Drama
Kudeta di Demokrat Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta |
DETIKNEWS,
04 Februari
2021
PANGGUNG politik nasional kembali
diramaikan pernyataan panas Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tentang adanya
upaya kudeta oleh anggota dan mantan anggota Partai Demokrat yang terhubung
dengan orang luar. AHY secara eksplisit menyebut pihak luar yang dimaksud
ialah pejabat penting pemerintahan, yang secara fungsional berada di dalam
lingkar kekuasaan terdekat dengan Presiden Jokowi. Meski AHY tak langsung menyebut nama,
setelah konferensi pers para politikus Partai Demokrat di sekitar dia
ramai-ramai mengonfirmasikan salah satu nama dari pihak istana yang dimaksud
ialah Moeldoko, yang saat ini menjabat Kepala Staf Kepresidenan. Komunikasi
politik AHY sontak menjadi kegaduhan dan memantik ragam pandangan dalam
memaknai konteks dan dampak dari pernyataan itu. Gerakan
politik Apa yang dilakukan AHY dan para petinggi
Partai Demokrat bisa dimaknai dalam dua konteks. Pertama, ini merupakan
bagian dari mekanisme pertahanan diri AHY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat
bersama jajaran kepengurusan yang dibentuknya saat ini. Pesan benderang
disampaikan AHY yang menunjukkan kegundahannya sebagai nakhoda Partai
Demokrat. Menurutnya, ada gerakan politik yang mengarah ke upaya
pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat secara paksa, yang tentu
mengancam kedaulatan dan eksistensi Partai Demokrat. Itu semacam pernyataan menyerang, yang
sesungguhnya bisa kita maknai sebagai upaya melindungi diri. Dengan membuka
pernyataan ke publik, sepertinya diharapkan skenario faksi-faksi di luar AHY,
yang awalnya bergerak senyap melalui jejaring antarpribadi dan organisasi di
daerah, akan didorong muncul ke permukaan. Pun demikian dengan pernyataan yang
menyerang pejabat di sekitar Jokowi, sekaligus mengirim surat permintaan
klarifikasi, menjadi cara AHY yang mungkin juga dipandu SBY untuk membawa
pertarungan di bilik senyap internal Partai Demokrat ke tengah pergumulan
opini publik multikanal. Cara seperti ini mengingatkan langgam komunikasi
politik SBY di masa menjabat Presiden RI dan juga nakhoda Partai Demokrat. Kedua, konteksnya ialah manajemen isu.
Khususnya, terhubung dengan meresonansikan persoalan yang dihadapinya menjadi
publisitas politik. Suka tidak suka, saat pernyataan panas ini keluar dari
AHY, media massa sontak mengulasnya, termasuk jejaring media sosial diramaikan
dengan polemik ini. Drama politik yang tadinya bersifat
internal dibawa ke panggung depan, dibumbui dengan diksi-diksi menyentak
seperti kudeta, gerakan politik, keterlibatan orang istana, dukungan sejumlah
menteri dan pejabat penting pemerintahan Jokowi. Seakan mau memberi gambaran,
betapa gentingnya persoalan yang kini dihadapi AHY sebagai nakhoda Partai
Demokrat. Jika kita tempatkan narasi kudeta di tubuh
Partai Demokrat dari sisi pengelolaan partai, tampak memang ini menjadi
semacam gelembung isu yang ditiupkan. Mudahkah mengganti ketua umum sebuah
partai jika struktur kepengurusan partai dari pusat hingga daerah solid
mendukung AHY? Tentu tidak mudah, bukan? Semua partai mempunyai mekanisme
internal yang bersandar pada konstitusi organisasi. Jikapun ada gerakan penggulingan AHY, butuh
upaya penggalangan basis dukungan secara masif dari pengurus-pengurus daerah.
Jikapun orang dari internal, baik masih anggota maupun mantan anggota Partai
Demokrat, melakukan gerakan politik dengan menggandeng Moeldoko sebagai
katalisator perubahan rezim di Demokrat, jalan ini pun masih membutuhkan
proses panjang berliku untuk akhirnya bisa bermanuver menggoyang dan
mengudeta AHY. Substansi
persoalan Tentu, publik jangan terjebak pada panggung
drama elite semata, tetapi harus melihat substansi persoalan utamanya agar
mendapatkan pembelajaran dari peristiwa ini. Hal substantif yang penting
diberi catatan ada dua. Pertama, soal mekanisme tata kelola parpol di
Indonesia. Kritik tajam dalam tulisan Thomas Carothers, di Jurnal Carnegie
Endowment in International Peace (2006), Confronting the Weakest Link: Aiding
Political Parties in New Democracies, yang mendeskripsikan partai di
Indonesia sebagai organisasi yang sangat leader-centric. Partai didominasi
suatu lingkaran kecil elite politikus. Situasi ini biasanya bermula dari seseorang
yang merasa menjadi pemilik saham terbesar dalam partai. Padahal, partai itu
ialah entitas publik yang menuntut perlakuan demokratis bagi semua anggota
yang ada di dalamnya. Tata kelola organisasi parpol wajib dibenahi melalui
aturan dan standar modern. Kaderisasi harus berjalan melalui tahapan secara
berkelanjutan, kontrol atas potensi penyimpangan dioptimalkan dan membangun identitas,
serta budaya partai yang jelas. Kekuatan figur yang begitu dominan membuat
partai berada dalam situasi yang mengalami penurunan kualitas, misalnya,
tidak memberi ruang kompetisi yang demokratis dalam pengisian jabatan-jabatan
utama partai. Seorang peneliti Paige Johnson Tan dalam tulisannya, Reining
the Reign of the Parties: Political Parties in Contemporary Indonesia, di
Asian Journal of Political Science, vol 20, nomor 2 2012, mendeskprisikan
sistem kepartaian Indonesia sedang berada dalam proses deinstitusionalisasi,
dan memprediksi bahwa partai-partai akan melemah dengan cara yang tak jelas. Figur utama akhirnya bisa melampaui
kewenangan konstitusi organisasi. Meskipun secara formal seremonial mekanisme
demokratisasi ditunjukkan ada sebagai proses, dari sisi kualitas
penyelenggaraannya jauh dari nilai demokratis. Misalnya di kasus Partai
Demokrat, agenda pemilihan ketua umum baru di Kongres V yang digelar di JCC
Senayan, Minggu (15/3/2020), hanya memunculkan AHY menjadi satu-satunya kader
yang mencalonkan diri sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat. Mekanisme
seperti ini suatu hari bisa memunculkan ketidakpuasan sebagian kader dan akan
meledak menjadi konflik organisasi pada waktunya. Saat ini, mengutip mantan Ketua DPP Partai
Demokrat, Yus Sudarso, yang membeberkan paling tidak ada empat faksi di luar
AHY. Ada faksi pendiri yang notabenenya faksi dari ketua umum pertama, Subur
Budi Santoso. Faksi Ketua Umum Partai Demokrat hasil kongres 2005 di Bali,
yaitu Hadi Utomo. Ada faksi Anas Urbaningrum hasil dari Kongres Bandung 2010,
serta faksi Marzuki Alie. Faksi di tubuh partai itu hal biasa. Yang
terpenting, bagaimana mengelola konflik secara baik melalui mekanisme
organisasi dan kepiawaian nakhoda partai dalam mengelolanya. Kedua, soal posisi Moeldoko dan pejabat
lain yang ada di pemerintahan Presiden Jokowi, jika memang ada upaya gerakan
politik untuk penetrasi ke Partai Demokrat tentu tidak bisa dibenarkan. Saat
ini demokrasi kita sedang ditata secara bersama-sama. Jangan karena motif politik
elektoral di masa mendatang, sebut saja 2024, tergoda untuk menempuh cara
instan menjadi nakhoda partai orang lain. Indonesia butuh ekosistem politik yang
demokratis melalui penguatan institusi partai. Presiden Jokowi juga akan
dirugikan manuver orang-orang yang membantunya jika ada di antara mereka yang
memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan diri dan kelompok mereka di masa
mendatang. Jika membaca peta saat ini, untuk
kepentingan politik keseimbangan Kabinet Indonesia Maju, dukungan nyata
kekuatan politik sudah lebih dari cukup. Jadi, tak perlu dan memang tidak
seharusnya penetrasi ke Partai Demokrat. Untuk apa? Kecuali memang ada orang
per orang di sekitar Jokowi yang bermain untuk masa depan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar