Tawa
Medusa Saras Dewi ; Pengajar filsafat di Universitas
Indonesia |
KOMPAS,
27 Februari
2021
Legenda menuturkan Medusa sebagai makhluk
yang mengerikan. Kepalanya ditumbuhi ular-ular yang menjuntai, mendesis
ganas. Matanya begitu mematikan sehingga siapa pun yang dipandangnya akan
berubah menjadi batu. Medusa menjadi simbol teror yang membuat gentar
musuh-musuhnya. Mitos tentang Medusa disampaikan dari masa ke masa oleh penyair
seperti Homer, Hesiod, dan Ovid. Medusa ditampilkan sebagai monster yang
akhirnya dikalahkan oleh sang protagonis Perseus. Tidak cukup membunuh Medusa
dengan cara memenggal kepala perempuan itu, Perseus juga membawa kepala itu
sebagai senjata. Sebab, mata yang mematikan itu tetap ampuh mengubah siapa
pun menjadi batu. Kepala Medusa yang dimutilasi itu digunakan Perseus untuk
mengalahkan raksasa laut, mengukuhkan posisi dirinya sebagai pahlawan yang
masyhur terukir di langit. Sejatinya kisah Medusa menceritakan tragedi
seorang perempuan. Pada mulanya Medusa adalah seorang pendeta yang berbakti
tulus di kuil Athena. Akan tetapi, kesetiaannya kepada Dewi Athena dibalas
dengan kepahitan. Suatu ketika Poseidon, mahadewa samudra,
menampakkan dirinya dan menggoda Medusa. Medusa menolak, sebagai seorang
pendeta, jiwa dan tubuhnya ia abdikan kepada kebijaksanaan. Poseidon pun
murka, tidak menerima bahwa seorang manusia berani melawan kuasa dewa.
Poseidon memerkosa Medusa di kuil suci. Dengan penuh rasa sakit hati dan trauma,
Medusa mengadu kepada Athena, disebabkan pemerkosaan itu Medusa menjadi
hamil. Ia menuntut keadilan kepada sang dewi. Alih-alih menghukum Poseidon
karena kejahatannya, Athena malah mencecar Medusa karena dianggap telah
menodai kuil. Ia juga menyalahkan Medusa untuk kehamilan
itu, bahkan menyangsikan kejahatan Poseidon. Vonis terakhir Athena adalah
mengutuk Medusa menjadi monster. Pembacaan kritis terhadap mitos ini akan
menguak bahwa Medusa adalah korban
pemerkosaan yang justru dipersalahkan karena berani mengungkapkan kebenaran.
Cerita ini masih sangat relevan dengan kejadian nyata di masa sekarang. Perempuan korban kekerasan seksual sulit
melaporkan kasusnya ke jalur hukum karena sering kali diragukan kata-katanya.
Orang-orang pun kerap bias terhadap korban dan berbalik menghakimi korban.
Korban yang melaporkan kekerasan acap kali justru mengalami kriminalisasi
sehingga banyak perempuan memilih senyap dan memendam duka. Bagaimana cara mencari pertolongan, atau
mengusahakan keadilan, saat perempuan dihabisi kata-katanya? Bahasa hukum
tumpul melihat kejahatan yang dialami oleh perempuan, yang sarat akan
ketimpangan kuasa, tidak mampu mengidentifikasi pemaksaan dan manipulasi yang
terjadi pada perempuan. Dalam beberapa kasus, fakta yang menyedihkan adalah
para korban pemerkosaan dianjurkan untuk menikahi pelaku kekerasan sebagai
bentuk pertanggungjawaban. Sulistyowati Irianto, Guru Besar Ilmu Hukum
di Universitas Indonesia, mengatakan perlunya reformasi hukum. Karena itulah
pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual begitu penting (Kompas, 12
Oktober 2020). RUU ini bertujuan melindungi perempuan sebagai subyek hukum.
Namun, reformasi hukum ini masih tertatih-tatih. Bahasa adalah arena kekuasaan. Perempuan
terus bergelut untuk menciptakan kata-kata baru yang mendorong kesetaraan.
Bahasa diskriminatif masih membelenggu perempuan. Kamus Bahasa Indonesia pun,
dalam subentri kata perempuan, tertera frasa-frasa penuh prasangka seperti
perempuan jalang, jangak (cabul), nakal, jahat, dan sebagainya. Sepatutnya
istilah-istilah ini perlu dirombak dengan yang konstruktif dan afirmatif
terhadap semangat kesetaraan. Hélène Cixous melalui esainya yang berjudul
”Tawa Sang Medusa” mengatakan bahwa pembebasan tubuh perempuan ditempuh
melalui bahasa. Ia menekankan pentingnya perempuan untuk menulis, menarasikan
hidupnya. Tulisan karya perempuan menjadi cara untuk menunjukkan perempuan
sebagai individual, sebagai dirinya sendiri. Sastra adalah lorong bawah tanah yang
memungkinkan perempuan untuk bergerilya membentuk kata-kata baru, cakrawala
baru, harapan untuk dunia baru. Seperti yang dilakukan oleh Ursula K Le
Guin, seorang penulis fiksi ilmiah dan juga seorang feminis. Cerita-cerita
fantasi yang ia karang mewakili keresahannya melihat kekerasan dan ketidakadilan
yang terjadi di dunia ini. Karyanya yang berjudul ”Kata untuk Dunia adalah
Hutan”, dipublikasi pada 1972, disambut oleh penikmat sastra sebagai cerita
genre fantasi yang kritis menyerang kolonialisme dan eksploitasi lingkungan
hidup. Ia mendeskripsikan proses penjajahan yang
keji di Planet Athshe, penjarahan, pemerkosaan, hingga pemusnahan budaya asli
setempat yang dilakukan manusia. Perempuan dan bumi senasib mengalami
penyiksaan dan penganiayaan oleh sistem budaya yang patriarkis. Semasa saya kanak-kanak, alangkah takutnya
saya pada leak. Leak bersemayam di sungai, di pantai, di heningnya hutan
bergumul dengan sihir. Orang-orang dilarang mengusik tempat-tempat keramat.
Jangan sampai mengundang kemarahan Ni Rangda, sang ratu para leak. Beranjak dewasa saya mempelajari berbagai
sisi dari mitos Calon Arang. Calong Arang merupakan cerita dari abad ke-11
yang mengisahkan kehidupan seorang janda yang hidup di Girah. Ia dituding
menyebarkan wabah menggunakan sihir hitam. Cok Savitri, seorang perempuan seniman
Bali, menyampaikan perspektif yang berbeda tentang Calon Arang. Melalui
pementasan yang berjudul Pembelaan Dirah, ia melancarkan protes terhadap
stigma seorang janda maupun citra penyihir jahat. Menurut dia, Calon Arang adalah perempuan
yang tangguh menantang kekuasaan, ”Semua benteng memiliki celah, begitu pun
keangkuhan, tak kecuali kekuasaan retak. Oleh lirik mataku.” Kecerdasan dan
kesaktiannya membuat pihak kerajaan khawatir. Bagi Cok Savitri, Calon Arang
adalah pelindung bumi yang tercederai. Ibu yang menaungi kaum yang terbuang. Saya tidak lagi merasakan takut pada
Rangda, bahkan saya merasa tenang. Kita perlu geram melihat ketidakadilan
yang terjadi. Kemarahan Calon Arang, serupa dengan kemarahan Medusa, adalah
kemarahan yang tidak akan beristirahat sampai kelaliman musnah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar