Minggu, 11 Maret 2018

Menimbang Urgensi Lobi Islam Indonesia

Menimbang Urgensi Lobi Islam Indonesia
Manaf Maulana  ;   Peneliti Budaya Politik
                                                  KORAN SINDO, 06 Maret 2018



                                                           
SEPERTI yang pernah dirilis media, Donald Trump mengakui Yerusalem se­bagai ibu kota Israel dan hendak memindahkan kantor keduta­an Amerika dari Tel Aviv ke Yerusalem. Langkah Trump sebagai balas budi kepada Lobi Yahudi Amerika yang telah mendukungnya sehingga menang pemilihan presiden (pilpres).

Ketika kampanye menjelang pilpres, Trump memang ber­janji akan memenuhi keinginan Lobi Yahudi Amerika jika me­reka mau mendukungnya, yakni mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan menem­pat­kan kantor kedutaan Amerika di Yerusalem.

Fakta politik di dalam negeri Amerika tersebut layak dicer­mati oleh tokoh-tokoh Islam di Indonesia berkaitan dengan urgensi membentuk Lobi Islam Indonesia (selanjutnya dising­kat LII), dengan maksud dan tujuan memperjuangkan ke­pen­tingan Islam dalam arti luas di negeri ini. Harus diakui sampai saat ini masih banyak kepentingan Islam di negeri ini yang belum men­dapat perhatian pemerin­tah se­cara pro­porsional, karena memang belum ada pihak yang memper­juang­kan­nya dengan serius.

Layak di­cer­mati, kepen­tingan Islam di negeri ini jangan difokuskan hanya di ranah po­litik, melainkan juga di ranah-ranah lain yang lebih kompleks, agar semua ormas atau masya­rakat Islam bisa ber­satu untuk memper­juang­kan­nya.

Kemakmuran Masjid 

Jika LII bisa dibentuk, yang pertama diajukan agar dipenuhi oleh pemerintah adalah ma­salah mewujudkan ke­mak­mur­an masjid-masjid di seluruh pelosok negeri. Misalnya, LII mendesak pemerintah untuk memberi gaji dan tunjangan resmi bagi penjaga masjid yang tugasnya sama dengan penjaga sekolah negeri. Idealnya, kemakmuran semua masjid di Indonesia menjadi tanggung jawab Kementerian Agama.

Pasalnya, masjid-masjid di seluruh pelosok negeri juga di­jadikan tempat mendidik anak-anak bangsa agar menjadi ma­nusia yang bertakwa. Sulit di­bayangkan apa jadinya anak-anak bangsa jika hanya belajar di sekolah, tapi tidak pernah be­lajar beribadah di masjid-masjid, padahal mayoritas pen­duduk negeri adalah umat Islam.

Selama ini, pemerintah tak pernah peduli kebutuhan Masjid, kecuali sebatas mem­bantu dana pembangunan kalau ada panitia yang mengajukan pro­posal, itu pun sebatas dana hi­bah yang rentan dikorupsi. Pada titik ini, tidak ada anggaran resmi yang dialokasikan untuk kepentingan masjid. Padahal, masjid sangat penting untuk menunjang pembangunan sum­ber daya manusia.

Jika pemerintah bersedia mengalokasikan anggaran untuk kemakmuran masjid, tentu perkembangan Islam akan lebih maju, yang artinya semakin bermanfaat bagi pembangunan sumber daya manusia yang bermuara pada terwujudnya manusia-manusia Indonesia yang bertakwa. Jika manusia Indonesia makin bertakwa, ke depan mungkin kasus korupsi tidak marak lagi.

Pendidikan Islam 

Pembentukan LII tam­pak­nya memiliki urgensi yang dapat dipahami semua pihak, jika dikaitkan juga dengan kepen­tingan pendidikan Islam. Da­lam hal ini, urusan pendidikan Islam khususnya di tingkat desa belum mendapat perhatian pemerintah secara memadai.

Faktanya, sampai sekarang madrasah diniyah di pelosok desa-desa dan guru­nya tidak mem­per­oleh perhatian pro­por­sional dari pemerintah. Gedung­­nya di­ba­ngun dengan dana swadaya ma­sya­rakat setempat, gurunya tidak memperoleh gaji mau­pun tun­jang­­an dari pe­me­rintah. Dalam hal ini, peme­rin­tah abai karena menganggap pen­didikan Islam semata-mata urus­an umat Islam, bukan urus­­an pemerintah.

Padahal, pendidikan Islam di tingkat desa telah nyata-nyata berkontribusi penting dalam pembangunan sumber daya manusia. Misalnya, layak disebut nyaris semua tokoh ulama di negeri ini pernah meng­enyam pendidikan di madrasah diniyah (termasuk pondok pesantren) di desa masing-masing.

Namun, sayangnya, ke­ba­nyak­an tokoh ulama di negeri ini terlalu sibuk mengurus ormas dan partai sehingga lupa mendesak pemerintah untuk peduli madrasah diniyah de­ngan proporsional. Karena itu, diperlukan lembaga baru se­perti LII yang bersedia men­desak pemerintah agar peduli pendidikan Islam tingkat desa yang notabene nonformal ter­sebut.

 Selain itu, urusan pen­didik­an Islam dalam format pondok pesantren juga belum men­dapat perhatian yang propor­sional dari pemerintah. Aki­bat­nya banyak pondok pesantren yang kondisinya memprihatin­kan, misalnya santri-santrinya tidur di lantai tanpa kasur. Dalam hal ini, kondisi memprihatinkan tersebut malah sering dianggap sebagai tradisi yang perlu dilestarikan. Pada­hal, dari segi medis, kondisi tersebut jelas kurang sehat.

Kekuatan Politik 

Jika LII  terbentuk, tentu bisa juga digunakan dalam me­lakukan tawar menawar ter­hadap parpol dan kandidat yang akan berlaga dalam kontestasi demokrasi. Persis Lobi Yahudi Amerika yang mampu melakukan tawar-menawar terhadap partai dan kandidat pemimpin yang hendak didukungnya.

Dengan kata lain, jika sudah bisa dibentuk, LII sebagai ke­kuat­an sosial agama layak di­per­hitungkan oleh parpol dan kandidat pemimpin. Pada titik ini, LII bisa menawarkan kerja sama yang saling menguntung­kan. Misalnya parpol dan kan­didat pemimpin yang didukung LII, kalau menang dan berkuasa harus bersedia membantu me­wujudkan hal-hal yang diingin­kan LII.

Selama ini, meskipun me­miliki kekuatan sosial agama, ormas-ormas Islam di negeri ini  belum cukup kuat melakukan tawar-menawar dengan parpol dan kandidat pemimpin karena masing-masing memiliki agenda dan kepentingan sendiri-sendiri. Akibatnya, ormas-ormas Islam cenderung hanya diperalat par­pol dan kan­didat untuk kepen­tingan po­litik tanpa mem­per­oleh imbal­an yang proporsional.

Bahkan, sering kali parpol dan kandidat pemimpin yang di­dukung ormas tidak mau mem­bantu ormas setelah menang kontestasi demokrasi; dengan alasan tugasnya bukan untuk ormas, melainkan untuk bang­sa dan negara. Fakta ini tentu saja merugikan ormas yang telah mendukungnya dengan susah payah.

Sudah saatnya tokoh ormas Islam mempertimbangkan pembentukan LII ini untuk memperjuangkan kepentingan umat dalam arti luas di negeri ini, jika membentuk kekuatan politik sering terkendala oleh perbedaan atau friksi ideologi. Artinya, jika LII bisa dibentuk, ormas-ormas Islam yang telah ada akan tetap ada, tapi semua tokoh ormas Islam sepakat memperjuangkan kepentingan Islam dalam arti luas melalui LII.

Harus diakui, selama ini Islam sebagai agama yang di­anut mayoritas rakyat Indo­nesia cen­derung tidak diutamakan oleh pemerintah jika tidak ada yang mendesaknya untuk diutama­kan. Misalnya kasus penistaan agama tahun lalu di Jakarta, nyaris diabaikan oleh peme­rin­tah manakala tidak ada kelom­pok massa yang terus men­desak agar pelakunya diproses hukum.

Dengan fokus berjuang mengutamakan Islam dalam arti luas, pembentukan LII tak perlu terkendala sikap saling curiga atau tuduhan makar. Namanya saja lobi, yang di­uta­makan tentu konsultasi untuk mencapai konklusi yang adil bagi semua pihak, bukan agitasi atau intimidasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar