Jumat, 05 Maret 2021

 

Demokrasi Mandek Terhambat Paham Kekeluargaan

 Despan Heryansyah ; Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta

                                                        KOMPAS, 04 Maret 2021

 

 

                                                           

Tulisan ini akan saya awali dengan memberikan beberapa kasus yang menarik untuk ditemukan pangkal permasalahannya hingga ke paling dasar.

 

Pertama, dalam banyak kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, misalnya suatu ormas secara anarkistis hendak mengacaukan atau merusak acara keagamaan/sosial kelompok agama tertentu, terkhusus minoritas, upaya yang dilakukan oleh kepolisian dalam memediasi kasus tersebut adalah dengan membujuk panitia atau pengurus organisasi untuk membatalkan acara tersebut.

 

Pertimbangan yang diajukan selalu untuk melindungi dan menjaga persatuan dan kesatuan. Logika ini sebenarnya terbalik, harusnya tindakan yang dilakukan oleh kepolisian adalah perlindungan terhadap hak beragama dan berkeyakinan kelompok agama tersebut, sekalipun harus berhadapan langsung dengan kelompok vigilante.

 

Pertanyaan mendasarnya mengapa fenomena di atas marak terjadi, di mana pilihan terhadap melindungi persatuan lebih utama dari pada perlindungan hak?

 

Kadua, kasus lain, misalnya, seorang tokoh atau pejabat negara yang mengenyam pendidikan dengan baik sangat menjunjung tinggi toleransi dan kebebasan. Namun, jika sudah masuk pada isu-isu sensitif, misalnya minoritas agama, komunis, hukuman mati atau LGBTQ, sikapnya 180 derajat berubah dari sebelumnya.

 

Kembali pada pertanyaan dasarnya, mengapa kebanyakan masyarakat Indonesia memiliki standar ganda dalam berbicara mengenai hak dan kebebasan?

 

Tentu saja, kita dapat menyebut berbagai bentuk kasus lain dengan asal masalah yang sama, perlindungan hak dan kebebasan pada satu sisi, kemudian persatuan dan standar ganda pada sisi yang lain. Ini tentu saja tidak terjadi hanya dalam ruang sosial kehidupan bermasyarakat, tetapi juga banyak kita temui dalam politik hukum nasional Indonesia.

 

Stagnasi menuju degradasi

 

Dalam pandangan penulis, mengutip Jeremy Menchik, toleransi dan demokrasi yang hidup berkembang di Indonesia adalah toleransi dan demokrasi yang tidak muncul atas penegasan hak-hak individual, seperti halnya di Barat.

 

Toleransi dan demokrasi lebih diidentikkan dengan perlindungan atas hak kolektif melalui paham kekeluargaan. Paham kekeluargaan ini dikenal dengan banyak nama, di antaranya masyarakat organik atau filsafat integralistik, yang keduanya dianggap lebih lekat dengan sejarah perkembangan masyarakat Indonesia.

 

Negara, ide kekeluargaan, dan persatuan menjadi pusat diri yang mendasari seluruh cara pandang Indonesia dan sebagian besar elitnya dalam melihat demokrasi, hak asasi manusia, dan politik.

 

Para pemimpin politik, bahkan yang pernah mengenyam pendidikan Barat, akan tetap mempertahankan dan membela ideal mengenai toleransi. Namun, pembelaan itu lebih didasarkan pada pandangan lama mengenai pentingnya menjaga persatuan dalam kekeluargaan dan harmoni, bukan dalam kerangka pemenuhan dan perlindungan hak.

 

Hal serupa juga terjadi dalam politik hukum di Indonesia (kekuasaan hukum kerap kali dipakai untuk memastikan harmoni dan persatuan), yang lebih banyak mengakomodasi kepentingan mayoritas ketimbang mewujudkan keadilan hukum dan mengukuhkan hak-hak warga negara.

 

Di sini, kekeluargaan dan persatuan menjadi dasar yang melampaui dan sekaligus mengindahkan pasal-pasal mengenai hak asasi di dalam konstitusi Indonesia.

 

Dengan kata lain, organisme menjadi kerangka dasar dan orientasi ideologis yang mendasari seluruh aspirasi tentang Indonesia. Ia bersifat elusif karena dengan mudah bisa disesuaikan dengan kebutuhan tipe rezim yang berbeda-beda.

 

Elusivitas itu bisa kita lihat dalam berbagai jargon yang digunakan oleh penguasa sejak dulu hingga kini, kita melihat bagaimana ideal-ideal mengenai gotong royong, kekeluargaan, harmoni, stabilitas nasional, dipakai secara bergantian oleh kekuatan politik yang berbeda-beda, bahkan oleh partai nasionalis dan partai Islam masa kini.

 

Kehendak dan obsesi kuat untuk meletakkan seluruh kehidupan sosial sebagai satu kesatuan dalam kerangka kekeluargaan, mendorong tendensi untuk kian menegaskan kesatuan dan ilusi akan kebersamaan dan homogenitas politik.

 

Dengan demikian, negara memandang diri sebagai entitas pertama sekaligus terakhir di dalam masyarakat. Akibatnya, ia menolak seluruh pandangan mengenai hak-hak individual (Robertus Robert & Todung Mulya Lubis, 2020: 149).

 

Penolakan terhadap hak individual merupakan penolakan primordial yang dilakukan secara sengaja dalam sejarah Indonesia. Itulah yang menyebabkan sulitnya menjejakkan budaya hak asasi manusia yang kuat di Indonesia, bahkan setelah UUD N RI Tahun 1945 beberapa kali diamendemen dan mencantumkan pasal-pasal mengenai hak asasi manusia yang lebih luas di dalamnya.

 

Ini pula yang menyebabkan demokrasi Indonesia yang tak benar-benar tumbuh, belakangan justru semakin terdegradasi. Konstitusi berubah, tetapi watak dasar negara dan ideologi kekeluargaan di dalamnya tetap.

 

Itu sebabnya halangan terbesar demokrasi dan hak asasi manusia selalu muncul dengan argumen ”menjaga persatuan nasional”. Bahkan, secara jujur kita harus mengakui bahwa demokrasi dan hak asasi manusia tak pernah menjadi pilihan negara, ide-ide ini muncul dan tumbuh karena digaungkan oleh tokoh-tokohnya dalam mimbar akademik, lalu diadvokasikan oleh civil society secara sporadis. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar