Demokrasi
Mandek Terhambat Paham Kekeluargaan Despan Heryansyah ; Peneliti Pusat Studi Hukum
Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta |
KOMPAS,
04 Maret
2021
Tulisan ini akan saya awali dengan
memberikan beberapa kasus yang menarik untuk ditemukan pangkal
permasalahannya hingga ke paling dasar. Pertama, dalam banyak kasus pelanggaran
terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, misalnya suatu ormas secara
anarkistis hendak mengacaukan atau merusak acara keagamaan/sosial kelompok
agama tertentu, terkhusus minoritas, upaya yang dilakukan oleh kepolisian
dalam memediasi kasus tersebut adalah dengan membujuk panitia atau pengurus
organisasi untuk membatalkan acara tersebut. Pertimbangan yang diajukan selalu untuk
melindungi dan menjaga persatuan dan kesatuan. Logika ini sebenarnya
terbalik, harusnya tindakan yang dilakukan oleh kepolisian adalah
perlindungan terhadap hak beragama dan berkeyakinan kelompok agama tersebut,
sekalipun harus berhadapan langsung dengan kelompok vigilante. Pertanyaan mendasarnya mengapa fenomena di
atas marak terjadi, di mana pilihan terhadap melindungi persatuan lebih utama
dari pada perlindungan hak? Kadua, kasus lain, misalnya, seorang tokoh
atau pejabat negara yang mengenyam pendidikan dengan baik sangat menjunjung
tinggi toleransi dan kebebasan. Namun, jika sudah masuk pada isu-isu
sensitif, misalnya minoritas agama, komunis, hukuman mati atau LGBTQ,
sikapnya 180 derajat berubah dari sebelumnya. Kembali pada pertanyaan dasarnya, mengapa
kebanyakan masyarakat Indonesia memiliki standar ganda dalam berbicara
mengenai hak dan kebebasan? Tentu saja, kita dapat menyebut berbagai
bentuk kasus lain dengan asal masalah yang sama, perlindungan hak dan
kebebasan pada satu sisi, kemudian persatuan dan standar ganda pada sisi yang
lain. Ini tentu saja tidak terjadi hanya dalam ruang sosial kehidupan
bermasyarakat, tetapi juga banyak kita temui dalam politik hukum nasional
Indonesia. Stagnasi
menuju degradasi Dalam pandangan penulis, mengutip Jeremy
Menchik, toleransi dan demokrasi yang hidup berkembang di Indonesia adalah
toleransi dan demokrasi yang tidak muncul atas penegasan hak-hak individual,
seperti halnya di Barat. Toleransi dan demokrasi lebih diidentikkan dengan
perlindungan atas hak kolektif melalui paham kekeluargaan. Paham kekeluargaan
ini dikenal dengan banyak nama, di antaranya masyarakat organik atau filsafat
integralistik, yang keduanya dianggap lebih lekat dengan sejarah perkembangan
masyarakat Indonesia. Negara, ide kekeluargaan, dan persatuan
menjadi pusat diri yang mendasari seluruh cara pandang Indonesia dan sebagian
besar elitnya dalam melihat demokrasi, hak asasi manusia, dan politik. Para pemimpin politik, bahkan yang pernah
mengenyam pendidikan Barat, akan tetap mempertahankan dan membela ideal
mengenai toleransi. Namun, pembelaan itu lebih didasarkan pada pandangan lama
mengenai pentingnya menjaga persatuan dalam kekeluargaan dan harmoni, bukan
dalam kerangka pemenuhan dan perlindungan hak. Hal serupa juga terjadi dalam politik hukum
di Indonesia (kekuasaan hukum kerap kali dipakai untuk memastikan harmoni dan
persatuan), yang lebih banyak mengakomodasi kepentingan mayoritas ketimbang
mewujudkan keadilan hukum dan mengukuhkan hak-hak warga negara. Di sini, kekeluargaan dan persatuan menjadi
dasar yang melampaui dan sekaligus mengindahkan pasal-pasal mengenai hak
asasi di dalam konstitusi Indonesia. Dengan kata lain, organisme menjadi
kerangka dasar dan orientasi ideologis yang mendasari seluruh aspirasi
tentang Indonesia. Ia bersifat elusif karena dengan mudah bisa disesuaikan
dengan kebutuhan tipe rezim yang berbeda-beda. Elusivitas itu bisa kita lihat dalam
berbagai jargon yang digunakan oleh penguasa sejak dulu hingga kini, kita
melihat bagaimana ideal-ideal mengenai gotong royong, kekeluargaan, harmoni,
stabilitas nasional, dipakai secara bergantian oleh kekuatan politik yang
berbeda-beda, bahkan oleh partai nasionalis dan partai Islam masa kini. Kehendak dan obsesi kuat untuk meletakkan
seluruh kehidupan sosial sebagai satu kesatuan dalam kerangka kekeluargaan,
mendorong tendensi untuk kian menegaskan kesatuan dan ilusi akan kebersamaan
dan homogenitas politik. Dengan demikian, negara memandang diri
sebagai entitas pertama sekaligus terakhir di dalam masyarakat. Akibatnya, ia
menolak seluruh pandangan mengenai hak-hak individual (Robertus Robert &
Todung Mulya Lubis, 2020: 149). Penolakan terhadap hak individual merupakan
penolakan primordial yang dilakukan secara sengaja dalam sejarah Indonesia.
Itulah yang menyebabkan sulitnya menjejakkan budaya hak asasi manusia yang
kuat di Indonesia, bahkan setelah UUD N RI Tahun 1945 beberapa kali
diamendemen dan mencantumkan pasal-pasal mengenai hak asasi manusia yang
lebih luas di dalamnya. Ini pula yang menyebabkan demokrasi
Indonesia yang tak benar-benar tumbuh, belakangan justru semakin
terdegradasi. Konstitusi berubah, tetapi watak dasar negara dan ideologi
kekeluargaan di dalamnya tetap. Itu sebabnya halangan terbesar demokrasi
dan hak asasi manusia selalu muncul dengan argumen ”menjaga persatuan
nasional”. Bahkan, secara jujur kita harus mengakui bahwa demokrasi dan hak
asasi manusia tak pernah menjadi pilihan negara, ide-ide ini muncul dan
tumbuh karena digaungkan oleh tokoh-tokohnya dalam mimbar akademik, lalu
diadvokasikan oleh civil society secara sporadis. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar