjalan. Untuk
itulah tahun-tahun menjelang pemilu selalu diwarnai fenomena migrasi para
politisi dari satu partai ke partai lainnya. Pergerakan para politisi itu
menjadikan panggung politik nasional semakin dinamis. Di
antara mereka yang berganti partai politik sejatinya merupakan pemain lama.
Mereka ingin mencoba suasana yang berbeda dengan berseragam partai politik
baru. Alasan mereka berganti partai politik sangat beragam. Disebabkan adanya
perbedaan idealisme dalam perjuangan, misalnya, seorang politisi dengan mudah
keluar dari partai yang telah membesarkan namanya. Dia pindah ke partai yang
sudah ada, atau bahkan mendirikan partai baru. Selain alasan ideologis, ada
juga pertimbangan pragmatis yang melandasi para politisi migrasi partai. Salah
satunya karena para politisi itu merasa tidak memiliki kesempatan tampil
sebagai calon anggota legislatif (caleg) atau calon dalam pemilihan kepala
daerah (pilkada). Sebagai kader yang telah berpeluh keringat membesarkan
partai tentu wajar jika dia ingin memperoleh pembagian kue kekuasaan.
Layaknya pekerja politik, dia tidak ingin menghabiskan usianya hanya untuk
berjuang. Suatu saat dia ingin menikmati kekuasaan. Tetapi, persoalannya,
kesempatan yang didambakan tidak kunjung datang. Partai
selalu memberi kesempatan kepada figur-figur baru yang lebih populer dan
bergizi alias beruang. Dengan kekuatan modal yang dimiliki, mereka rajin
melakukan survei popularitas dan elektabilitas. Tidak hanya itu, mereka juga
rajin memberi asupan ”gizi” untuk partai dan elitenya. Atas dasar itulah
elite partai lebih memilih mereka. Budaya politik ini menjadi pembenar
guyonan yang menyatakan; ”Dalam berpolitik, Anda boleh jadi memiliki modal
kapasitas, integritas, popularitas, dan elektabilitas. Namun, semua itu tak
akan berarti jika Anda tidak memiliki modal berupa isi tas.” Tergerusnya idealisme Begitu
mudahnya seseorang berganti partai menunjukkan bahwa idealisme sepanjang era
politik transaksional ini telah tergerus tajam. Fenomena pindah partai juga menunjukkan
kegagalan elite partai melakukan pendidikan politik. Padahal negara telah
mengalokasikan anggaran besar untuk pendidikan politik kader partai. Sistem
pengaderan di partai politik tampak belum berjalan ideal. Proses pencalonan
anggota legislatif dalam pemilu, misalnya, sering kali tidak mempertimbangkan
kapasitas, rekam jejak, komitmen, dan loyalitas. Kondisi
yang sama juga terjadi saat perekrutan pasangan calon (paslon) dalam pilkada.
Perekrutan caleg dan paslon dalam pilkada lebih sering mengandalkan
popularitas. Penentuan calon dalam proses-proses politik juga mengutamakan
kepemilikan modal finansial. Calon-calon yang bergizi akhirnya lebih
diutamakan daripada kader. Proses politik ini mengakibatkan banyak kader
partai terpental. Kader-kader yang telah berjasa membesarkan partai tetapi
miskin modal akhirnya merasa tidak nyaman dan memilih pindah partai. Budaya
pindah partai menunjukkan kebenaran doktrin yang dikemukakan ilmuwan politik
Amerika Serikat, Harold Dwight Lasswell (1902-1978). Dia menyatakan bahwa
politik adalah who gets, what, when, and how. Pernyataan ini menjelaskan
bahwa politik itu berkaitan dengan siapa mendapatkan apa, kapan, dan
bagaimana caranya. Dalam politik juga dikenal hukum bahwa tidak ada kawan
abadi, yang ada adalah kepentingan abadi. Bahkan di antara aktivis politik
menyatakan; ”perbedaan pendapat itu hal biasa. Yang tidak boleh terjadi
adalah perbedaan pendapatan.” Karena
itulah tidak mengherankan jika perpecahan begitu lumrah terjadi dalam partai
politik. Kultur ”memecah” dan ”berpecah” dalam partai politik seakan menjadi
pemandangan umum. Banyak aktivis politik yang karena perbedaan pendapat dan
”pendapatan” dengan mudah menyatakan keluar dari partai lama untuk pindah ke
partai lain atau mendirikan partai baru. Dengan berseragam partai baru mereka
berharap eksistensinya sebagai aktivis politik kawakan dihargai. Politisi berkarakter Budaya
berganti-ganti partai menjadikan negeri ini sangat sulit menemukan aktivis
partai politik yang berkarakter. Politisi berkarakter adalah mereka yang
konsisten berjuang dengan penuh idealisme. Politisi berkarakter juga
senantiasa berusaha untuk menyatukan kata dengan perbuatan. Dalam pandangan
Haedar Nashir (2019), politisi berkarakter adalah mereka yang pandai merawat
kata. Mereka selalu bekerja dengan penuh kesungguhan untuk memperjuangkan
nilai-nilai yang dianggap fundamental. Politisi
berkarakter juga selalu menjaga moralitas dalam berpolitik. Mereka tidak
mudah tergoda bujuk rayu kekuasaan dan kepentingan politik pragmatis-jangka
pendek. Sayangnya, masih banyak aktivis partai yang hanya mampu berpidato
lantang saat kampanye dengan mengumbar janji-janji politik. Namun, tatkala
kursi legislatif dan eksekutif sukses diraih, janji-janji politik tidak
pernah diperjuangkan secara sungguh-sungguh. Alih-alih
menunaikan janji, mereka justru larut dalam tawar-menawar kekuasaan dan
kepentingan politik. Sementara perbaikan nasib rakyat sebagaimana dipidatokan
saat berkampanye seakan menguap begitu saja. Berbagai kasus korupsi, suap-menyuap,
perilaku asusila, dan tindak pidana lain yang melibatkan politisi dari hampir
semua partai menunjukkan bahwa idealisme berpolitik benar-benar tergerus. Ini
menunjukkan bahwa panggung politik nasional lebih banyak dihiasi pekerja
politik daripada politisi berkarakter. Dalam
kaitan ini penting direnungkan pernyataan James Freeman Clarke (1810-1888).
Teolog Amerika ini berkata; ”The difference between a politician and a
statesman is that a politician thinks about the next election while the
statesman thinks about the next generation” (Perbedaan politikus dan
negarawan adalah bahwa politikus berpikir tentang pemilu berikutnya ketika
negarawan memikirkan generasi masa depan). Semoga di tengah pandemi yang
melanda negeri ini panggung politik nasional lebih banyak diwarnai politisi
berkarakter, sehingga berpotensi untuk melahirkan negarawan. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/18/melahirkan-politisi-berkarakter |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar