Pemimpin
Benni
Setiawan ; Dosen Universitas Negeri Yogyakarta
|
TEMPO.CO,
24 Mei 2014
Pemilu
merupakan sarana mencari pemimpin. Pemimpin bukan sekadar pengumbar janji. Ia
juga bukan yang paling populer di mata media dan tinggi elektabilitasnya di
tangan lembaga survei.
Bagi Jim
Clemmer (2009), pemimpin harus mampu membuat perbedaan. Itulah semangat utama
yang mesti dimiliki seorang pemimpin. Tampil beda dengan gagasan yang kuat
akan mengantarkan seseorang menduduki posisi penting dalam pemerintahan.
Seorang
pemimpin, bagi pemikir terkemuka Amerika Utara itu, juga harus memiliki
keotentikan. Para pemikir yang otentik membangun kepercayaan yang
menjembatani celah-celah pemisah antara "kami dan mereka". Para
pemimpin seperti itu memiliki integritas dan konsistensi yang tinggi. Mereka
mengembangkan lingkungan yang penuh keterbukaan dan transparansi, yang
menampilkan masalah-masalah yang sebenarnya.
Pemimpin,
dengan demikian, mampu menyuarakan kata "kita". Kata kita merupakan
wahana membangun ideologi sifat mementingkan kebersamaan, menanggung duka dan
suka, salingmembantu, menolong, serta mengingatkan. Ke-kita-an harus menjadi
ancangan dan sikap seorang pemimpin. Pemimpin hadir bukan untuk "kami
dan mereka", tapi untuk "kita".
Pemimpin
itu berintegritas. Integritas seorang pemimpin dilihat dari sepak terjang (track record) sejak ia masuk di gelanggang
politik. Integritas itu terbangun atas usaha dan karya pribadi yang
mempribadi. Ia hadir bukan karena polesan dan goresan wartawan. Namun, tulus
ikhlas bekerja, berusaha, dan berkarya sekaligus menjadi panutan bagi
masyarakat. Inilah dalam bahasa Ki Hajar Dewantara yang disebut sebagai ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun
karsa, tut wuri handayani.
Lebih
lanjut, seorang pemimpin selayaknya mempunyai konsistensi yang tinggi.
Konsistensi itu dapat dilihat dari kata dan laku. Apa yang mereka ucapkan
merupakan janji suci kehidupan. Kata bukan hanya menggerakkan lidah, tapi
juga mewujud dalam keseharian,
sehingga ia tak mudah mengumbar janji. Kata dan laku seorang pemimpin harus
selaras, sabda pandita ratu, tan kena wala-wali.
Ketika
pemaknaan kepemimpinan menyentuh pada ranah ini, sebuah bangsa akan dipimpin dengan
kebijaksanaan. Kebijaksanaan akan mengantarkan pada kemakmuran dan keadilan.
Hal itu lantaran seorang pemimpin sadar betul akan eksistensi dirinya. Ia
bukanlah pejabat publik yang pantas untuk selalu dihormati dan dipuja-puji.
Namun ia adalah pelayan masyarakat yang siap mendengar keluh-kesah dan
bergerak cepat dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Ia selalu bekerja sekuat
tenaga untuk kemakmuran bangsanya, bukan kepentingan pribadi dan
kroni-kroninya.
Takhta
merupakan amanat kepemimpinan. Artinya, seorang pemimpin harus mempunyai jiwa
yang bersih dan selalu berjuang (bertekad) untuk mewujudkan kesejahteraan
rakyat. Kesejahteraan rakyat menjadi program utama seorang pemimpin bangsa. Seorang
pemimpin bangsa harus mau dan rela meninggalkan (meletakkan) segala atribut
yang pernah melekat dalam dirinya ketika menjadi pemimpin (presiden). Tanpa
hal itu, akan sulit mewujudkan kepemimpinan yang berpihak pada kesejahteraan
rakyat.
Pada
akhirnya, mari mencermati sosok calon pemimpin bangsa Indonesia dalam hajatan
pemilihan presiden 9 Juli. Pilihlah pemimpin yang bisa ngemong (mengasuh) dan menjadi pamong praja (pemimpin peradaban). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar