Kamis, 01 Mei 2014

Menyoal Kecurangan Pemilu

Menyoal Kecurangan Pemilu

Agus Riewanto  ;   Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
REPUBLIKA, 30 April 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
Di tengah kesibukan mempersiapkan koalisi menuju pilpres, sebaiknya elite politik dan publik tetap fokus pada proses pileg 2014 yang belum usai. Salah satu yang perlu memperoleh perhatian ekstra adalah maraknya jenis kecurangan pemilu, seperti praktek manipulasi penghitungan suara; tidak netralnya penyelenggara pemilu (KPPS, PPS, PPK, dan KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota). 

Kecurangan secara teknis pemilu yang membuat risau sejumlah kalangan dan berpotensi mengganggu perolehan suara caleg dan parpol peserta pemilu adalah adanya pemungutan suara ulang (PSU) di 770 TPS di 90 kabupaten/kota dan tersebar di 23 provinsi di Indonesia.

Lebih dari itu, kecurangan pemilu yang paling menonjol adalah adanya praktik politik uang (money politics) yang dilakukan oleh parpol dan caleg kepada pemilih agar memilih parpol atau caleg tertentu. Hasil survei yang dilakukan oleh Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) pada 1.005 TPS di 25 provinsi cukup mengejutkan. Ternyata praktik politik uang meningkat pesat dari 10 persen pada Pemilu 2009 menjadi 33 persen pada Pemilu 2014.

Modus politik uang ini hampir merata dilakukan oleh semua parpol peserta pemilu dan para calegnya untuk memobilisasi dan mengintimidasi pemilih untuk memilih parpol dan caleg tertentu. Adapun bentuk politik uang yang didapati oleh JPPR adalah pemberian uang sebesar Rp 10 ribu - Rp 100 ribu, pembagian sembako, pulsa, pakaian, alat ibadah, dan polis asuransi.
Bahkan, ada sinyalemen kuat gagalnya sejumlah caleg populer kembali ke Senayan karena kalah dalam permainan politik uang.

Praktik politik uang telah menjadi tradisi dan lebih vulgar dilakukan oleh caleg pada Pemilu 2014 dibandingkan Pemilu 2009. Jika dulu politik uang masih malu-malu dengan modus menggandeng organisasi agama dan organisasi sosial, kini lebih vulgar dengan mendatangi pemilih secara langsung agar memilih parpol dan caleg tertentu.

Praktik kecurangan

Pemilu 2014 nya ris dilakukan oleh semua parpol peserta pemilu. KIPP melakukan survei di 31 provinsi dan 60 kabupaten/kota ditemukan data parpol yang paling curang adalah Golkar melakukan pelanggaran sebasar 11 persen, Gerindra 11 persen, PAN 10 persen, dan PKB, PKS, PDIP, PPP masing-masing melakukan pelanggaran 9 persen. Data ini memperlihatkan bahwa kompetisi Pemilu 2014 tidak fair karena sarat kecurangan.

Uang bukan segalanya

Menurut Karl-Heinz Nassmacher, ed (2001) dalam Foundations for Democracy, uang memang memegang peran yang cukup vital untuk memenangi kompetisi dalam pemilu. Sebab, uang dapat dibelanjakan dalam berbagai kebutuhan dan logistik pemilu terutama untuk kampanye. Namun, tidak berarti uang menjadi faktor segalanya dalam pemilu. Aspek manajemen kepartaian, kapasitas-integritas calon, platform dan program parpol adalah juga faktor yang tak kalah pentingnya sebagai alat ampuh meraih kemenangan dalam pemilu.

Berdasarkan sejarah pemilu di dunia, pilihan terhadap sistem pemilu dapat memengaruhi tinggi rendahnya praktik politik uang di suatu negara. Negara yang memilih sistem proporsional tertutup di mana peran parpol cukup kuat dalam kampanye pemilu, bia sanya biaya pemilu sangat murah. Karena model ini melibatkan pendanaan oranisasi parpol dan para calon cukup memadai.
Sedangkan negara yang menganut sistem distrik (mayoritas) di mana peran calon cukup kuat sedangkan peran parpol lemah dalam kampanye pemilu, biasanya biaya pemilu menjadi mahal, karena pasti melibatkan pihak ketiga (tim sukses) dalam kampanye untuk menonjolkan peran calon.

Maraknya praktik kecurangan Pemilu 2014, terutama politik uang, lebih disebabkan oleh pilihan sistem pemilu. Sejak Pemilu 2009 hingga 2014 sistem yang dianut Indonesia adalah sistem proporsional terbuka yang berbasis suara terbanyak. Model ini jelas memerlukan biaya politik uang yang relatif mahal, jika dibandingkan dengan sistem proporsional tertutup dengan nomor urut, seperti pada Pemilu 1999 dan 2004.

Pilihan sistem pemilu 2014 proporsional dengan suara terbanyak berimplikasi pada kompetisi tidak lagi antarparpol melainkan antarcaleg. Model ini membuat setiap caleg merasa perlu mengeluarkan uang sebanyak-banyaknya untuk dapat meraih simpati pemilih dengan menghalalkan segala cara dan aneka kegiatan. Akibatnya, kompetisi dalam Pemilu 2014 bukanlah kompetisi atas platform dan program parpol melainkan kompetisi berbasis uang.

Maraknya praktik politik uang dalam Pemilu 2014 ini selain faktor pilihan sistem pemilu juga faktor kian pragmatisnya pemilih yang tak mampu lagi membedakan ideologi antarparpol dan hanya mampu menandai caleg yang paling mampu membiayai kebutuhan pemilih. Oleh karena itu, jika Pemilu 2014 ini angka partisipasi pemilih meningkat pesat dibanding pemilu sebelumnya atau angka golput menurun, ini pasti tidak di sebabkan bukan oleh kesadaran pemilih secara otonom untuk datang ke tem pat pemungutan suara (TPS), melainkan karena dimobilisasi oleh caleg dan parpol dengan aneka hadiah dan sejumlah uang sebagaimana diungkap dari survei JPPR di 25 provinsi di Indonesia.

Praktik politik uang dalam Pemilu 2014 telah mencederai akan harapan publik, bahwa Pemilu 2014 ini jauh lebih baik dari pemilu sebelumnya. Ternyata kebaikan dari Pemilu 2014 ini hanya pada aspek proses penyelenggaraanya yang relatif aman dan lancar, namun dari aspek substansi jauh lebih buruk dari pemilu sebelumnya, karena praktik politik uang pada Pemilu 2009 tidak semarak dan sevulgar dari Pemilu 2014 ini.

Ketegasan Bawaslu dan KPU

Tak ada alasan yang cukup bagi Bawaslu dan KPU untuk membiarkan sejumlah kecurangan Pemilu 2014 terutama praktik politik uang. Saatnya kedua lembaga ini bekerja sama untuk dapat mengungkap aneka kecurangan pemilu ini dengan menggandeng sejumlah lembaga independen pemantau pemilu. Jika kecurangan dilakukan oleh penyelenggara pemilu dapat dilaporkan pada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk diberi sanksi pemberhentian. Jika kecurangan dilakukan oleh caleg dan parpol peserta pemilu, maka Bawaslu dan KPU perlu segera mengumpulkan alat bukti yang memadai agar dapat ditindak secara hukum.

Bahkan, kecurangan pemilu berupa praktik politik uang ini dapat dijadikan alasan bagi KPU untuk tidak menetapkan hasil perolehan suara parpol dan caleg pada Pemilu 2014. Publik amat menanti ketegasan dan keberanian Bawaslu dan KPU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar