Bahaya
Laten Mafia Hukum
Hasrul Halili ; Dosen
dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Antikorupsi
Fakultas Hukum UGM
|
KOMPAS, 02 Desember
2016
Rasanya belum lama Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tangan
dua hakim Pengadilan Negeri Bengkulu karena menerima suap dalam penanganan
perkara korupsi Rumah Sakit Muhammad
Yunus, kini muncul kembali berita tertangkap tangannya seorang jaksa oleh tim Satuan Tugas Sapu Bersih
Pungutan Liar Kejaksaan Jawa Timur.
Tak berselang lama terdengar berita penangkapan kepala unit
Direktorat Tipikor Bareskrim Polri
beserta rekannya oleh tim Satgas Saber Pungli Polri karena menerima suap pada
kasus cetak sawah BUMN tahun 2012-2014 di Kalimantan. Bersama sang polisi,
terseret seorang advokat yang diduga sebagai salah satu pelaku penyuapan.
Laten dan kian
canggih
Rangkaian kejadian penangkapan tersebut menunjukkan beberapa hal
penting.
Pertama, betapa masih pekatnya praktik mafia hukum menyelimuti
dunia peradilan. Sebagaimana suatu kejahatan laten, praktik tersebut masih
terus terpendam dan menjadi bagian dari karut-marut masalah peradilan yang
tak kunjung selesai dari dulu hingga sekarang. Singkat kata, bahaya laten
mafia hukum masih merupakan "mambang" yang bersimaharajalela di
peradilan.
Satjipto Raharjo mengatakan, kosakata mafia hukum telah eksis di
Indonesia sejak tahun 1970-an. Saat
itu terjadi skandal dalam peradilan korupsi yang menyeret Budiaji (petinggi
Depot Urusan Logistik Kalimantan Timur).
Pengacara Budiaji yang bernama Sunarto Surodibroto (Ketua
Peradin DPC Jakarta) dipecat sementara dari keanggotaan Peradin, akibat
dituding melakukan praktik mafia peradilan, dengan mengumpulkan dana untuk
dibagi kepada aparat peradilan, demi memengaruhi putusan pengadilan (Satgas
Pemberantasan Mafia Hukum, 2010).
Cerita tahun 1970-an tersebut berlanjut dan paralel dengan
laporan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang dipublikasikan tahun 2016,
yang mencatat maraknya praktik pungli di sektor penegakan hukum,
tertinggi dibandingkan dengan sektor
lain. ORI mengungkapkan sekitar 51 persen aduan pungli adalah menyangkut
institusi pengadilan, kejaksaan, kepolisian, dan lembaga pemasyarakatan.
Watak laten mafia hukum inilah yang oleh seorang hakim di
Australia, Michael Kirby (2000), disebut sebagai way of life (gaya hidup)
menyedihkan. Gaya hidup tersebut merasuk ke dalam ceruk persidangan dan
administrasi peradilan, serta berakibat putusan yang memberikan keadilan
hanya bisa didapat dengan cara menyuap.
Kedua, modus mengenai praktik mafia hukum ternyata juga terus
berkembang semakin canggih seiring
dengan perkembangan berbagai metode untuk intersepsinya. Sejauh ini, untuk
Indonesia, sudah ada berbagai buku yang merupakan hasil kajian mengenai mafia
hukum yang cukup serius, yang mendokumentasikan dengan baik mengenai
modus-modus dalam praktik mafia hukum.
Bisa disebut sebagai contoh: Menyingkap Tabir Mafia Peradilan
yang diterbitkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), Runtuhnya Institusi
Mahkamah Agung yang ditulis oleh Sebastian Pompe, Mafia Hukum yang disusun
oleh Satgas Pemberantasan Mafia Hukum pada masa Susilo Bambang Yudhoyono, dan
lain-lain.
Hasil bacaan terhadap buku- buku tersebut akan menghantarkan
pada penyimpulan mengenai watak terorganisasi dan sistematis praktik mafia
hukum (sebagaimana ciri kejahatan mafioso), informasi mengenai modus yang sophisticated, keterlibatan multiaktor
penegak hukum, dan rentang terjadinya dari proses hulu sampai hilir
peradilan.
Ilustrasi kisah mengenai
"joki napi" di LP Bojonegoro, Jawa Timur, pada tahun 2010, di mana
ada seseorang yang menjadi pengganti narapidana yang sedang di penjara, yang
diduga melibatkan petugas LP, jaksa, dan advokat, selain menunjukkan
kelihaian cara bekerja mafia hukum juga menunjukkan betapa absurd dan
(kadang) tak terbayangkannya kejahatan yang dilakukan oleh mereka (Kompas,
6/1/2011).
Efektivitas
satgas pungli
Ketiga, keberadaan dari tim Satgas Saber Pungli yang dibentuk
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu
Bersih Pungutan Liar serta Keputusan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan
Keamanan Nomor 78 Tahun 2016.
Keberadaan satgas, yang antara lain diberi kewenangan melakukan
operasi tangkap tangan (OTT) ini, memberikan nuansa tersendiri karena dalam
kegiatan-kegiatan operasinya, selain sebagiannya berhasil melumpuhkan aparat
nakal juga menyiratkan signifikansi dari OTT sebagai metode untuk
mengeliminasi praktik mafia hukum.
OTT satgas pungli ini seakan memberi nilai tambah di tengah
skeptisisme sebagian pihak terhadap model pengawasan internal yang dilakukan
di pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian yang dikombinasikan dengan
pengawasan eksternal-melalui Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Komisi
Kepolisian Nasional-terhadap aparat hukum sebagaimana selama ini
diujicobakan, tetapi tidak berjalan efektif.
Perpaduan kewenangan OTT
kepada satgas, yang juga di dalam menjalankan operasi tertentu ternyata juga
berkolaborasi dengan KPK, sampai sejauh ini pantas diapresiasi.
Namun, di luar apresiasi terhadap prestasi satgas, kusut masai
persoalan mafia hukum tetap harus dilihat sebagai sesuatu yang laten, yang
karena itu, intersepsi pemberantasannya melalui OTT satgas tidak bisa dilakukan
sendirian.
Program reformasi peradilan yang komprehensif, baik terkait
dengan pengaturan, tata kelola kelembagaan, maupun pembinaan profesionalitas
dan integritas sumber daya manusia, menjadi keniscayaan. Tanpa dibarengi itu
semua, OTT satgas hanya menjadi "pemadam kebakaran", yang tidak
mempunyai dampak signifikan di dalam mengurangi latennya praktik mafia hukum.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar