Menyoal
Kecurangan Pemilu
Agus Riewanto ; Dosen Program
Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
REPUBLIKA,
30 April 2014
Di
tengah kesibukan mempersiapkan koalisi menuju pilpres, sebaiknya elite
politik dan publik tetap fokus pada proses pileg 2014 yang belum usai. Salah
satu yang perlu memperoleh perhatian ekstra adalah maraknya jenis kecurangan
pemilu, seperti praktek manipulasi penghitungan suara; tidak netralnya
penyelenggara pemilu (KPPS, PPS, PPK, dan KPU provinsi dan KPU
kabupaten/kota).
Kecurangan secara teknis pemilu
yang membuat risau sejumlah kalangan dan berpotensi mengganggu perolehan
suara caleg dan parpol peserta pemilu adalah adanya pemungutan suara ulang
(PSU) di 770 TPS di 90 kabupaten/kota dan tersebar di 23 provinsi di
Indonesia.
Lebih
dari itu, kecurangan pemilu yang paling menonjol adalah adanya praktik
politik uang (money politics) yang
dilakukan oleh parpol dan caleg kepada pemilih agar memilih parpol atau caleg
tertentu. Hasil survei yang dilakukan oleh Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk
Rakyat (JPPR) pada 1.005 TPS di 25 provinsi cukup mengejutkan. Ternyata praktik
politik uang meningkat pesat dari 10 persen pada Pemilu 2009 menjadi 33 persen
pada Pemilu 2014.
Modus
politik uang ini hampir merata dilakukan oleh semua parpol peserta pemilu dan
para calegnya untuk memobilisasi dan mengintimidasi pemilih untuk memilih
parpol dan caleg tertentu. Adapun bentuk politik uang yang didapati oleh JPPR
adalah pemberian uang sebesar Rp 10 ribu - Rp 100 ribu, pembagian sembako,
pulsa, pakaian, alat ibadah, dan polis asuransi.
Bahkan,
ada sinyalemen kuat gagalnya sejumlah caleg populer kembali ke Senayan karena
kalah dalam permainan politik uang.
Praktik
politik uang telah menjadi tradisi dan lebih vulgar dilakukan oleh caleg pada
Pemilu 2014 dibandingkan Pemilu 2009. Jika dulu politik uang masih malu-malu
dengan modus menggandeng organisasi agama dan organisasi sosial, kini lebih
vulgar dengan mendatangi pemilih secara langsung agar memilih parpol dan
caleg tertentu.
Praktik kecurangan
Pemilu
2014 nya ris dilakukan oleh semua parpol peserta pemilu. KIPP melakukan
survei di 31 provinsi dan 60 kabupaten/kota ditemukan data parpol yang paling
curang adalah Golkar melakukan pelanggaran sebasar 11 persen, Gerindra 11
persen, PAN 10 persen, dan PKB, PKS, PDIP, PPP masing-masing melakukan pelanggaran
9 persen. Data ini memperlihatkan bahwa kompetisi Pemilu 2014 tidak fair karena
sarat kecurangan.
Uang bukan segalanya
Menurut
Karl-Heinz Nassmacher, ed (2001) dalam Foundations
for Democracy, uang memang memegang peran yang cukup vital untuk
memenangi kompetisi dalam pemilu. Sebab, uang dapat dibelanjakan dalam
berbagai kebutuhan dan logistik pemilu terutama untuk kampanye. Namun, tidak
berarti uang menjadi faktor segalanya dalam pemilu. Aspek manajemen
kepartaian, kapasitas-integritas calon, platform dan program parpol adalah
juga faktor yang tak kalah pentingnya sebagai alat ampuh meraih kemenangan dalam
pemilu.
Berdasarkan
sejarah pemilu di dunia, pilihan terhadap sistem pemilu dapat memengaruhi
tinggi rendahnya praktik politik uang di suatu negara. Negara yang memilih
sistem proporsional tertutup di mana peran parpol cukup kuat dalam kampanye
pemilu, bia sanya biaya pemilu sangat murah. Karena model ini melibatkan
pendanaan oranisasi parpol dan para calon cukup memadai.
Sedangkan
negara yang menganut sistem distrik (mayoritas) di mana peran calon cukup
kuat sedangkan peran parpol lemah dalam kampanye pemilu, biasanya biaya
pemilu menjadi mahal, karena pasti melibatkan pihak ketiga (tim sukses) dalam
kampanye untuk menonjolkan peran calon.
Maraknya
praktik kecurangan Pemilu 2014, terutama politik uang, lebih disebabkan oleh
pilihan sistem pemilu. Sejak Pemilu 2009 hingga 2014 sistem yang dianut Indonesia
adalah sistem proporsional terbuka yang berbasis suara terbanyak. Model ini
jelas memerlukan biaya politik uang yang relatif mahal, jika dibandingkan dengan
sistem proporsional tertutup dengan nomor urut, seperti pada Pemilu 1999 dan
2004.
Pilihan
sistem pemilu 2014 proporsional dengan suara terbanyak berimplikasi pada
kompetisi tidak lagi antarparpol melainkan antarcaleg. Model ini membuat
setiap caleg merasa perlu mengeluarkan uang sebanyak-banyaknya untuk dapat
meraih simpati pemilih dengan menghalalkan segala cara dan aneka kegiatan.
Akibatnya, kompetisi dalam Pemilu 2014 bukanlah kompetisi atas platform dan
program parpol melainkan kompetisi berbasis uang.
Maraknya
praktik politik uang dalam Pemilu 2014 ini selain faktor pilihan sistem pemilu
juga faktor kian pragmatisnya pemilih yang tak mampu lagi membedakan ideologi
antarparpol dan hanya mampu menandai caleg yang paling mampu membiayai
kebutuhan pemilih. Oleh karena itu, jika Pemilu 2014 ini angka partisipasi
pemilih meningkat pesat dibanding pemilu sebelumnya atau angka golput
menurun, ini pasti tidak di sebabkan bukan oleh
kesadaran pemilih secara otonom untuk datang ke tem pat pemungutan suara (TPS),
melainkan karena dimobilisasi oleh caleg dan parpol dengan aneka hadiah dan
sejumlah uang sebagaimana diungkap dari survei JPPR di 25 provinsi di Indonesia.
Praktik
politik uang dalam Pemilu 2014 telah mencederai akan harapan publik, bahwa
Pemilu 2014 ini jauh lebih baik dari pemilu sebelumnya. Ternyata kebaikan dari
Pemilu 2014 ini hanya pada aspek proses penyelenggaraanya yang relatif aman
dan lancar, namun dari aspek substansi jauh lebih buruk dari pemilu
sebelumnya, karena praktik politik uang pada Pemilu 2009 tidak semarak dan
sevulgar dari Pemilu 2014 ini.
Ketegasan Bawaslu dan KPU
Tak ada
alasan yang cukup bagi Bawaslu dan KPU untuk membiarkan sejumlah kecurangan
Pemilu 2014 terutama praktik politik uang. Saatnya kedua lembaga ini bekerja sama
untuk dapat mengungkap aneka kecurangan pemilu ini dengan menggandeng
sejumlah lembaga independen pemantau pemilu. Jika kecurangan dilakukan oleh
penyelenggara pemilu dapat dilaporkan pada Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP) untuk diberi sanksi pemberhentian. Jika kecurangan dilakukan
oleh caleg dan parpol peserta pemilu, maka Bawaslu dan KPU perlu segera mengumpulkan
alat bukti yang memadai agar dapat ditindak secara hukum.
Bahkan,
kecurangan pemilu berupa praktik politik uang ini dapat dijadikan alasan bagi
KPU untuk tidak menetapkan hasil perolehan suara parpol dan caleg pada Pemilu
2014. Publik amat menanti ketegasan dan keberanian Bawaslu dan KPU. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar