Jumat, 05 Maret 2021

 

Pengadaan Sertifikat Elektronik dalam Kerangka Reforma Agraria

 Usep Setiawan ; Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden

                                                        KOMPAS, 05 Maret 2021

 

 

                                                           

Polemik menyeruak ketika Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menandatangani Peraturan Menteri (Permen) No 1/2021 tentang Sertifikat Elektronik pada 12 Januari. Kebijakan pertanahan nasional terbaru di awal tahun ini sontak memicu diskursus publik mengenai sistem administrasi pertanahan.

 

Permen ini terbilang singkat, hanya 22 pasal. Yang dimaksud Sertifikat Elektronik/Sertifikat-el di peraturan ini adalah sertifikat yang diterbitkan melalui Sistem Elektronik dalam bentuk Dokumen Elektronik (Pasal 1, Ayat 8).

 

Sementara sertifikat adalah surat tanda bukti hak untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan (Pasal 1, Ayat 7).

 

Dinyatakan Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah dan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai hukum acara yang berlaku di Indonesia. Untuk keperluan pembuktian, Dokumen Elektronik bisa diakses melalui Sistem Elektronik (Pasal 5).

 

Sebagian pihak menganggap kebijakan ini tak bersambung dengan desakan publik guna mempercepat pelaksanaan redistribusi tanah dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka reforma agraria. Sertifikat elektronik dipandang bukan prioritas yang dibutuhkan masyarakat yang sedang bergulat dengan pandemi.

 

Masyarakat miskin lebih butuh tanah sebagai alat produksi untuk bangkit dari kemiskinan. Belum lagi, proses pendaftaran tanah masih menjadi pekerjaan yang harusnya diselesaikan Kementerian ATR/BPN.

 

Di lain sisi, kebijakan ini dipandang sejalan dengan visi Presiden Jokowi untuk menjadikan birokrasi pemerintahan lebih gesit dalam melayani kepentingan publik. Saat kampanye 2019, kerap disebutkan pemerintahan ke depan berwatak ”dilan” atau digital melayani. Sertifikat-el jadi salah satu bukti.

 

Dalam konteks kebijakan pertanahan nasional, sertifikat elektronik sebenarnya bagian tak terpisahkan dari penataan sistem administrasi pertanahan. Sertifikat tanah dikenal sebagai alat bukti secara hukum atas kepemilikan dan/atau penguasaan tanah yang diterbitkan Kementerian ATR/BPN.

 

Selama ini, masyarakat menerima sertifikat tanah dalam bentuk fisik berupa lembaran kertas bernama sertifikat hak milik. Kementerian ATR/BPN menerbitkan dan menyerahkan sertifikat tersebut setelah melalui proses pengukuran, pemetaan, dan pendaftaran tanah secara fisik di lapangan dan secara yuridis sesuai hukum berlaku.

 

Menurut Cristian Gamas (2020), administrasi pertanahan adalah usaha dan kegiatan yang dimulai sejak penetapan tujuan, serta cara-cara penyelenggaraan pembinaan organisasi, hingga termasuk segenap usaha dan manajemen yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan pemerintah dalam satu kesatuan yang terdiri atas rangkaian kegiatan penataan.

 

Kebutuhan pembaruan

 

Mengingat tujuan pembangunan di bidang pertanahan itu untuk menciptakan kemakmuran dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, pencapaiannya merujuk Purwaningdyah dan Wahyudi (2014), dilakukan melalui pengelolaan pertanahan dan pengembangan administrasi pertanahan.

 

Di dalamnya meliputi aspek pengaturan, penguasaan dan penatagunaan tanah, pengurusan hak-hak atas tanah, serta pengukuran, pemetaan, dan pendaftaran tanah. Semua aspek itu ruang lingkup bahasan administrasi pertanahan.

 

Lebih lanjut, penataan penguasaan tanah dilakukan melalui landreform sebagai bagian inti dari reforma agraria meliputi tugas mengawasi pembatasan penguasaan pemilikan dan penggunaan tanah.

 

Selain itu, fungsi sosial hak atas tanah juga menekankan pemilikan dan penguasaan tanah dibatasi, setiap pemilik tanah harus menggarap atau mengusahakan sendiri tanahnya, dan pemerintah menguasai tanah yang melebihi batas maksimum pemilik.

 

Pengurusan hak tanah adalah pelaksanaan hak menguasai dari negara yang memberi wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. Pengukuran dan pendaftaran tanah jadi upaya menjamin kepastian hukum oleh pemerintah.

 

Dalam hal ini, pemerintah mengadakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia, dengan pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut dan pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat (Purwaningdyah dan Wahyudi, 2014). Sertifikat elektronik merupakan komponen akhir dari keseluruhan sistem yang membutuhkan pembaruan.

 

Mencuatnya berita pemerintah akan menarik sertifikat model kertas dan menggantinya dengan sertifikat elektronik jadi sumber polemik. Belakangan, Menteri ATR/BPN mengklarifikasi simpang-siur berita tersebut. Kalau ada orang mengaku dari BPN akan menarik sertifikat tanah, jangan dilayani.

 

Sertifikat yang ada tetap berlaku, sampai dialihkan dalam bentuk media elektronik (3 Februari 2021). Kementerian ATR/BPN perlu menyiapkan strategi komunikasi publik yang lebih rapi sembari memperbaiki mekanisme dan tahapan transformasi pembuktian hak milik atas tanah tersebut. Harus dihindari peluang malaadministrasi yang merugikan banyak pihak.

 

Perlu dipastikan transformasi sertifikasi tanah dari kertas ke elektronik sejalan dengan penataan sistem administrasi pertanahan secara komprehensif dengan mengandalkan teknologi informasi berbasis digital.

 

Semua proses dan hasil dari penataan sistem administrasi pertanahan secara digital sehingga memudahkan publik menerima layanan pemerintah dan meminimalkan potensi korupsi di bidang pertanahan.

 

Penataan sistem administrasi pertanahan harus diletakkan dalam kerangka penataan agraria nasional yang disebut reforma agraria. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar