Isra
Mikraj, Menegakkan Etika Kebangsaan Kita
Muhammadun
; Analis Studi Politik pada Program Pascasarjana UIN
Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Mei 2014
Isra Mikraj merupakan sa lah
satu basis tegaknya peradaban Islam yang ditancapkan Nabi Muhammad SAW.
Peristiwa yang menandai diwajibkannya salat itu, menurut Syaikh Muhammad
al-Ghazali dalam Fiqh al-Sirah, menyiratkan dua hal penting yang harus
direfleksikan. Pertama, Isra dan Mikraj merupakan peristiwa penting bagi
konstruksi solidaritas antarumat beragama. Sikap rendah hati, penghargaan,
dan penghormatan yang tinggi atas ajaran nabi-nabi terdahulu merupakan salah
satu teladan Nabi Muhammad SAW. Karena itu, Syaikh Muhammad al-Ghazali sama
sekali tidak sependapat bila ada yang mempertentangkan ajaran para nabi.
Bahkan, dalam Alquran, kita wajib beriman kepada Tuhan, malaikat, kitab-kitab
suci, dan para utusan Tuhan terdahulu.
Kedua, Isra dan Mikraj merupakan
peletakan pertama bahwa Islam adalah agama fitrah. Seluruh ajaran ibadah yang
diwajibkan kepada umat Islam merupakan fondasi yang wajib dilaksanakan untuk
menemukan sari pati dan esensi agama.
Isra peradaban
Makna Isra dan Mikraj sangat
tepat dijadikan refleksi dalam menegakkan peradaban Indonesia. Jangan sampai
bangsa ini bergerak menuju pelapukan, sebagaimana yang dikhawatirkan oleh
penyair Taufik Ismail melalui puisinya, Aku
(Malu) Jadi Orang Indonesia.
Di samping itu, gempuran arus
globalisasi terus menelantarkan visi-misi Indonesia ke depan. Globalisasi
melahirkan kesenjangan sosial yang tajam, bahkan menurut Samir Amin,
globalisasi telah melahirkan warga negara kelas empat, yakni mereka yang
tidak lolos proses industrialisasi dan dijadikan objek proyek kaum kapitalis
untuk melanggengkan neofeodalisme terselubung. Warga dunia kelas empat inilah
yang berada di bawah jembatan, kuli yang `tidak digaji', perempuan yang
diperdagangkan, dan berbagai pembantaian kemanusiaan lainnya. Yang merisaukan
lagi di sini ialah peringatan Abdul Karim Soroush, bahwa yang paling buruk
dari warisan rezim-rezim tirani bukan seberapa banyak kejahatan dan uang yang
mereka korup, melainkan pada mentalitas kejahatan dan korupsi yang mereka
wariskan.
Potret penindasan tersebut
menunjukkan peradaban Indonesia merupakan peradaban yang tiranik; peradaban
yang dibangun atas dasar nilai yang kapitalistis yang menindas kaum
mustadl’afin. Potret tersebut itulah yang disebut sebagai peradaban tiranik. Untuk
itu, Isra dan Mikraj bagi umat Islam harus menjadi momentum mengembalikan
wajah peradaban bangsa yang sesuai dengan nilai agama dan budaya bangsa.
Dalam konteks ini, mengisrakan peradaban ialah keniscayaan. Dalam arti,
mengubur dalam-dalam peradaban yang tiranik, kemudian menegakkan peradaban
yang human-emansipatoris.
Isra Nabi dari Masjidil Haram
menuju Masjidil Aqsa ialah simbol pemaknaan peradaban yang dimulai dengan
spirit agung. Membangun peradaban harus dimulai dari Masjidil Haram yang
berarti peradaban jangan lagi ada pembantaian dan permusuhan karena dalam
Masjidil Haram diharamkan seluruh praktik kedurhakaan dan kemaksiatan.
Demikian juga, peradaban juga harus dihiasi Masjidil Aqsa. Artinya, Masjidil
Aqsa adalah rumah yang suci (bait
al-muqoddas) yang dikelilingi makam para nabi. Peradaban seharusnya
dihiasi dengan ketulusan dan kesejatian hidup sehingga kemegahan peradaban
tidak menghadirkan kenistaan dan keruntuhan peradaban itu sendiri. Isra
peradaban adalah membangun peradaban dengan jalan spirit keteguhan dan
kesejatian yang telah diteladankan Nabi Muhammad sepanjang hayatnya.
Mikraj kebudayaan
Mikraj menjadi momentum Nabi
mengadukan berbagai persoalan kepada Allah, kemudian Allah memberikan formula
yang luar biasa, yakni salat. Jadi, jihad Nabi menegakkan Islam akan terus
tegak, sebagaimana tegaknya salat bagi umatnya. Karena dengan salat, umat
Muhammad akan terus mengasah keyakinan dan keimanan. Keyakinan mantap itulah
oleh-oleh Nabi dari Sidratul Muntaha. Tanpa dasar keyakinan dan keimanan,
peradaban sangat rapuh dan ringkih, dan akhirnya runtuh peradaban Firaun.
Begitu pentingnya keyakinan,
tidak salah kalau Kierkegaard, tokoh eksistensialisme, menyatakan, “Seseorang harus percaya bukan karena ia
tahu, melainkan karena ia tidak tahu.“ Itu pula sebabnya mengapa Immanuel
Kant berkata, “Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi
menyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya.“ Itu pulalah sebabnya mengapa
`oleh-oleh' yang dibawa Rasul dari perjalanan Mikraj ini ialah kewajiban
salat; sebab salat merupakan sarana ter penting guna menyucikan jiwa dan
memelihara rohani. Salat inilah media strategis dalam Mikraj kebudayaan.
Seluruh perwujudan kebudayaan
haruslah ditransendenkan dalam nilai spiritualitas ketuhanan sehingga bisa
dimanifestasikan demi kemaslahatan kemanusiaan universal. Nilai ketuhanan
akan menjadi basis kuat kebudayaan sehingga nilai kebudayaan tidak gampang
bergeser dalam pragmatisme dan instanisme.
Peradaban dan kebudayaan
Indonesia yang didasarkan pada moralitas tinggi, sesuai dengan
prinsip-prinsip agama dan kebudayaan bangsa, pasti akan memancarkan cahaya
kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan keabadian sehingga nalar peradaban
tiranik berupa korupsi, kolusi, akan nepotisme akan segera sirna. Di sinilah
momentum memaknai Indonesia baru menemukan ruangnya karena dengan cahaya kebenaran
dan kemanusiaan baru bangsa Indonesia mampu secara jernih merumuskan arah
perada ban bangsa yang human-emansipatoris.
Etika kebangsaan
“Makin
banyak orang pandai, makin sulit mencari orang jujur.“
Ungkapan tersebut dilontarkan JJ Rousseau, filsuf era modern, penggagas teori
kontrak sosial. Rousseau ingin menandaskan bahwa arus modernisasi yang telah
membawa kemajuan dalam berbagai dimensi kehidupan ini ternyata gagal
membentuk manusia yang berkarakter jujur, membela kebenaran, dan mempunyai
jiwa kemanusiaan yang dalam. Yang tumbuh ialah personal personal yang dengan
kelihaian ilmunya digunakan untuk menghegemoni, mengintimidasi,
mengeksploitasi, dan bahkan menyeng sarakan umat manusia untuk kepentingan
pribadinya. Negeri Indonesia yang kita cintai ini pun tidak luput dari
konsekuensi kehidupan yang memilukan tersebut.
Momentum Isra dan Mikraj harus
dijadikan semua elemen bangsa untuk meneguhkan tekad; mengembalikan moralitas
bangsa! Sudah saatnya sekarang digiatkan kembali gerakan moral bangsa kepada
seluruh manusia di bumi ini, agar nilai-nilai penghargaan atas
harkat-martabat manusia bisa diwarnai dengan nilainilai kebaikan. Kebangkitan
gerakan moral, akan menata kembali bangunan peradaban bangsa ini yang sedang
di ambang kehancuran.
Dengan kekuatan moralitas yang
tinggi, para punggawa bangsa ini akan membawa masyarakat kepada tatanan yang
berdasarkan nilai keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan. Bagaimanapun bangsa
moralislah yang akan menjadi bangsa yang peradabannya diakui dunia. Dunia
akan merujuk kembali kepada mereka yang membangun peradaban berdasarkan
nilai-nilai moralitas yang tinggi. Dunia akan menganggapnya sebagai pusat
peradaban di atas peradaban lainnya.
Kekuatan etis itulah yang dibawa
para pemimpin dunia yang sukses membawa pencerahan. Nabi Muhammad SAW ialah
prototipe paling ideal dalam menggambarkan sosok ideal membangun etika
politik sehingga oleh sejarawan barat, Michael Hart, beliau dikatakan sebagai
pemimpin nomor wahid sedunia. Spirit itulah yang harus dikembangkan para
politikus kita sekarang ini yang hanya disibukkan dengan konfl ik kepentingan
tanpa memberikan pelajaran politik yang berharga kepada rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar